Rabu, 26 Desember 2012

Mengenang Tsunami di Masjid Rahmatullah

Magical Masjid - Rahmatullah

Delapan tahun berlalu tapi kenangan akan bencana dahsyat itu masih mengendap di benak banyak orang, termasuk saya. Masjid Rahmatullah adalah salah satu masjid yang menjadi saksi bisu tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 silam. Bangunan ini seolah menjadi 'prasasti' wajib kunjung dalam daftar tempat-tempat yang saya kunjungi saat jalan-jalan di Aceh.

Saya terpesona dengan masjid ini sejak menonton sebuah berita yang menayangkan video landscape Lampu'uk dari udara, beberapa hari setelah tsunami. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah hamparan padang datar penuh puing bekas tsunami dan satu bangunan putih yang berdiri tegak sendirian yaitu Masjid Rahmatullah ini.

Rabu, 19 Desember 2012

Tak Ada Surga di Indonesia

Bumi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia. Bukan Kepingan Surga

Tiket promo dalam genggaman, perjalanan dilakukan, ribuan frame foto didapatkan, dan puncaknya, satu lagi kepingan surga dinarasikan. Tak sulit menemukan cerita tentang keindahan visual di bumi pertiwi: pasir pantai putih, air laut jernih, serta bentangan alam memukau yang mengundang decak kagum. Dalam riuhnya dunia pariwisata saat ini, kata surga seolah merupakan diksi ampuh dalam promosi sekaligus representasi sebuah kemalasan dalam mendeskripsikan visualisasi.

Rabu, 12 Desember 2012

10 Hal Paling Tidak Menyenangkan dalam Dunia Jalan-Jalan Saat Ini

Belum ke Lombok nih, cuma di Gili saja :'(
Traveling memang sedang booming. Banyak orang mulai terjangkiti virus jalan-jalan. Orang mulai berpikir bagaimana mengumpulkan uang dan merencanakan sebuah perjalanan. Mereka mulai sadar bahwa jalan-jalan sekarang menjadi semacam gaya hidup. Karena hidup akhirnya punya banyak gaya, traveling lambat laun mulai mengalami pergeseran makna.

Banyak orang mulai sibuk mendiskusikannya, membanding-bandingkan, membuat sebuah parameter tertentu tentang konsep perjalanan, menentukan indikator 'keberhasilan' sebuah perjalanan baik dengan angka-angka maupun menerjemahkannya dengan bahasa filosofis (yang terkadang malah sulit dimengerti) sehingga konsep jalan-jalan menjadi tak lagi sesederhana pergi ke suatu tempat dan menikmatinya.

Berdasarkan pengamatan saya, setidaknya ada 10 hal yang membuat obrolan tentang jalan-jalan saat ini menjadi semakin 'ribet' dan terkesan penuh aturan yang tak perlu sehingga mengurangi keasyikan dalam perjalanan itu sendiri.

Kamis, 06 Desember 2012

Wisata Museum: Menjual Kenangan Masa Lalu

Museum di Hatiku. Di Hatimu?
Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, wisata ke museum tampaknya bukan menjadi pilihan utama liburan. Masih banyak yang beranggapan bahwa pergi ke museum tak ubahnya malah menambah penat. Liburan yang semestinya digunakan untuk menyegarkan pikiran dengan menikmati warna-warni alam, akan berubah menjadi tampak membosankan jika yang dikunjungi adalah benda-benda kuno yang justru menuntut pengunjungnya untuk mengingat-ingat dan 'mengenang' masa lalu. Sampai ada sebuah kelakar bahwa orang Indonesia (kota) itu pergi ke museum hanya dua kali. Pertama saat ada tugas sekolah dari guru dan kedua saat mengantar anaknya mengerjakan tugas dari gurunya.

Sangat miris sebenarnya saat mendengar celoteh teman-teman yang bercerita tentang museum-museum 'biasa' saja yang ada di luar negeri dengan biaya sekian euro, sementara mereka nihil informasi tentang museum-museum lokal. Padahal, sepengetahuan saya, hidup di Indonesia harusnya sangat termanjakan dengan tersedianya begitu banyak museum dengan koleksi yang bermacam-macam pula. Pun juga, harga tiketnya kadang kala sangat tidak manusiawi dibandingkan dengan apa yang dapat kita peroleh jika bertandang di dalamnya. Bahkan ada yang tanpa dipungut biaya. Bayangkan, rata-rata tiket masuk museum di Indonesia untuk pengunjung dewasa 'hanya' Rp. 2.000,00 hingga Rp.5.000,00 saja. Masih lebih mahal dibandingkan dengan, katakanlah, tarif jalan tol atau parkir di mal. Tapi, apakah dengan begitu museum-museum di Indonesia serta merta ramai pengunjung?  

Minggu, 02 Desember 2012

Tumpeng dan Sebait Doa

.: tumpeng kuning pertama buatan saya :) :.

