Rabu, 03 Oktober 2018

Menjejak Kisah Crazy Rich Asians

.: Welcome to Singapore :.

Rasa-rasanya, dulu, tak ada alasan untuk mengunjungi Singapura karena pengaruh film yang telah ditonton. Alasan pergi ke Singapura bagi sebagian besar orang Indonesia tak pernah jauh dari mencoba paspor baru dan merasakan pengalaman pergi ke luar negeri untuk pertama kalinya. Nah, setelah film Crazy Rich Asians beredar di bioskop, saya seperti menemukan alasan baru untuk pergi ke Singapura demi menjejak kembali tempat-tempat yang dijadikan latar pengambilan gambar film tersebut. Setidaknya, saya tidak merasa perlu ikut arus jika suatu saat ada travel agent yang menawarkan paket tur bertajuk napak tilas kisah film Crazy Rich Asians.

Meski sudah pernah mengunjungi hampir semua lokasi syuting film tersebut, saya hanya memfokuskan pada Singapura saja. Entah mengapa, negara kecil ini seakan sanggup mendongkrak popularitas seseorang di media sosial. Padahal kan ya biasa saja. Mungkin karena Singapura terkenal mahal, bahkan paling mahal di antara semua ibukota negara di Asia Tenggara, sehingga orang akan berasumsi bahwa yang bisa merasakan suasana negara kota ini, lengkap dengan fasilitas terbaiknya ialah orang-orang spesial. Sekali lagi, menurut saya sih, biasa saja.   

Sabtu, 30 Juni 2018

Bersimbah Peluh di Batu Caves

.: Batu Caves dengan Patung Dewa Murugan Selalu Ramai Pengunjung :.

Meramal cuaca tak ubahnya membaca isi hati. Kita tak pernah benar-benar tahu sampai sesuatu terjadi. Siang itu langit cerah. Matahari bersinar dengan jumawa. Memakai baju koko lengan panjang seusai salat Jumat, keringat menyeruak di sekujur tubuh, menjawab jerangan siang yang membabi buta. Untung sekali di dalam LRT ada pendingin udara. Saya sengaja mempercepat langkah di Stasiun Central untuk menuju Batu Caves, destinasi populer di Kuala Lumpur, Malaysia.

Batu Caves merupakan sebuah 'kompleks' pemujaan yang disucikan umat Hindu Tamil di Malaysia. Lokasinya berada di dalam perut karst di utara kota. Saya bertandang ke Batu Caves bersama seorang kawan-ketemu-di-jalan dari Polandia. Namanya Radek. Usia kami kebetulan tidak berbeda jauh. Hobi kami pun sama: jalan-jalan dan lari maraton. Sepanjang perjalanan menuju, kita ngobrol ngalor-ngidul tentang destinasi yang sudah dikunjungi dan ajang maraton yang sudah diikuti.

Minggu, 24 Juni 2018

Kuala Lumpur dalam Sekejap Mata

.: Selamat datang di Kuala Lumpur :.

Hari kedua lebaran di Kuala Lumpur berjalan tanpa kejutan berarti. Saya bangun pagi dan mendapati langit begitu sendu. Sisa hujan malam tadi. Lantai kolam renang masih basah. Embun mengambang di udara. Munudungi pucuk-pucuk gedung yang menjulang ke angkasa.  

Tak mau digiring kembali oleh hawa dingin untuk meringkuk di balik selimut, setelah subuh saya segera mengambil sepatu lari. Pagi yang menerbitkan semangat harus diawali dengan sesuatu yang membangkitkan energi. Saya berlari ringan menyusuri Dataran Merdeka yang suasananya tak kalah syahdu. Sepi. Palagan Standard Chartered Kuala Lumpur Marathon ini seperti meringkuk dalam hening.

Sabtu, 16 Juni 2018

Lebaran di Negeri Jiran

.: Selamat Hari Raya Idulfitri 1439 Hijriah :.

Langit gelap bertabur bintang. Gema takbir berkumandang. Jalanan cukup lengang. Masjid-masjid tampak mulai bersiap untuk hajatan esok hari. Lebaran telah datang. Untuk kali pertama saya berlebaran di negeri orang. Bukan karena alasan menghindari sesuatu, tapi lebih karena berburu pengalaman baru. Semesta mendukung dengan mengirimkan tanda berupa tiket promo pergi pulang dengan harga terjangkau. Sungguh kesempatan yang sayang untuk dilewatkan.   

