.: Welcome to Jogja :. |
Roda-roda kereta berderit saat memasuki Stasiun Tugu Jogja. Hari masih pagi. Dingin mereguk tengkuk. Namun rona kehangatan menjalar ke seluruh tubuh. Saya tiba kembali di Jogja. Kota yang tetap istimewa. Setidaknya bagi saya. Empat tahun silam, saya menulis catatan tentang kenangan istimewa saat berlibur ke Jogja bersama keluarga bertahun lalu dan berusaha merunut keping memori yang tertinggal.
Hari ini, empat orang yang sama, berangkat dari tempat berbeda, dengan membawa keping memori yang tersisa di kepala masing-masing, berjanji jumpa dalam sebuah pertemuan keluarga untuk merunut perjalanan pertama. Rasanya seperti berjalan kembali ke titik nol. Tempat segalanya bermula.
Bertahun silam, saya diboyong oleh keluarga untuk melakukan perjalanan wisata. Perjalanan sederhana yang menjadi titik balik banyak sekali perjalanan setelahnya. Ingatan tersebut mulai mewujud saat saya melangkah keluar gedung stasiun. Tampak plang penginapan yang masih gagah berdiri di seberang sana. Penginapan pertama yang menjadi peraduan kami sekeluarga. Sebuah losmen yang namanya akan terus mendekam abadi dalam memori empat orang yang sama: Nusantara.
.: Sabtu Pagi di Jalan Malioboro :. |
Tak ingin hanyut dalam drama yang terlalu dini, saya segera mencari tempat beristirahat. Seorang kawan sudah memesan sebuah kamar sederhana untuk saya di Jalan Malioboro. Saya segera menuju ke sana. Setelah salat subuh dan bebersih, saya melangkah keluar lagi, menuju tempat yang ajek disambangi setiap kali bertandang ke Jogja.
Kota ini masih sama seperti terakhir kali saya tinggalkan setahun silam. Kalem. Semuanya tampak jauh dari kesan ketergesaan. Para tukang becak tampak masih tidur di becaknya. Hanya beberapa saja yang terlihat sudah mengayuh menjemput rezeki. Beberapa pedagang mulai sibuk membuka lapaknya. Jalanan belum ramai, tapi juga tidak lengang. Jogja di pagi hari selalu tampak damai di hati.
.: Kembali ke selera asal :. |
"Badhe tindak pundi mas? Monggo becake. Kulo derekaken.", kata seorang bapak tukang becak, menawarkan jasanya.
"Matur sembah nuwun Pak. Mboten teng pundi-pundi kok. Badhe sarapan sekul pecel mawon." jawab saya, sembari menunjuk lokasi penjual nasi pecel langganan yang ada di seberang jalan.
Terus terang, sejak pindah ke pinggiran Jakarta, saya agak kesulitan mencari warung yang menyediakan menu pecel yang pas di lidah. Mungkin sambalnya beda. Atau mungkin juga suasananya. Untuk itu, kunjungan ke Jogja tak pernah salah menjadi pengobat rindu. Saya bisa berubah menjadi omnivora dadakan. Selain nasi pecel, saya merasa wajib mencicip barang satu porsi gudeg Yu Jum Pusat, yang lokasi warungnya ada di gang kecil. Tapi pagi ini, saya pikir sepiring nasi pecel sudah cukup.
Saya berjalan dan berlari kecil menuju kawasan Tugu. Jalan ini masih relatif sama. Penuh kenangan. Jalurnya berangsur menyempit untuk memberi ruang yang lebih leluasa pada pejalan kaki. Di trotoar sepanjang Malioboro pun telah dipasang beberapa tempat duduk. Lumayan untuk tempat melepas lelah.
.: Toko-toko tua nan bersahaja :. |
Ruko-ruko tua masih setia menjadi saksi banyak peristiwa dan perubahan. Fasadnya tak ubahnya seperti laku seorang abdi pada rajanya: sederhana. Merekalah salah satu penggerak ekonomi kerakyatan yang masih bertahan di tengah serbuan mal dengan modal kolosal. Saya jadi teringat dengan pengalaman saat di sekolah dulu. Berjalan bersama teman dari toko ke toko diantar tukang becak hanya untuk mendapatkan bakpia murah dan kaos kebanggaan anak muda kala itu. Dagadu. Palsu pula. Hanya itu yang sanggup kami beli.