Hampir tak pernah ada perayaan berarti dalam hidup saya. Kalaupun ada, biasanya hanya acara seremonial sederhana. Hari ini mungkin adalah hari yang biasa saja, tapi buat saya, tanggal 02 Desember 2012, bertepatan dengan hari Minggu pula, merupakan hari di mana saya mulai datang untuk 'jalan-jalan' di muka bumi ini, beberapa tahun yang lalu. Tumpeng nasi kuning, sesuai dengan filosofi orang Jawa mewakili gambaran tentang kekayaan dan moral yang luhur, cocok digunakan untuk perayaan yang penuh suka cita dan persembahan rasa syukur. Sesuai dengan filosofinya, saya hanya berharap bahwa di tahun-tahun mendatang akan bertemu dengan banyak keberkahan dan kebermaknaan hidup sesuai dengan doa yang dilantunkan di awal 'upacara' untuk mendekati sifat kekayaan dan moral yang luhur seperti yang diwakili oleh tumpeng kuning ini. Amin. Salam suka cita untuk semuanya. :)

Jumat, 30 November 2012

Bergaya di Bandara

Bergaya di Bandara Internasional Hasanuddin, Makassar
Berfoto dengan latar belakang landmark suatu tempat seolah menjadi penanda wajib bahwa seseorang sudah pernah berkunjung ke daerah tersebut. Saat jalan-jalan, saya sering mengamati tingkah orang-orang yang sedang diambil gambarnya. Dengan berbagai gaya dan pose, mereka berekspresi sebaik dan semenarik mungkin untuk mendapatkan foto yang indah. Belakangan, setelah sering bepergian dengan pesawat terbang, saya pikir bandara merupakan sasaran pertama yang menjadi objek latar belakang foto diri saat jalan-jalan.

Awalnya saya hanya berniat untuk mengambil foto diri sesaat setelah pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandara Internasional Minangkabau, Padang, Sumatera Barat. Seperti kebiasaan yang sudah diketahui teman-teman jalan, saya selalu meminta difoto dengan latar belakang bangunan atau tulisan di bandara yang menunjukkan bahwa saya sedang berada di daerah tersebut. Setelah cekrak-cekrek dan bergegas masuk ke dalam bandara, ternyata sebagian besar orang yang sepesawat dengan saya masih sibuk berfoto seperti yang baru saja saya lakukan. Kalau begini, saya jadi tak perlu merasa bersalah untuk berfoto narsis karena terbukti benar teori yang sering saya katakan kepada teman-teman: setiap orang pada dasarnya punya 'jiwa' narsis, hanya porsinya saja yang berbeda-beda. *ngeles kayak bajaj* :P

Selasa, 27 November 2012

Anti Mati Gaya di Bandara

menunggu boarding @ terminal 2 bandara Soetta
Saya sering ditanya oleh teman-teman --lebih tepatnya diprotes-- mengapa sering datang lebih awal di bandara padahal pesawatnya baru akan terbang beberapa jam kemudian. Terus terang karena saya orangnya parnoan, agak lelet (pengennya jalan dengan sesantai-santainya), dan 'trauma' gara-gara beberapa kali harus mengalami senam jantung demi mengejar pesawat, saya lebih memilih berada di bandara lebih awal daripada harus bersibaku dengan waktu di jalanan. Apalagi ada beberapa maskapai penerbangan yang keukeuh sudah menutup loket check in satu jam sebelum boarding, padahal pesawatnya hobi banget delayed.

Pertanyaan selanjutnya, terus ngapain aja di bandara? Karena sudah lumayan sering bepergian dengan pesawat udara dan sering pula keleleran di bandara, berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan supaya tidak mati gaya di bandara.

Kamis, 22 November 2012

Senam Jantung Menuju Bandara

butuh perjuangan naik pesawat ini ;'(
Tiga hari sebelum keberangkatan, saya mendapat pesan pendek dari maskapai penerbangan yang memberitahukan bahwa pesawat yang akan saya tumpangi bakal terlambat 15 menit dari jadwal seharusnya karena masalah teknis. Bagi saya ini tidak masalah, toh saya tidak buru-buru, dan salut pada maskapai tersebut yang sudah sibuk memberi tahu. Jadi, seperti kebiasaan yang sudah-sudah, karena terbang malam, saya masih bisa gowes bareng orang tua sembari sarapan dan makan-makan sampai siang. Barang-barang yang akan saya bawa pun sudah ditata dari kemarin, jadi tinggal mandi dan berangkat.

Asumsi saya, dengan waktu ke terminal bus setengah jam, menuju Surabaya maksimal 3 jam, dan ke bandara setengah jam, masih ada waktu untuk duduk-duduk ganteng di bandara menunggu boarding, jika saya keluar dari rumah pukul 1 siang. Hehehe, ribet banget ya bo' kalau rumah jauh dari bandara. Itung-itungan saya itu sesaat buyar ketika masuk terminal Nganjuk pukul 2 siang. Saya lupa kalau hari ini adalah hari terakhir liburan panjang akhir pekan dan liburan haji. Calon penumpang sudah tumpah ruah sementara bus dari Solo sudah penuh semua dan hanya sanggup memasukkan satu dua penumpang lagi. Duh, mampus deh. Bisa-bisa telah nih saya? Akhirnya, berbekal sedikit kenekatan dan tambahan jurus muka melas, saya berhasil diangkut salah satu bus dan berdiri tepat di samping pintu. Gak apa-apa deh, yang penting sampai Surabaya sebelum jam 6 sore.

Rabu, 14 November 2012

Selamat Tahun Baru 1434 Hijriyah

Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh
Binarung lumingsiring bagaskara pungkasaning sasi Dzulhijjah, asung sasmita bebukaning sasi Muharram, kulo ngaturaken sugeng mapag warsa enggal 1434 H, mugi tansah pinaringan berkah, sih lumunturing Gusti, saha tinebihake saking rubeda lan sambikala. Aamiin.

Jumat, 09 November 2012

Pemandangan di Balik Jendela Pesawat

Window seat yang selalu saya suka :)
Saat bepergian naik pesawat, saya selalu memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela. Apalagi kalau penerbangan pagi, rasanya saya selalu semangat untuk motret pemandangan dari angkasa. Jika tempat duduk bisa dipesan saat pembelian tiket tanpa ada biaya tambahan, saya biasanya langsung pilih tempat duduk yang memungkinkan saya duduk dengan leluasa motret tanpa terhalang sayap pesawat. Tapi kalau harus bayar, saya berusaha check in lebih awal supaya bisa meminta tempat duduk yang dekat dengan jendela.

