Senin, 26 Maret 2012

'Nyepi' di Ibukota

.: hening-hening dalam nyepi :.
Sebelumnya saya mengira bahwa yang punya kuasa untuk membuat jalanan Jakarta lengang dan sepi dan tak berpenghuni adalah pejabat atau pemimpin negara sahabat. Pasalnya, jika ada tamu negara yang 'penting' atau pejabat kita yang (sok) penting, jalanan akan disterilkan terlebih dahulu agar pejabat tadi bisa leluasa lewat. Tapi, (sejauh ini) ada dua orang yang saya tahu, bisa membuat jalanan Jakarta lengang hingga tampak seperti ditinggalkan penghuninya. Mereka ini bukan pejabat, bukan pula pemimpin negara sahabat. Saya angkat topi kepada keduanya.

Mereka adalah Rudi Sudjarwo dan Putrama Tuta. Keduanya berhasil memperlihatkan 'kekuatannya' mengosongkan kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI) seperti terlihat dalam film yang mereka buat. Saya kaget bukan main saat melihat Bundaran HI sepi-pi-pi ya di film Tentang Dia karya Rudi Sudjarwo. Saya juga terheran-heran bagaimana adegan 'Jakarta-drift' dalam film Catatan Harian Si Boy karya Putrama Tuta bisa dilakukan oleh Rifat Sungkar di Bundaran HI tanpa ada satu kendaraan lain pun yang melintas. Sebenarnya saya memang suka sekali kalau melihat Jakarta dalam keadaan lengang. Tak perlu sepi banget sih, tapi paling tidak keadaannya tak perlu selalu padat merayap setiap hari.

Kamis, 22 Maret 2012

Belanja-Belanji Saat Traveling

(bukan) sepatu kaca Cinderella
Ada yang bilang kalau jalan-jalan kurang lengkap tanpa ada acara belanja. Terus terang, saya tidak terlalu suka belanja. Paling-paling beli sesuatu hanya sekadar untuk oleh-oleh orang rumah atau di bawa ke kantor. Saya niat belanja saat jalan-jalan apabila melihat ada sesuatu yang unik, harganya sesuai dengan kantong, gak ribet bawanya, dan seringnya untuk tujuan menghadiahi diri sendiri karena berhasil melakukan sesuatu. Itupun jumlahnya terbatas dan intensitasnya jarang. Makanya saya heran kalau melihat ada orang yang jalan-jalan, sudah bawaannya banyak, eh begitu pulang, kopernya beranak-pinak.

Barang-barang yang menjadi sasaran belanja favorit saya kebanyakan adalah buku, kain tradisional, kaos oblong (untuk dipakai di rumah), dan cemilan. Kayaknya sudah bukan jamannya lagi deh saya beli oleh-oleh berupa gantungan kunci, hiasan kulkas, kartu pos, dan pernak-pernik lainnya. Karena saya tak punya pohon duit, jadi biar 'kehidupan' tetap jalan terus dan acara jalan-jalan berikutnya tetap lancar, saya menyiasati acara belanja-belanji saat jalan-jalan seperti ini:

Senin, 19 Maret 2012

Merantau ke Maninjau

Maninjau yang cantik
Tak ada alasan pasti mengapa saya datang ke Maninjau. Awalnya saya hanya ingin ke Bukittinggi untuk melihat Jam Gadang. Tapi, teman saya, Donald, menyarankan untuk mampir juga ke Maninjau untuk melihat danau indah di bawah bukit. Saya pun menyetujuinya. Sekilas yang saya tahu, Maninjau ini adalah kampung asal sastrawan Buya HAMKA yang terkenal dengan novelnya Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Belakangan saya baru tahu kalau HR Rasuna Said juga berasal dari sini. Yang membuat saya kaget, ternyata Rasuna Said adalah seorang perempuan dengan nama lengkap Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Ke mana saja saya selama ini, padahal sering banget melewati jalannya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan yang langganan macet.

Maninjau adalah sebuah kampung kecil di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kampung ini sepi dan tenang. Vegetasinya berupa lanskap persawahan, kebun kelapa, dan hutan-hutan kecil di atas bukit. Rumah penduduknya tidak melulu berupa rumah adat Gadang dengan atap bagonjong (atap tradisional Minangkabau yang mirip tanduk kerbau) yang khas, tetapi rumah-rumah biasa dengan atap genteng dan sirap. Beberapa rumah saya yakin merupakan peninggalan pemerintah kolonial dengan arsitektur Melayu Minang yang bangunan utamanya berbentuk segi enam dengan jendela-jendela kisi.