Jumat, 31 Oktober 2014

Finding Innerpeace

.: Leyeh-Leyeh di Penginapan Freddie's Santai, Sumur Tiga :.
"Leyeh-leyeh."

Itulah jawaban terbaik yang bisa saya sampaikan kepada salah seorang teman yang begitu ingin tahu, untuk alasan apa sebenarnya saya jalan-jalan. Saya memang bukan orang melankolis, yang melakukan perjalanan untuk tujuan semisal menemukan jati diri atau sejenisnya. Saya jalan-jalan karena memang ingin jalan-jalan.

Awalnya karena ingin melihat lebih dekat segala sesuatu yang saya lihat di televisi atau saya baca di surat kabar. Selebihnya, hal-hal tertentu datang sebagai komplimen terhadap kesukaan saya akan jalan-jalan yang sifatnya lebih personal. Maksudnya, mungkin kesan yang saya tangkap tentang suatu tempat bisa jadi berbeda dengan apa yang dirasakan oleh pejalan lain.

Seperti saat bertandang ke Aceh. Tujuannya adalah mengunjungi Mesjid Raya Baiturrahman yang saya lihat dari sebuah tayangan adzan magrib di televisi. Selain mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan, saya sempatkan untuk melaksanakan sholat di sini. Saya merasa tempat ini begitu tenang dan mengundang rasa khidmad. Setidaknya, di masjid sebesar ini, saya tak merasa perlu terlalu khawatir untuk kehilangan sandal meski hari itu sedang dilaksanakan sholat Jumat, di mana jamaahnya banyak sekali.

Senin, 27 Oktober 2014

Blogger Buana


.: Yes, I'm a Blogger :.
"Untuk apa sih sebenarnya tujuan kamu ngeblog?"

Saya kerap mendapatkan pertanyaan seperti itu saat bertemu dengan teman atau saudara. Mereka mungkin pernah melihat lini masa akun facebook dan twitter saya yang ramai dengan tautan postingan blog ini.

Saya mulai kenal blog dan ngeblog sejak tahun 2007. Awalnya karena terinspirasi oleh blognya Dee Lestari. Waktu itu alamat blognya saya baca di satu surat kabar nasional. Sejak itu, saya mulai memindahkan catatan dan tulisan yang tersebar di notes dan agenda ke dalam blog. Isinya kebanyakan puisi dan artikel yang saya tulis saat masih di bangku kuliah.

Meski sudah mulai jalan-jalan sejak usia 4 tahun, saya mulai mengenal tulisan perjalanan sejak tahun 2011 dari blog dan bukunya Trinity. Dan sejak saat itu, mulailah kebiasaan ngeblog saya bertransformasi secara perlahan-lahan, dari menulis tulisan menye-menye menjadi menulis catatan perjalanan dengan membuat blog ini.

Rabu, 22 Oktober 2014

Saturasi Sebesi

.: Pulau Sebesi: pulau terdekat dari Anak Gunung Krakatau yang berpenghuni :.

Tak ada yang lebih menyenangkan bagi anak gunung sekaligus pecinta pantai selain bertandang ke sebuah 'pulau gunung' dan mendapatkan keduanya. Pulau Sebesi di kawasan Selat Sunda adalah satu dari ribuan pulau sejenis di Indonesia yang menawarkan karakteristik tersebut. Saya bertamu ke pulau ini saat matahari sudah lelah dan pergi tidur. Namun begitu, siluet raksasa sebuah bukit yang menjulang di tengah pulau masih jelas terlihat dari kejauhan.

Berangkat dari dermaga Canti di Kalianda selewat ashar membuat hati saya berdebar-debar. Beberapa kali menerjang lautan selepas senja di beberapa perairan nusantara membuat saya kerap bergumul dengan ombak laut yang tidak ramah. Angin bertiup kencang. Perahu terombang-ambing di tengah laut yang membuat isi perut teraduk-aduk. Saya merapat di dermaga Sebesi dengan sederet perasaan lega sekaligus muram. Lega karena segera bisa mandi dan bersuci. Dan sedikit muram karena dua kesempatan menengok bawah air di sekitar Pulau Sebuku harus dianulir dari jadwal.

Rabu, 15 Oktober 2014

Kelana Krakatau

.: Anak Gunung Krakatau :.

Apakah yang paling membuat hidup tidak tenang selain memerhatikan sebuah rumor dengan serius? Apakah yang paling membuat tidur tak nyenyak sebelum pendakian selain mendengar kabar burung yang simpang siur? Pendakian kali ini sudah lama saya tunggu-tunggu kesempatannya sekaligus paling membuat saya was-was. Hal ini karena tiap hari Anak Gunung Krakatau masih mengenduskan asap belerang di puncak kepundannya. Selain itu, hampir semua orang yang saya mintai informasi mengatakan kalau menjejak Anak Gunung Krakatau sangat tidak aman. Sandal japit bisa meleleh seketika. Berada di atasnya serasa berada di atas panggangan bara api.

Informasi tersebut diperparah dengan memori kolektif yang saya ingat pernah baca dari buku dan majalah. Bumi pernah luluh lantak karena amukan gunung ini. Konon, bunyi gelegarnya sampai terdengar hingga Australia dan India. Bahkan, stasiun pencatat gempa yang bercokol di Washington pun tak ketinggalan mencatatnya. Berkaca pada tragedi tsunami di Aceh tahun 2004 dan peristiwa erupsi gunung Merapi di Jawa Tengah tahun 2011 silam, saya membayangkan bahwa letusan gunung Krakatau tahun 1883 merupakan kombinasi dari keduanya, meski dengan skala yang jauh lebih besar.     

Minggu, 05 Oktober 2014

[Behind The Scene] Kisah di Balik Foto

.: Foto Sejenak di Batu Bolong Cottage, Senggigi, Lombok :.
Saat mengunggah foto di media sosial, saya kerap mendapat pertanyaan atau komentar begini, "Teman-temanmu baik semua ya, mau ngeladenin kamu foto-foto narsis."

Saya hanya mengiyakan saja sembari menimpalinya dengan jawaban, "Iya, kan gantian. Saya juga dengan senang hati bersedia memotret mereka sesuai dengan gaya yang mereka mau. That's what friends are for (salah satunya), selain buat patungan uang jalan." Cukup rasional, bukan?

Tapi, setelah mendapat pertanyaan tersebut, saya jadi bertanya-tanya dalam hati. Maksudnya, saya pikir, foto-foto yang saya unggah umumnya adalah foto-foto yang 'biasa', dalam artian, semua orang bisa punya kesempatan yang sama berfoto di tempat tersebut. Mungkin hanya gaya berfotonya saya saja yang lebih bervariasi. Itupun alasannya juga berasal dari komentar teman-teman di media sosial, baik yang saya kenal secara personal di dunia nyata, atau hanya sekadar akrab di ranah maya. Mereka bilang, "Gayanya jangan begitu-begitu aja dong. Bosen." Gila, komentar gaya foto udah kayak komentar adegan ranjang saja. Euwh.