Sampai saat ini, saya belum pernah memaksa menduduki nomor kursi orang lain hanya untuk bisa duduk di dekat jendela. Kalaupun dapat duduk di tengah atau di dekat lorong pun, akan saya patuhi sesuai dengan nomor yang tertera pada tiket. Saya juga tidak mau kalau ada orang yang tidak berhak, tiba-tiba menyerobot tempat duduk yang sudah saya dapat. Jika sudah ada yang menempati, biasanya saya minta dengan sopan untuk pindah atau bergeser. Kalau gak mempan, saya akan tanya nomor kursinya. Kalau masih keras kepala juga gak mau pindah, saya bilang saja ke pramugarinya. Pernah saya mengalaminya, sampai langkah ketiga, eh si penyerobot ini tetap gak mau pindah dan malah bilang, "udah duduk aja di situ, sama saja kan mas."

Jumat, 02 November 2012

Menumpang Boeing 747-400 Garuda Indonesia

Boeing 747-400 yang gempal dan kokoh
Berkali-kali naik pesawat, saya tak pernah memerhatikan tipe pesawat yang saya tumpangi. Mungkin karena ndeso, jadi tiap kali masuk pesawat, yang dicari pertama adalah buku doa dan sibuk komat-kamit sendiri sampai pesawat take off. Gara-gara sering gak nyambung tiap kali diajak ngobrol sepupu saya tentang pesawat, saya jadi terpacu untuk memerhatikan tipe pesawat apa yang saya tumpangi tiap kali terbang.

Pertama kali naik pesawat, saya numpang Boeing 737-300 dari maskapai Sriwijaya Air menuju Tanjung Pandan, Belitung. Penerbangan 55 menit tersebut terasa lama sekali karena saat itu adalah penerbangan paling pagi dan cuaca agak mendung sehingga tiap kali pesawat nyenggol gumpalan awan, saya spontan pegangan kursi. Ini semua diawali dengan tingkah polah teman-teman kantor saya yang pada minta maaf dan memberi nasihat seolah-olah pesawat saya mau jatuh. Ih, amit-amit lah ya. Saya pikir, pengalaman pertama memang selalu meninggalkan kesan yang mendalam. Yang membuat saya lebih senang lagi, meski terbangnya cuma 55 menit, tapi dapat snack dan segelas air mineral yang cukup mengganjal perut sebelum sarapan.

Jumat, 19 Oktober 2012

Cinta Rusa

rusa tutul yang lucu, tapi di dalam kerangkeng ;'(
Sejak kecil saya senang sekali melihat rusa. Ini gara-gara tiap liburan natal bawaannya nonton tv saja di rumah sampai teler. Bayangkan saja, tiap pagi selama liburan sekolah nontonnya film-film kartun yang bertema natal. Seringnya sih tentang Santa Klaus. Saking seringnya nonton, saya sampai hafal nama-nama rusanya: Dasher, Dancer, Prancer, Vixen, Comet, Cupit, Donder, Blitzen, dan Rudolph. Favorit saya sih si Rudolph yang berhidung merah itu. Meski saya muslim, saya dibiarkan nonton film ini karena ceritanya memuat pesan-pesan universal tentang kebaikan. Memori tentang kisah di film kartun Rudolph The Red-Nosed Reindeer agar tidak mengucilkan teman-teman yang 'berbeda' termasuk yang menderita sakit dan cacat fisik masih membekas hingga saya beranjak dewasa. Tapi di luar itu semua, sejak kecil saya punya keinginan untuk melihat rusa langsung di alamnya.

Kata bapak saya sih, dulu di hutan dekat rumah mudah dijumpai rusa. Tapi, cerita-cerita klasik tentang akibat pembalakan liar menghapus jejak semuanya. Bahkan, ayam hutan nyeberang jalan saja sekarang sudah tak terdengar ceritanya di antara tukang kayu bakar di pasar. Pernah sih ada kabar dari desa di balik gunung, kalau ada rusa yang ditangkap warga di dekat hutan. Saat dikerangkeng, si rusa terlihat diam dan meringkuk saja serta kelihatan menangis. Dari kasak-kusuk, eh ternyata hari gini rusa tersebut katanya adalah rusa jadi-jadian. Makin horor lagi saat ada orang yang datang ke tempat tersebut dan menebusnya dengan sejumlah besar uang. Anggapan tentang rusa yang lucu di film kartun terhapus dan tergantikan dengan adegan sinetron tentang pesugihan di tv. Duh.

Jumat, 12 Oktober 2012

Obat Kuat Para Dewa

negeri di atas awan, hawa dinginnya menusuk tulang
Ngobrol tentang seks memang selalu menarik. Meski masih ada yang menganggapnya tabu, toh iklan-iklan di surat kabar maupun televisi banjir juga informasi seputar seks dan printilannya. Coba saja baca koran kuning. Di situ, info apa saja, mulai dari memperbesar ini, memperbesar itu, menambah stamina, dan lain-lain dibeberkan semua. Saya sampai ketawa-ketiwi kalau pas lagi di kereta dan gak sengaja dapat koran seperti itu sebagai alas duduk. Lebih lucu lagi kalau nemu koran yang gambarnya iklan begituan dipakai sebagai alas waktu sholat Jumat. Mau fokus ke mana coba?

