Museum di Hatiku. Di Hatimu? |
Sangat miris sebenarnya saat mendengar celoteh teman-teman yang bercerita tentang museum-museum 'biasa' saja yang ada di luar negeri dengan biaya sekian euro, sementara mereka nihil informasi tentang museum-museum lokal. Padahal, sepengetahuan saya, hidup di Indonesia harusnya sangat termanjakan dengan tersedianya begitu banyak museum dengan koleksi yang bermacam-macam pula. Pun juga, harga tiketnya kadang kala sangat tidak manusiawi dibandingkan dengan apa yang dapat kita peroleh jika bertandang di dalamnya. Bahkan ada yang tanpa dipungut biaya. Bayangkan, rata-rata tiket masuk museum di Indonesia untuk pengunjung dewasa 'hanya' Rp. 2.000,00 hingga Rp.5.000,00 saja. Masih lebih mahal dibandingkan dengan, katakanlah, tarif jalan tol atau parkir di mal. Tapi, apakah dengan begitu museum-museum di Indonesia serta merta ramai pengunjung?
Biola W.R. Soepratman |
Dengan tagline "Museum di Hatiku", acara yang dihelat untuk pertama kalinya tersebut mengambil tempat di Ruang Cendrawasih, Jakarta Convention Centre (JCC) dengan memamerkan koleksi artefak dari 280 museum yang ada di Indonesia. Selain memajang benda-benda bersejarah, acara yang bertujuan menyosialisasikan program Tahun Kunjungan Museum dan Gerakan Nasional Cinta Museum yang dicanangkan sejak tahun 2010 itu juga membuat acara-acara seru di antaranya berupa Pameran (Bursa) Merchandise Ikon Museum, Talkshow 'Ngobrol Santai Bareng Tokoh', Pemutaran Film bertema Sejarah, dan seminar-seminar.
Meski untuk masuk tak dipungut biaya, antusiasme pengunjung tak seramai ruangan di sebelahnya yang menawarkan aneka tempat tidur mewah dan perlengkapan pesta pernikahan. Padahal, banyak hal unik yang disajikan selama pameran berlangsung. Misalnya saja, karena belum pernah berkunjung ke Museum Sumpah Pemuda, di sinilah untuk pertama kalinya saya melihat biola yang dipakai oleh Wage Rudolf Supratman untuk memperkenalkan lagu Indonesia Raya sebagai cikal bakal lagu kebangsaan Indonesia pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928.
Benda bersejarah lainnya yang turut diboyong dalam pameran ini adalah tandu yang digunakan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk bergerilya melawan penjajah Belanda. Melihat tandu ini, pikiran saya seolah dituntun untuk mengingat perjalanan Sang Jenderal keluar masuk hutan di selatan Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang dulu sering diceritakan oleh ayah saya dan juga diajarkan di buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia.
cinema layar bundar :) |
Hal lain yang menurut saya beda adalah dipamerkannya artefak-artefak kuno dalam bentuk virtual dalam ruangan berkabut dengan memanfaatkan pengaturan cahaya dan penggunaan kabut buatan. Arca-arca yang ditampilkan akan berubah secara periodik dan ritmis seperti dalam sebuah film. Memang, bentuk arcanya tidak kelihatan penuh karena mengikuti hembusan kabut buatan. Tapi media ini terbukti sukses menarik animo pengunjung yang ingin tahu lebih jauh tentang benda-benda kuno yang ditampilkan sekaligus juga berfoto-foto.
patung virtual |
Melihat beragamnya stand museum yang ikut pameran di acara ini dan mengingat luasnya wilayah Indonesia yang hampir seukuran dengan benua Eropa, kita harusnya bersyukur mendapati berbagai museum bertebaran di seluruh penjuru negeri dengan mengunjungi dan belajar dari sana. Saya jadi ingat dengan penggalan tulisan Eric Weiner dalam bukunya The Geography of Bliss bahwa negara kaya minyak seperti Qatar ternyata mengalami kesulitan mengidentifikasi dan mendaftar masa lalu kebudayaan negerinya.
Cinta Museum |
Emir Qatar bertekad untuk melakukan sesuatu terkait dengan budaya negaranya yang hilang. Dengan devisa negara yang menakjubkan, Qatar berusaha 'membeli' masa lalu dengan menginventarisasi atau bahkan 'mengimpor' budaya bangsa lain yang mendiami negerinya. Sangat jelas di sini bahwa uang memang berpotensi untuk mengembangkan masa depan. Di sisi lain, Qatar juga sekaligus mengingatkan kita bahwa ternyata, uang tidak dapat dapat membeli masa lalu. Berkaca pada negeri sendiri, apa kabar dengan Indonesia yang kaya akan sejarah masa lalu?
Sebenarnya, museum dibangun dengan tujuan mulia yaitu sebagai lembaga edukatif. Tapi, entah karena minim apresiasi atau kemasannya yang biasa saja, banyak museum di Indonesia yang akhirnya berdiri sebatas sebagai ruang pamer saja. Artinya, apa yang disajikan di museum menjadi kurang hidup dan bahkan jauh dari misi menjembatani periode kuno dengan perspektif masa kini.
sehati? :D |
Dengan begitu, kita juga jadi tahu akan PR yang menanti untuk dicari solusinya di masa mendatang yaitu bukan lagi tentang memasyarakatkan museum tetapi tentang bagaimana membalik kenyataan bahwa menjual kenangan masa lalu di negeri ini bukan merupakan komoditas laris yang diminati menjadi sesuatu yang dibutuhkan dan dibanggakan masyarakat sebagaimana tagline pameran ini. Saya hanya berharap, semoga saja penyebab museum akhirnya mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia bukan karena diakuisisi atau dikelola oleh negara lain.
*saya lagi buat list museum yang mau saya kunjungi, nice post!
BalasHapusWah, senang sekali ada yang (masih) suka ke museum :)
Hapus