Gawai saya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Dari ibu saya. Beliau baru berangkat dari Nganjuk. Sedianya akan sampai Jogja siang hari. Pikiran saya melayang. Saya tidak ingat apapun tentang kenangan berjalan di Malioboro bersama keluarga. Mungkin usia sudah melenyapkannya dari kerat memori. Saya hanya ingat pernah menginap di Jogja, yang belakangan, baru saya tahu merupakan kawasan lampu merah.
Perjalanan kali ini terjadi tanpa disengaja. Saya bertandang untuk mengikuti Mandiri Jogja Maraton 2018. Sedangkan orang tua dan kakak saya, sambang Jogja untuk menghadiri hajatan keluarga besan. Pertemuan ini ide saya. Karena di rumah, yang masih ajek memelihara ingatan dan kenangan seperti ini hanya saya. Orangtua saya lebih suka mengingatnya melalui foto album yang ditengoknya secara tak sengaja saat bersih-bersih lemari. Sedangkan kakak saya, sepertinya lebih cuek untuk hal-hal remeh seperti ini.
.: Manunggaling Kawula Gusti :. |
Saat saya sampai Tugu, perempatan itu sudah riuh sekali. Entah saya yang bertumbuh atau apa, saya merasa ukuran tengara Jogja ini kian menyusut. Mungkin efek bangunan di sekitarnya yang bertambah rapat dan tinggi. Tapi, fasadnya masih tetap anggun dan menyimpan pesona tersendiri. Seolah, kejumawaannya tak tersentuh oleh perubahan zaman.
Saya masih menyimpan teguh filosofinya. Manunggaling kawula gusti. Semangat persatuan antara rakyat dan penguasa melawan penjajah. Sebuah ikatan batin antara rakyat dengan raja yang masih mengakar dan terjalin hangat hingga sekarang. Sedangkan jalur yang menghubungkan antara tugu ini dengan keraton dimaknai secara filosofis sebagai kiasan dalam perjalanan manusia menuju tujuan yang hakiki (paran) menuju keabadian.
.: Mural-mural cantik :. |
Matahari mulai terik. Jika ditanya tentang perubahan dari Jogja, saya akan langsung menjawab bahwa Jogja sekarang menjadi panas. Entah mengapa, udaranya jadi kering. Mungkin karena adanya pembangunan yang masif di sana sini. Saya juga tidak tahu pasti. Yang jelas, desas-desus dari kawan yang tinggal di Jogja, harga properti di sini sudah selangit. Tak terjangkau dan seringkali tak masuk akal. Tapi, saya tak mau memikirkan itu. Niat saya datang ke Jogja kali ini hanya untuk lari dan berjumpa dengan keluarga. Itu saja.
Jalur lari saya ternyata harus kembali ke arah keraton. Saya kembali berada di Jalan Malioboro. Saya berhenti sejenak di perempatan yang mengarah ke Jalan Pasar Kembang. Saya memerhatikan sesuatu. Mural itu masih ada. Sebuah sinyal bahwa simbol-simbol sederhana seperti ini masih terawat dengan baik. Yang membuat saya kagum, pesan itu sungguh kuat. Sebuah ajakan untuk membuat udara Jogja kian bersahabat dengan paru-paru. Seruan halus untuk mengurangi polusi. Agar Jogja tetap sejuk dan nyaman.
.: [The Power of Chilhood Memory] Liburan Keluarga ke Yogyakarta :. |
Gawai saya kembali bergetar. Ibu saya memberitahu bahwa keretanya terlambat. Baru akan sampai Jogja sekitar sore hari. Saya pun mendesah pelan. Keinginan untuk berjalan bersama di Jalan Malioboro tampaknya akan kembali ditunda. Namun tidak apa-apa. Setelahnya, masing-masing dari kami sibuk dengan agendanya sendiri. Saya mengikuti ajang lari maraton di kawasan Candi Prambanan dan menginap di dekat venue acara, sedangkan keluarga saya menghadiri hajatan pernikahan.