Eh, tapi saya perhatikan, sekarang memang banyak banget yang buka lapak jual obat kuat. Kalau di Jakarta terkenalnya dengan sebutan pil biru. Di jalanan, di pasar, di gang-gang sempit, saya sering gak sengaja nemu papan nama yang menawarkan khasiat pil obat kuat. Saya sih belum pernah lihat bentuknya seperti apa, secara masih merasa kuat dan gak perlu yang namanya pil-pilan untuk bisa 'bangun'. Melihat papan-papan nama serupa yang kian menjamur, berarti memang ada permintaan besar akan khasiat dari pil tersebut. Entah karena kurang percaya diri atau memang agak susah bangun, makanya banyak orang menggantungkan harapan pada obat-obatan tersebut.

Jumat, 05 Oktober 2012

Ngopi-Ngopi di Solong

.: Kedai Kopi Solong, Ulee Kareng, buka sejak 1974 :.
Itulah yang saya lakukan begitu menjejak Banda Aceh lagi setelah dua hari sebelumnya kelayaban di Pulau Weh. Duh, rasanya kepala belum 'penuh' dan perlu mendapat suntikan kafein biar bisa berfikir agak lurus setelah diombang-ambing ombak dengan perut kosong pagi tadi. Ini memang bukan cangkir pertama yang saya tenggak berisi cairan bubuk hitam yang harumnya bisa bikin mata melek semalaman. Tapi konon, belum lengkap pergi ke Aceh tanpa mencecap kopi Solong dari cangkir warungnya langsung.

Papan nama di depan menunjukkan bahwa kedai kopi ini bernama Warung Kopi (Warkop) Solong. Tapi begitu saya blusak-blusuk ke dapur, ada tulisan Warung Kopi "Jasa Ayah", nama asli dari warung kopi ini. Saat Aceh dilanda konflik dulu, warung kopi ini seolah mengemban misi perdamaian sehingga jargon "di luar warung silakan bertindak, tapi di dalam warung kopi Solong, semua mesti gencatan senjata" populer di antara para pelanggan.

Jumat, 28 September 2012

Istirahat di Pulau Yang Tak Pernah Beristirahat

Unrust yang akhirnya istirahat total
Pulau ini kelihatannya kecil dan terkesan tidak istimewa. Tahun 2003 saya pernah diajak camping seorang teman ke Pulau Unrust. Tapi saya menolaknya. Saya pikir, tak ada cukup alasan untuk mengunjungi pulau asing yang penuh puing ini, apalagi sampai menginap. Beberapa teman yang lain menganggap pulau ini sebagai 'tempat jin buang anak' dan memberi kesan seram saat melintasinya. Padahal, dari gugusan pulau yang menjadi basis pertama pertahanan Belanda di nusantara, Pulau Unrust adalah primadonanya.

Saya tak menyalahkan teman-teman saya yang menganggap Pulau Unrust biasa saja. Mungkin, apa yang ada di pikiran teman-teman saya tersebut sama seperti persepsi Pangeran Jayakarta yang memperbolehkan para kompeni Belanda mendiami pulau ini pada tahun 1610. Sebuah keputusan yang didasari pada persepsi positif dan tak ada prasangka bahwa keputusan itulah yang menjadi tonggak penjajahan bagi bangsa Indonesia selama berabad-abad lamanya.

Rabu, 26 September 2012

Melipir ke Pulau Cipir

Pulau Cipir yang terlupakan zaman ;'(
Pulau Cipir memang tak sengetop pulau lain yang termasuk dalam gugusan pulau bersejarah yang menjadi basis pertahanan kompeni Belanda di Kepulauan Seribu, Jakarta. Namanya seakan tenggelam dalam nama besar yang disandang oleh pulau yang menjadi 'kembaran'nya, Unrust. Ya, Pulau Cipir dari kejauhan memang tampak seperti saudara kembar dari Pulau Unrust: sepi, penuh pepohonan lebat yang meneduhkan, dan sesak oleh puing-puing bangunan tua yang dilupakan oleh zaman.

Kunjungan wisatawan ke pulau ini pun seringnya hanya selintas sambil lalu saja. Tak banyak orang yang merasa perlu untuk berlama-lama tinggal. Tak banyak pula yang mencatat dengan detil kunjungannya ke pulau ini. Padahal, Pulau Cipir tak kalah berperannya menjadi basis pertama wilayah kompeni Belanda dalam menguasai nusantara.

Jumat, 21 September 2012

Ziarah ke Pulau Kuburan

Pulau Kherkof, sepi, sendiri, dan penuh misteri
Sering disangka atau salah disebut sebagai Pulau Unrust, Pulau Kherkof memang seolah punya daya tarik tersendiri dibanding tiga pulau lain yang berada di dekatnya. Setiap pejalan yang melintasi pulau ini untuk menuju kawasan wisata di Kepulauan Seribu hampir selalu pernah mengabadikan kemisteriusannya. Hal itu berkenaan dengan keberadaan satu-satunya benteng Mortello di Indonesia yang wujud fisiknya masih utuh. Benteng peninggalan pemerintah kolonial Belanda ini dibangun untuk menghadapi serangan Portugis ke Batavia pada abad ke-17.

Berbeda halnya saat menuju pulau-pulau di sekitarnya, diperlukan sedikit 'ketegangan' untuk bisa merapatkan perahu motor di Pulau Kherkof. Beberapa saat sebelum sampai di bibir pantainya yang berpasir putih, mesin perahu sempat tersendat dan mati. Perahu jadi terombang-ambing di tengah laut dan para penumpang yang tak berbekal pelampung pun sempat ada yang menjerit takut dan segera merapalkan doa. Pulau ini seakan ingin mempertahankan eksistensi kemisteriusannya tanpa mau dijamah oleh pendatang.