Memang, idealnya lebaran digunakan untuk berkumpul bersama keluarga di rumah. Berhubung liburnya lumayan panjang, saya memanfaatkannya dengan liburan juga. Bosan kan di rumah tidak melakukan apa-apa selain bengong membaca buku dan menghabiskan cemilan saja. Melipirlah saya ke negeri tetangga. Selain akses yang mudah dan suasananya juga tidak berbeda jauh dengan di tanah air, biaya hidupnya juga murah.

Sabtu, 09 Juni 2018

Jogja Melankolia (Jilid Dua)

.: Welcome to Jogja :.

Roda-roda kereta berderit saat memasuki Stasiun Tugu Jogja. Hari masih pagi. Dingin mereguk tengkuk. Namun rona kehangatan menjalar ke seluruh tubuh. Saya tiba kembali di Jogja. Kota yang tetap istimewa. Setidaknya bagi saya. Empat tahun silam, saya menulis catatan tentang kenangan istimewa saat berlibur ke Jogja bersama keluarga bertahun lalu dan berusaha merunut keping memori yang tertinggal.

Hari ini, empat orang yang sama, berangkat dari tempat berbeda, dengan membawa keping memori yang tersisa di kepala masing-masing, berjanji jumpa dalam sebuah pertemuan keluarga untuk merunut perjalanan pertama. Rasanya seperti berjalan kembali ke titik nol. Tempat segalanya bermula.

Minggu, 27 Mei 2018

What I Talk about When I Talk about Books

.: Bersama Haruki Murakami di Kompleks Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat :.

Beberapa waktu lalu, linimasa saya diramaikan oleh riuhnya orang-orang yang berburu buku di Big Bad Wolf Bookfair, ICE BSD, Tangerang Selatan. Entah mengapa, saya senang sekali mengikuti keriuhan tersebut. Mungkin, perasaan 'dekat' secara emosional dengan sesama pecinta buku yang menjadi katalisnya. Saya sendiri senang berada di lingkaran orang-orang yang suka membaca, membahas suatu buku, atau paling tidak, mempunyai kesenangan untuk berbelanja buku.

Saat gairah untuk menulis sedang surut akhir-akhir ini, saya seperti menemukan semacam oase sebagai jalan pelampiasan. Sebenarnya keadaan seperti ini tidak sehat. Setidaknya menurut pemikiran saya pribadi. Kegiatan menulis seyogianya bisa berselang-seling berkelindan dengan keasyikan membaca. Normalnya, saya biasa menyelesaikan membaca tiga sampai dengan lima buku saban bulan (termasuk di antaranya satu buku berbahasa Inggris) dan menulis paling tidak satu postingan blog tiap pekan.  

Minggu, 20 Mei 2018

Mandiri Jogja Maraton 2018: Berlari Keliling Candi

.: Sugeng rawuh wonten Jogja :.

Ada saat di mana kita begitu merasa mempunyai ikatan batin yang sangat kuat dengan suatu tempat. Perasaan yang begitu hangat dan tenang seperti saat berada di rumah sendiri. Entah mengapa, perasaan itu begitu menyala saat saya bertamu ke Jogja. Saya tidak lahir di Jogja. Tidak pula tinggal dan bekerja di Jogja. Namun, setiap kali bertemu dengan orang baru, saya kerap dituduh dan mendapat sematan sebagai orang yang berasal dari Jogja. Bahkan dari warga Jogja sendiri.

Betapa sering para tukang becak dan penjual nasi pecel yang berderet di sepanjang Malioboro dengan lugas melayangkan tanya, "Jogjanipun pundi mas?". Awalnya saya agak kaget. Lama-kelamaan akhirnya mampu menguasai diri dan mahfum. Saya berusaha menjawab dengan bahasa Jawa krama inggil. Mereka biasanya senang sekali. Membuat orang lain bahagia merupakan salah satu bentuk kebajikan, bukan?

Kamis, 10 Mei 2018

Maraton di Malaysia

.: Selamat datang di Malaysia :.

Tahun 2018 bagi saya merupakan tahun yang mendebarkan. Ada beberapa agenda yang akan saya lakukan pertama kali dalam hidup. Meski sebenarnya, setiap memasuki tahun baru, saya juga deg-degan karena akan jalan-jalan mengunjungi daerah baru, atau bahkan, negara baru yang akan menambah koleksi cap di paspor. Tapi rasanya lain. Dalam dunia lari yang sedang saya geluti, tahun 2018 adalah tahun Full Marathon (FM) bagi saya.  