Sebenarnya, saya berencana ke kota Jogja untuk menemui orangtua. Tapi malam itu sungguh lelah sekali. Saya flu dan kepala pusing. Terpaksa hanya terkapar di dalam kamar. Barulah keesokan harinya, selepas acara maraton, saya segera bergabung dengan rombongan kondangan. Meski ditunda sejenak, akhirnya pertemuan kembali di Jogja itu terjadi juga. Meski tidak lama.
.: Jogja kembali. Setelah ribuan purnama :. |
Saat akan kembali ke tempat masing-masing dari Stasiun Tugu, saya menggiring mereka menuju losmen Nusantara. Tempat yang sangat berarti bagi kami. Saya ingin kita berfoto bersama kembali, persis seperti yang dulu pernah dilakukan bertahun lalu. Tingkah 'konyol' ini sempat membuat para tukang becak bengong saat ada satu keluarga minta diambilkan fotonya malam-malam di pinggir Jalan Pasar Kembang yang ramai lalu lalang kendaraan.
Belakangan, saya baru tahu kalau kakak saya juga ingat perihal nama losmen ini. Ternyata, setiap kita menyimpan kepingan memori masing-masing atas kejadian yang terjadi di masa lalu. Seperti kejadian empat tahun lalu saat menulis catatan tentang Jogja, saya masih percaya bahwa setiap perjalanan akan membawa sebuah kenangan. Ada kalanya kenangan tersebut menyeret kita pada peristiwa serupa yang pernah terjadi di masa lalu. Kita semua berpisah untuk kembali ke tempat masing-masing di Stasiun Tugu. Saat roda-roda kereta kembali berderit meninggalkan Jogja dengan segenap kepingan nostagianya, saya merasa lebih siap untuk menghadapi segala tantangan yang bakal mengada. []
Bener ya, banyak orang yg punya kenangan tersendiri dengan kota gudeg ini. Lalu jatuh cinta. Kadang ngerasa cemburu ga sih mas, jogja juga dicintai banyak orang lainnya hahaha
BalasHapusHahaha semua orang punya kenangan sendiri tentang Jogja. Mereka merawat kenangan tersebut dengan kemerdekaan penuh, tanpa campur tangan siapapun ;)
Hapus4,5 tahun saya berada di Jogja.. dan saya tidak bisa lupakan hal itu..
BalasHapusPasti banyak kenangan sudah dirajut di sana. Selamat mengalami :)
Hapusdituliskan dengan sangat apik...
BalasHapusbtw dagadu masih ada gak sih skrg? dulu bangga bgt punya dagadu, ntah asli atau palsu ahahaha..
-Traveler Paruh Waktu
Terima kasih lho atensinya. Dagudu masih eksis kok. Meski sekarang pesaingnya bertambah banyak. Kita semua tahu bahwa daya kreativitas itu berkembang, kadang menyublim dalam sesuatu yang baru, tapi ada juga yang stagnan melakukan repetisi :)
HapusJadi bisa merasakan perkembangan kota ya mas, membandingkan Jogja dulu dan sekarang ketika berkunjung... Salam istimewa dari Jogja...
BalasHapusIya. Untungnya dulu sekali punya fotonya. Tak semua keluarga mempunyai keberuntungan yang sama. Saya patut bersyukur karenanya ;)
HapusAku tiap akhir pekan ada rute khusus sepedaan di Jogja, biarpun itu-itu aja rutenya, tapi kutetap suka ahahhhahah
BalasHapusAjak aku dong kak ;'(
HapusDududuh, kalau inget kota Jogja rasanya yg terpintas damai dan nyaman. Meski banyak kenangan yang membuat ngilu tapi kenangan tetaplah kenangan.. Dan aku nggak pernah bosan dengan kota ini
BalasHapusHehehe sepertinya setiap orang menyimpan kenangan tentang kota Jogja. Rawatlah dengan baik, mbak ;)
Hapus