Jumat, 14 September 2012

Galau di Pulau

.: Tapal batu Pulau Bidadari :.
Lebaran baru saja usai. Libur lebaran yang menyenangkan pasti akan meninggalkan banyak cerita. Mulai cerita mudik, bertemu keluarga, jalan-jalan di kampung halaman, bertemu dengan teman-teman, dan lain-lain. Tapi, ada juga yang tidak terlalu suka dengan libur lebaran karena saat itulah berondongan pertanyaan kepo tentang pacarnya siapa, kapan menikah, kapan punya anak, dan semua pertanyaan sejenis dilontarkan.

Awalnya sih sebenarnya cuma pertanyaan basa-basi, tapi kalau ditanggapi dan itu ditanyakan secara rutin tiap lebaran tiba, sesuatu yang tadinya basi-basi akan jadi semakin basi dan sangat mengganggu. Lagian, emang kalau orang tersebut menikah atau punya anak, efek signifikansinya dengan orang-orang yang selalu tanya itu apaan coba? Kecuali kalau yang tanya itu adalah orang Jawa yang mau segera menikah, sementara saudara tuanya belum menikah, itu sih masih reasonable karena meski diperbolehkan tapi biasanya dianggap nglangkahi saudara tua.

Jumat, 07 September 2012

Angkor Wat di Nganjuk

Candi Lor
What? Biasa aja bray. Memang bukan Candi Angkor, secara letaknya saja gak elit di tempat yang tidak semua orang Indonesia tahu. Nganjuk? Di mana tuh? Saya sih gak menyalahkan orang karena pelajaran geografi bukan pelajaran favorit orang kebanyakan. Malah yang lebih ekstrim, teman saya pernah bilang, "Ini Nganjuk kotanya kecil banget, gue kedip aja padahal baru lihat tulisan Selamat Datang, begitu melek lagi udah ada tulisan Selamat Jalan." Jleb. Halah, omongan lebay sih menurut saya.

Anyway, ceritanya gara-gara suntuk gak bisa ke mana-mana saat libur lebaran kemarin, saya putar otak kanan-kiri untuk mencari objek wisata di Nganjuk yang belum pernah saya datangi sebelumnya. Tadinya mau mandi di air terjun Sedudo, tapi karena keterbatasan waktu, saya hanya sempat mampir ke Candi Lor. Heran, berkali-kali melewatinya tapi saya belum pernah sekalipun mampir ke candi ini. Saya akui sih, ini salah satu 'penyakit' orang Indonesia: sudah ngacir ngalor ngidul ke mana-mana tapi belum pernah datang ke objek-objek wisata tidak populer di daerah sendiri.

Jumat, 31 Agustus 2012

Bertamu ke Istana Merdeka

Istana Merdeka Jakarta
Setelah berkesempatan memasuki Istana Bogor, saya pikir tinggal menunggu waktu saja untuk bisa masuk dan mengetahui bagian dalam Istana Kepresidenan di Jakarta. Sejak kecil, tak pernah terbersit selintaspun jika suatu saat bisa menjejakkan kaki di Istana Merdeka. Maklum, bayangan saya waktu itu, Istana Merdeka itu adalah tempat rapat presiden bersama para menterinya sekaligus juga tempat berlangsungnya upacara peringatan kemerdekaan Indonesia saja. Anak kecil dilarang masuk, apalagi sampai blusak-blusuk ke dalamnya.

Sampai suatu ketika, saat diajak jalan-jalan ke Monumen Nasional, bapak pernah bilang kalau Istana Merdeka itu adalah "tempat Mbah Harto (Presiden Soeharto-pen) tinggal dan menyampaikan pidato-pidatonya". Tak banyak informasi yang saya dapat dari sebuah kota kecil di Jawa Timur tentang istana ini selain gambar-gambar yang ditampilkan oleh siaran berita melalui kanal televisi bertagline Menjalin Persatuan dan Kesatuan. Alasan saya mengunjungi Istana Merdeka sebetulnya lebih kepada ingin berada lebih dekat dengan lokasi episentrum di mana seluruh penjuru negeri dari Sabang hingga Merauke ini diperintah.

Jumat, 10 Agustus 2012

Blusak-Blusuk ke Istana Bogor

Istana Buitenzorg yang megah
Saat pertama kali menginjak Kota Bogor pada tahun 2003, saya langsung jatuh cinta dengan kemegahan Istana Bogor yang ada di pusat kota ini. Tapi apa daya, karena bukan siapa-siapa, saya hanya bisa memandanginya dari balik jeruji pagarnya sembari memberi makan rusa-rusa tutul yang lucu atau melihatnya dari dalam kompleks Kebun Raya Bogor. Saya masih ingat, dulu pernah berfoto di depan pintu gerbang istana sebelah utara, tapi tak punya dokumentasinya karena foto itu tidak pernah dicetak dan tak tahu entah di mana. Saya juga masih ingat bahwa saat melihat Istana Bogor dari balik jeruji pagarnya yang angkuh ini, pernah berharap bahwa suatu saat bisa masuk ke dalam istana paling megah dan paling luas di Indonesia ini.

Hampir satu dekade berlalu, akhirnya pintu istana ini membuka diri untuk saya. Dengan dikawal ketat oleh polisi militer, akhirnya saya bisa melenggang masuk ke dalam istana dan mengagumi kemegahannya dari dalam. Dari Pak Djunaedi, Kepala Protokoler Istana Bogor, saya jadi tahu tentang seluk-beluk istana ini. Awalnya, sama seperti orang Jakarta yang menyingkir sejenak ke Puncak dari kepenatan kerja dan hawa panas ibukota, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Gustaaf Willem van Imhoff dalam sebuah perjalanannya ke Cianjur menemukan sebuah tempat yang sejuk di bantaran sungai Cisadane dan Ciliwung yang cocok jika dibangun tempat tetirah di atasnya.

