Senin, 26 September 2011

(Belajar) Cinta Produk Dalam Negeri

Cinta Indonesia 100%
Saat jalan-jalan, tas (butut) yang saya gunakan selalu sama. Hal itu karena hanya tas tersebut yang saya punya. Pertimbangan paling utama sebenarnya karena tas tersebut nyaman buat dibawa ke mana-mana, mampu menampung barang-barang yang saya butuhkan dalam perjalanan, dan dapat berubah fungsi jadi bantal (atau guling) jika diperlukan. Perihal kenyamanan itulah mungkin yang diburu oleh para penggila tas. Saya tak habis pikir saat tahu ada orang yang rela menggelontorkan ribuan dolar pundi-pundinya hanya untuk membeli sebuah tas kesayangannya.

Merek-merek seperti Louis Vuitton, Hermes, dan Channel seakan menjadi 'benda ajaib' yang wajib dimiliki hingga mencari bajakannya pun dilakukan agar punya pengalaman menentengnya ke mana-mana. Tapi, ada sebagian kalangan yang menyebutnya sebagai aib jika ketahuan menenteng tas bermerek tapi palsu. Memang tas-tas bermerek itu telah berubah fungsi dari hanya sekadar 'wadah' barang, menjadi 'tiket masuk' suatu komunitas. Untuk itulah orang berlomba-lomba memilikinya hingga rela berburu ke luar negeri segala atau mencari yang bekas pakai (tapi masih bagus) hanya untuk bisa masuk ke dalam suatu komunitas atau lebih dihargai di suatu kalangan masyarakat tertentu. Selain tas, barang-barang yang (katanya) bisa mendongkrak image seseorang adalah baju dan sepatu. Tapi keduanya tak memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pergaulan layaknya pengaruh tas yang ditenteng.

Senin, 12 September 2011

Mencecap Secangkir Kopi

Segelas Kopi Manggar yang Menggoda ;-P
Saya tak tahu sihir apa yang terkandung dalam biji kopi sehingga banyak orang tergila-gila hingga kecanduan meminumnya. Banyak orang datang ke warung kopi yang awalnya (hanya) berniat menyeruput secangkir kopi berakhir menjadi politisi yang mahir berkomentar tentang berbagai persoalan negara. Ramuan biji kopi tersebut seolah menaikkan tensi pemikiran seseorang ke level ahli dalam suatu bidang meski analisis yang mereka lontarkan sebatas kelas warung kopi.

Keasyikan dalam suasana minum kopi di kedai itulah mungkin yang mendorong Howard Schultz memohon-mohon untuk membuat konsep baru seni menjual kopi pada ketiga koleganya, Jerry Baldwin, Zev Siegel, dan Gordon Bowker melalui gerai Starbucks. Namun ide tersebut ditolak mentah-mentah oleh ketiganya. Baru pada tahun 1987, ide menjual kopi di kedai yang ditawarkan oleh Schultz tersebut terwujud. Mungkin, gara-gara kekeraskepalaan Schultz itulah kedai Starbucks menjadi kedai kopi tersukses dan terkenal di seluruh jagat dewasa ini. Saya yakin Schultz memiliki citarasa dan kefanatikan yang kuat dalam meramu biji kopi menjadi minuman yang disukai hampir semua orang. Buktinya, teman saya rela datang jauh-jauh ke salah satu gerai Starbucks yang menawarkan segelas kopi gratis bagi siapa saja yang ikut pemilu tahun 2009 silam.