Jumat, 28 November 2014

Papandayan: Anomali di Atas Gunung

.: Bentang Alam Gunung Papandayan :.

Saya akan langsung setuju kalau ada yang bilang Papandayan merupakan gunung yang photogenic. Bentang alamnya unik. Setiap area memiliki semacam garis demarkasi dan teritorial yang berbeda dengan wilayah di sekitarnya. Hamparan pasir berbatu berfusi dengan asap tebal belerang. Hutan lebat berdampingan mesra dengan dataran lapang yang riuh semak. Jalan setapak berbatu bersambungan dengan jalan tanah becek dan setapak berumput. Dan satu hal yang tak banyak diperhitungkan: cuaca cerah kerap berganti jadwal secara mendadak dengan kabut tebal yang diikuti oleh hujan lebat.

Seperti pagi ini. Papandayan terlihat murung sekali. Matahari tak menampakkan batang hidungnya sejak subuh. Kabut tebal seperti segan beranjak dari Pondok Saladah, tempat kami bermalam. Setiap kali berbicara, mulut tak ubahnya seperti naga yang menyemburkan asap karena gigil kedinginan. Saya yang sudah terjaga sejak pukul 4 pagi, memilih tidak terlena untuk kembali tidur. Satu pikiran yang saya ingat terus, akhir pekan adalah jadwal bagi pendaki untuk migrasi secara massal ke atas gunung. Dan untuk Papandayan, setidaknya harus meluangkan waktu barang satu jam lebih awal agar tidak terlambat sholat subuh dengan memanfaatkan fasilitas toilet umum terlebih dahulu.

Kamis, 20 November 2014

Parisada Papandayan

.: Menuju Puncak Gunung Papandayan :.

Banyak teman pendaki bilang, Gunung Papandayan cocok untuk pendaki pemula. Saya sendiri kurang suka dengan istilah tersebut. Maksudnya, sebenarnya tak ada aturan baku yang menyebutkan bahwa gunung tertentu hanya cocok untuk pendaki pemula, sementara gunung yang lain untuk pendaki yang sudah malang-melintang menaiki gunung. Memang jika diperhatikan dari kejauhan, Gunung Papandayan memiliki kontur yang relatif landai. Untuk alasan inilah mungkin, bagi kebanyakan pendaki yang dimintai saran atau rekomendasi gunung pertama yang hendaknya didaki untuk pemula, akan memilih Gunung Papandayan sebagai opsi terbaik.

Meski dianggap sebagai gunung dengan kategori 'mudah' didaki, kita tidak boleh meremehkan cuaca dan keadaan alam. Saya dan beberapa teman berangkat dari Jakarta dengan logistik dan peralatan lengkap. Memilih mendaki di bulan November memang bukan pilihan terbaik. Curah hujan di bulan ini sudah relatif tinggi meski belum mencapai puncaknya. 

Sabtu, 15 November 2014

Cinta dalam Secangkir Kopi

.: [Sarapan] Kopi, Nasi Goreng, dan Beberapa Iris Buah Segar :.
"Ibu lebih memilih tidak makan nasi daripada harus tidak minum kopi saat sarapan," kata ibu saya suatu ketika.

Kata-kata itu terlintas begitu saja saat saya sedang adu diam dengan buku menu di sebuah kedai di Jakarta. Gerimis yang syahdu menenggelamkan saya pada ingatan masa kecil yang menyenangkan untuk dikenang. 

Dari kecil saya sadar bahwa saya tumbuh di lingkungan orang-orang yang menyukai kopi. Ibu adalah orang pertama yang saya kenal sebagai seorang penikmat kopi militan. Beliau meracik sendiri kopi yang terhidang di meja. Mulai memilih biji kopi di pasar, mencuci dan menjemurnya di bawah terik matahari, menyangrainya di wajan tanah liat, dan kemudian menggilingnya. Beliau melakukan hal itu semua sendirian dengan penuh ketelatenan.

Jumat, 07 November 2014

Semarak Santa: Keriaan Sederhana di Sebuah Pasar

.: Pasar Santa, Pasar Tradisional yang sedang Bermetamorfosis :.

Lokasinya tersembunyi. Untuk orang yang baru pertama kali ke sini, saya perlu tiga kali bertanya untuk bisa menemukan lokasinya. Maklum, meski sering melintas saat saya masih tinggal di Otista dulu, kawasan ini hanya menjadi semacam 'tempat lewat' saja saat wara-wiri Blok M - Kampung Melayu. Pasar Santa namanya. Beberapa hari belakangan, pasar ini sempat melambung namanya dan menjadi topik pembicaraan hangat. Bahkan, dua orang menteri dari Kabinet Kerja juga menyempatkan diri blusukan dan potong rambut segala di pasar ini beberapa hari sebelum saya bertandang.

Saya berkunjung ke Pasar Santa bukan karena ingin menengok tempat cukur yang didatangi menteri. Saya datang atas undangan seorang kawan di ujung sana yang begitu ingin saya temui setelah rentetan kisah perjalanannya saya baca. Begitu menginjak pintu masuknya, terus terang saya sedikit terkejut. Sebuah peti mati drakula menjadi suvenir selamat datang. Mungkin saya datang kepagian. Kios-kiosnya masih pada tutup. Seorang ibu pemilik Toko Emas Cantik tampak sumringah menunjukkan arah ke toilet saat saya datang tergopoh-gopoh kebelet pipis. "Jalan lurus saja sampai mentok, lalu belok kiri. Toilet ada di ujung lorong." Begitu jawabnya sambil tersenyum ramah.