Selasa, 31 Juli 2012

Dari Sipil ke Militer: Menjadi Pasukan Pengamanan Presiden

Welcome to Military Zone
Tak pernah terlintas di benak saya jika suatu saat akan berhubungan dengan dunia militer. Tidak juga pernah terbersit cita-cita menjadi kapiten yang mempunyai pedang panjang. Maklum, dari kecil profesi sebagai tentara bukan idaman saya. Setidaknya, memori kolektif masa kecil saya mengingatkan jika suatu saat harus jauh-jauh dari representasi bapak-bapak gendut dengan seragam loreng yang kerjaannya duduk-duduk saja di koramil dekat pasar dan selalu bersendawa keras sehabis makan di warung tetangga.

Tapi hari itu instruksi dari pimpinan sangat jelas dan ringkas: bawa pakaian secukupnya, baju dalam yang banyak, dan kumpul di kantor pusat, minggu depan tepat pukul 6 pagi. Tak ada penjelasan lebih lanjut tentang lokasi dan tak ada penjelasan tambahan yang menenangkan tentang mau dibawa ke mana. Tadinya saya pikir kalau tidak ke markas Akademi Militer di Magelang, kemungkinan besar akan dibawa ke Pusdiklat TNI di Bandung. Tapi ternyata, gerbang Markas Komando Grup C Pasukan Pengamanan Presiden Lawang Gintung, Bogor menjawab semua spekulasi yang beredar sebelumnya. Setelah masuk gerbang megah tersebut, saya segera lupa dan tak menyadari bahwa saya tak akan melihat gerbang ini lagi selama beberapa minggu ke depan.

Jumat, 27 Juli 2012

Rehat Sejenak di Masjid Raya Medan

The Icon - Masjid Raya Medan
Saat berkunjung ke suatu tempat, saya biasanya menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat ibadah yang menjadi landmark dari daerah tersebut. Alasannya, tempat ibadah suatu tempat biasanya berhubungan dengan asal-asul dari daerah yang bersangkutan. Tapi, sejak kecil saya sudah punya keinginan untuk mengunjungi Masjid Raya Medan hanya karena masjid tersebut selalu nampang di sampul buku diktat mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang dipakai di sekolah saya.

Dari dulu saya mengagumi bentuk bangunan masjid tersebut karena arsitekturnya yang unik dan berbeda dengan masjid yang ada di kampung halaman saya. Awalnya, saya mengira masjid yang ada di sampul depan buku diktat saya tersebut berada di kawasan Timur Tengah. Tapi, setelah tahu bahwa masjid tersebut terletak di pusat kota Medan dari tayangan sebuah video klip adzan magrib di televisi, saya selalu berharap suatu saat dapat datang berkunjung.

Kamis, 21 Juni 2012

Mesjid Merdeka di Taman Wilhelmina

Istiqlal dari ketinggian
Saat sedang antri 'mendaki' puncak Monumen Nasional (Monas), daripada tua gak jelas dalam antrian yang mengular, saya iseng jeprat-jepret dan memainkan kamera digital. Sampai suatu ketika, saya menyadari bahwa keberadaan Masjid Istiqlal yang berada di sebelah timur laut Monas ini sangat mencolok di antara gedung-gedung bertingkat lainnya. Saya pun berjanji dalam hati, kalau sudah sampai puncak nanti, Masjid Istiqlal adalah salah satu objek bidikan kamera yang wajib diabadikan selain lanskap kota Jakarta.

Tak dapat dipungkiri, masjid terbesar di Asia Tenggara yang dibangun pada era Presiden Soekarno tersebut seolah menjadi ikon kota Jakarta layaknya Monas dan Bundaran Hotel Indonesia. Ide awal pembangunan masjid ini digagas oleh KH Wachid Hasyim dan H. Anwar Tjokroaminoto, yang disambut baik oleh Presiden Soekarno yang saat itu sedang 'gencar' melaksanakan 'proyek mercusuar' agar bangsa Indonesia dipandang oleh bangsa-bangsa lain di dunia, sekaligus mengisi kekosongan karya rancang bangun di bumi nusantara setelah pembangunan Candi Prambanan dan Candi Borobudur akibat penjajahan yang berkepanjangan.

Senin, 14 Mei 2012

Tampil Menarik dengan (m)Batik

koleksi kain batik kesayangan
Saya sedang duduk sendirian di kamar lantai 5 sebuah hotel di Jakarta saat sebuah televisi swasta nasional menayangkan film dokumenter berjudul Batik: Our Love Story karya Nia diNata. Meski dalam keseharian tak lepas dari batik, rasa-rasanya saya belum pernah secara khusus menaruh perhatian pada batik. Berkali-kali menyampaikan keinginan untuk mengunjungi Museum Tekstil Tanah Abang untuk belajar membatik, selalu saja berakhir hanya sebatas niat belaka.

Makanya, entah terbius oleh film atau mungkin hasrat terpendam yang mulai muncul kembali, keinginan saya untuk mempelajari batik mulai tumbuh lagi. Awalnya sih saya iseng-iseng mendata koleksi batik yang saya miliki. Setelah itu, mulailah saya senang browsing-browsing tentang batik, motif yang unik-unik, sampai mengerti bahwa batik sendiri sebenarnya punya dua pengertian. Pertama yaitu batik dimaknai sebagai suatu bentuk seni atau teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Teknik ini sering disebut sebagai wax-resist dyeing. Yang kedua (dan ini merupakan pengertian yang banyak dipahami oleh orang kebanyakan), batik adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik wax-resist dyeing tadi yang di dalamnya meliputi penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki sesuatu yang khas atau unik.