Sejak ikut race lari pertama kalinya di YOI Bandung Great Run tahun 2016 silam, kecuali bulan Ramadhan, saya secara ajeg mengikuti race lari kategori 5K dan 10K sepanjang tahun tersebut. Bahkan, saya bisa saja ikut race lari di hari Sabtu dan Minggu. Saya cukup 'keras kepala' menolak semua ujaran, cemoohan, ataupun sindiran yang mengatakan sudah waktunya saya 'naik kelas' ke kategori Half Marathon (HM).

Sabtu, 07 April 2018

Mengapa Harus (Jalan Bareng) Bule?

.: Lalu lalang para pejalan mancanegara :.

Setiap generasi selalu melahirkan pengalaman dan fenomenanya sendiri. Hampir tiga tahun berselang, saya pernah menulis di sini tentang betapa sebagian orang Indonesia begitu suka berfoto dengan bule. Mereka menjadikan itu sebagai sebuah kebanggaan sebagaimana bangganya mengungkapkan sesuatu dalam bahasa Inggris. Seolah ada sesuatu yang spesial atau menjadi bernilai lebih jika hidup kita bersinggungan dengan bule. Padahal kan, ya biasa saja gitu.

Dari dulu, saya tidak menganggap bahwa bule itu 'sesuatu' banget. Ya biasa saja. Persinggungan hidup saya dengan bule juga berlangsung alamiah saja. Sama seperti saya kenal atau bersinggungan dengan orang Indonesia pada umumnya. Meski dulu sempat canggung karena masalah bahasa, saat ini hampir-hampir tidak mengalami hal itu. Apalagi, semakin jauh (dan sering) melakukan perjalanan, semakin sering pula saya bergaul dengan bule. Dan karena sudah begitu seringnya, saya semakin merasakan hal yang biasa saja terhadap bule. Intensitas itulah yang perlahan-lahan membuat saya paham dan mungkin semakin menegaskan pandangan saya terhadap bule. Berikut ini beberapa hal di antaranya.

Sabtu, 17 Februari 2018

Singgah Sejenak di Pulau Kelor

.: Selamat datang di Pulau Kelor :.

Begitu perahu yang saya tumpangi mengangkat sauh dari dermaga Loh Buaya di Pulau Rinca, rasa-rasanya semua penumpang merasakan sensasi yang sama. Di satu sisi terlihat lelah, di sisi yang lain begitu bersemangat mendiskusikan naga purba yang baru saja mereka temui sepanjang jalur trekking. Matahari begitu semangat menjerang. Angin sepoi berkelindan. Pelan tapi pasti, perahu kembali merandai perairan Flores berarus deras.

Perjalanan mengarungi Taman Nasional Komodo tak ubahnya berlari dalam sebuah labirin yang rumit. Di atas peta, destinasi unggulan pariwisata nusantara ini terlihat seperti periuk belanga yang dibanting di atas lantai. Berserakan. Pulau-pulau mungil yang mengapung di atasnya ibarat titik persinggahan yang diurai melalui selat-selat cupet berair pirus. Seminggu mengarunginya, saya mulai mengidap sindrom lupa nama-nama hari.

Minggu, 07 Januari 2018

Tak Ada Ora di Gili Lawa

.: Pemandangan dari Puncak Gili Lawa Darat :.

Jauh sebelum Pulau Padar menjelma destinasi ikonis untuk menikmati Taman Nasional Komodo dari ketinggian, Gili Lawa merekah sebagai primadona. Daratan mungil ini kerap disambangi pengunjung sebelum mendarat di Pulau Komodo. Pantainya landai dan berpasir putih. Lautnya dangkal dan tidak berombak. Sebuah selat cupet menjadi pemisah antara dua daratan yang pernah bersatu di masa lampau, membentuk lekukan unik serupa bendungan alam. 

Setelah bertarung dengan ombak dan badai dalam pelayaran sembilan jam dari Pulau Satonda, kapal yang saya tumpangi merapat di Gili Lawa Darat. Gili Lawa Laut sengaja dilewatkan karena selain topografinya serupa dengan Gili Lawa Darat, menurut perhitungan sang pemandu, tak ada cukup waktu untuk mengejar perjalanan menuju Pulau Komodo pada siang hari nanti. Tak ada dermaga di Gili Lawa Darat. Pulau ini sepi seperti pagi yang baru saja dimulai. Hening. Air laut sedang surut. Lambung kapal tak sanggup mencium bibir pantai. Dengan terpaksa, para ABK dengan sigap menyiapkan sampan untuk merengkuh daratan.