Ngabur ke Bali

Selamat datang di Pulau Dewata
Itulah status teman-teman yang kerap saya baca di situs jejaring sosial saat akhir pekan tiba. Bali seolah menjadi tempat pelarian dari kepenatan hidup di ibukota. Memang sih, ngabur ke Bali saat akhir pekan lebih asyik daripada macet-macetan ke Bandung atau Puncak. Tapi kan, kalau 'hanya' untuk tempat ngabur saja, kenapa mesti Bali? Padahal di Indonesia kan, banyak sekali daerah yang dapat dipilih sebagai weekend gateway destination.

Tapi tak tahu juga ya, kalau dipikir-pikir, Bali itu semacam punya magnet tersendiri yang sanggup mengundang orang untuk datang ke sana. Alamnya yang cantik, pantainya yang indah, budayanya yang masih terjaga, orang-orangnya yang ramah, dan tentu saja, makanannya yang enak-enak. Saya akan heran kalau ada orang yang suka jalan-jalan tapi belum pernah menginjak tanah Bali. Orang kalau berlibur ke Bali rasanya pengen liburan terus. Waktu seakan melambat dan enggan beranjak. Rasanya hidup cuma untuk leyeh-leyeh, tidur-tiduran, makan-makanan yang enak (dan banyak), dan jalan pun pengennya yang pelan tanpa tergesa-gesa diburu waktu.

Selasa, 10 April 2012

'Perihnya' Ditato

ternyata 'perih' ditato itu :(
Tak perlu jauh-jauh pergi ke Bali kalau hanya untuk ditato. Sebenarnya di Blok M Jakarta juga ada. Tapi, mau bikin tato di mal kok ya malu kalau dilihat orang. Apalagi harus pakai acara buka-buka baju segala. Gara-gara pengen banget bikin tato, akhirnya saya mengiyakan ajakan teman untuk jalan-jalan di Pangandaran.

Sama seperti di Pantai Kuta, Bali, di Pantai Pangandaran banyak banget tukang jual jasa bikin tato, baik tato permanen maupun tato artifisial yang bisa ilang sendiri dalam seminggu. Harganya pun murah meriah alias bisa ditawar. Karena dalam agama yang saya anut ada larangan bikin tato permanen, akhirnya saya 'hanya' bikin tato palsu saja. Gak kebayang kalau saya bikin tato permanen. Waktu saya bilang mau bikin tato saja, teman-teman saya langsung pada bilang, "Gila lu, mau masuk neraka." Hehehe. Tatuuut. Sebenarnya niatan bikin tato ini cuma untuk iseng-iseng saja. Saya jadi teringat teman jalan saya, si Bambang yang pernah bilang, "Kadang tuh ya, kita sekali-sekali perlu 'nakal', untuk mengetahui seberapa jauh kita dari kesempurnaan". Bener-bener bisikan 'setan' nih. Hehehe.

Senin, 02 April 2012

'Gringotts' Bank of Indonesia

Museum Bank Indonesia
Berkali-kali jalan ke kawasan Kota Tua Jakarta, belum pernah sekalipun saya masuk ke Museum Bank Indonesia. Seringnya malah ke Museum Bank Mandiri yang ada di sebelahnya, entah untuk acara World Book Day atau hanya sekadar 'numpang' sholat di musholanya. Pertama kali mau masuk Museum Bank Indonesia dulu sempat ditolak sama satpamnya dengan alasan masih direnovasi. Berarti memang sudah lama sekali saya tak berkunjung ke sini.

Diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 21 Juli 2009, museum ini dimaksudkan sebagai sarana untuk menyajikan informasi kepada masyarakat tentang peran Bank Indonesia dalam sejarah perjalanan bangsa yang dimulai sejak kedatangan bangsa barat di wilayah Nusantara hingga terbentuknya Bank Indonesia tahun 1953, serta kebijakan-kebijakan Bank Indonesia berikut latar belakang dan dampak kebijakannya kepada masyarakat sampai dengan tahun 2005.

Senin, 26 Maret 2012

'Nyepi' di Ibukota

.: hening-hening dalam nyepi :.
Sebelumnya saya mengira bahwa yang punya kuasa untuk membuat jalanan Jakarta lengang dan sepi dan tak berpenghuni adalah pejabat atau pemimpin negara sahabat. Pasalnya, jika ada tamu negara yang 'penting' atau pejabat kita yang (sok) penting, jalanan akan disterilkan terlebih dahulu agar pejabat tadi bisa leluasa lewat. Tapi, (sejauh ini) ada dua orang yang saya tahu, bisa membuat jalanan Jakarta lengang hingga tampak seperti ditinggalkan penghuninya. Mereka ini bukan pejabat, bukan pula pemimpin negara sahabat. Saya angkat topi kepada keduanya.

Mereka adalah Rudi Sudjarwo dan Putrama Tuta. Keduanya berhasil memperlihatkan 'kekuatannya' mengosongkan kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI) seperti terlihat dalam film yang mereka buat. Saya kaget bukan main saat melihat Bundaran HI sepi-pi-pi ya di film Tentang Dia karya Rudi Sudjarwo. Saya juga terheran-heran bagaimana adegan 'Jakarta-drift' dalam film Catatan Harian Si Boy karya Putrama Tuta bisa dilakukan oleh Rifat Sungkar di Bundaran HI tanpa ada satu kendaraan lain pun yang melintas. Sebenarnya saya memang suka sekali kalau melihat Jakarta dalam keadaan lengang. Tak perlu sepi banget sih, tapi paling tidak keadaannya tak perlu selalu padat merayap setiap hari.

Kamis, 22 Maret 2012

Belanja-Belanji Saat Traveling

(bukan) sepatu kaca Cinderella
Ada yang bilang kalau jalan-jalan kurang lengkap tanpa ada acara belanja. Terus terang, saya tidak terlalu suka belanja. Paling-paling beli sesuatu hanya sekadar untuk oleh-oleh orang rumah atau di bawa ke kantor. Saya niat belanja saat jalan-jalan apabila melihat ada sesuatu yang unik, harganya sesuai dengan kantong, gak ribet bawanya, dan seringnya untuk tujuan menghadiahi diri sendiri karena berhasil melakukan sesuatu. Itupun jumlahnya terbatas dan intensitasnya jarang. Makanya saya heran kalau melihat ada orang yang jalan-jalan, sudah bawaannya banyak, eh begitu pulang, kopernya beranak-pinak.

Barang-barang yang menjadi sasaran belanja favorit saya kebanyakan adalah buku, kain tradisional, kaos oblong (untuk dipakai di rumah), dan cemilan. Kayaknya sudah bukan jamannya lagi deh saya beli oleh-oleh berupa gantungan kunci, hiasan kulkas, kartu pos, dan pernak-pernik lainnya. Karena saya tak punya pohon duit, jadi biar 'kehidupan' tetap jalan terus dan acara jalan-jalan berikutnya tetap lancar, saya menyiasati acara belanja-belanji saat jalan-jalan seperti ini:

Senin, 19 Maret 2012

Merantau ke Maninjau

Maninjau yang cantik
Tak ada alasan pasti mengapa saya datang ke Maninjau. Awalnya saya hanya ingin ke Bukittinggi untuk melihat Jam Gadang. Tapi, teman saya, Donald, menyarankan untuk mampir juga ke Maninjau untuk melihat danau indah di bawah bukit. Saya pun menyetujuinya. Sekilas yang saya tahu, Maninjau ini adalah kampung asal sastrawan Buya HAMKA yang terkenal dengan novelnya Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Belakangan saya baru tahu kalau HR Rasuna Said juga berasal dari sini. Yang membuat saya kaget, ternyata Rasuna Said adalah seorang perempuan dengan nama lengkap Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Ke mana saja saya selama ini, padahal sering banget melewati jalannya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan yang langganan macet.

Maninjau adalah sebuah kampung kecil di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kampung ini sepi dan tenang. Vegetasinya berupa lanskap persawahan, kebun kelapa, dan hutan-hutan kecil di atas bukit. Rumah penduduknya tidak melulu berupa rumah adat Gadang dengan atap bagonjong (atap tradisional Minangkabau yang mirip tanduk kerbau) yang khas, tetapi rumah-rumah biasa dengan atap genteng dan sirap. Beberapa rumah saya yakin merupakan peninggalan pemerintah kolonial dengan arsitektur Melayu Minang yang bangunan utamanya berbentuk segi enam dengan jendela-jendela kisi.

Rabu, 01 Februari 2012

Hening-Hening Eling di Pura Batu Bolong

Pagi yang Hening di Pura Batu Bolong
Dari dulu saya selalu berpikir bahwa berkunjung ke Lombok tak ubahnya seperti bertandang ke Bali. Kalau lihat peta, Pulau Lombok selalu saya identikkan dengan 'saudara kembar' dari Pulau Bali. Selain banyak pantai indah dan laut yang bersih, di sini juga berdiri resort-resort seperti di Bali yang mempunyai halaman belakang menyatu dengan pantai.

Walaupun mayoritas penduduknya muslim dan dikenal sebagai Pulau 1000 Masjid, Lombok juga masih menyimpan sisa-sisa kejayaan Kerajaan Karangasem sejak abad ke-17 berupa pura. Beberapa pura yang saya ketahui di Lombok dan masih digunakan hingga sekarang adalah Pura Lingsar di Narmada, Pura Meru dan Mayura di Cakranegara, serta Pura Batu Bolong yang ada di dekat pantai Batu Layar kawasan Senggigi.

Minggu, 01 Januari 2012

Mengejar Matahari Terbit

Sunrise di Pulau Kalong, Taman Nasional Komodo, NTT
Banyak orang menganggap bahwa momen matahari terbit adalah saat paling indah dalam suatu hari. Ada semacam daya magis yang mengundang ketenangan dan rasa kagum atas keindahan ciptaan Sang Khalik. Makanya, banyak juga orang yang berbondong-bondong datang ke suatu tempat seperti ke pantai atau gunung hanya untuk melihat atau mengabadikan momen tersebut. Bahkan, sekarang malah ada paket-paket wisata yang ditawarkan untuk menyaksikan matahari terbit seperti di Bukit Penanjakan Gunung Bromo dan Puthuk Setumbu Candi Borobudur. Promonya pun dikemas dengan menarik sedemikian rupa agar kelihatan istimewa: menyaksikan matahari pertama di tahun baru, menjadi saksi pertama terbitnya sang surya di puncak gunung, atau menyambut datangnya fajar baru, halah, kayak kampanye pemilihan anggota dewan saja.

Sudah lama tak naik gunung, akhirnya saya ikut juga ajakan teman untuk naik Gunung Sikunir di kawasan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk melihat matahari terbit. Konon, pemandangan matahari terbit di Gunung Sikunir adalah salah satu yang terindah di Indonesia. Gunung Sikunir sendiri sebenarnya adalah salah satu puncak di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Tingginya sekitar 2.263 meter. Tidak terlalu tinggi sih untuk disebut gunung, tapi lumayan juga menguras tenaga untuk menggapai puncaknya.