Kamis, 20 November 2014

Parisada Papandayan

.: Menuju Puncak Gunung Papandayan :.

Banyak teman pendaki bilang, Gunung Papandayan cocok untuk pendaki pemula. Saya sendiri kurang suka dengan istilah tersebut. Maksudnya, sebenarnya tak ada aturan baku yang menyebutkan bahwa gunung tertentu hanya cocok untuk pendaki pemula, sementara gunung yang lain untuk pendaki yang sudah malang-melintang menaiki gunung. Memang jika diperhatikan dari kejauhan, Gunung Papandayan memiliki kontur yang relatif landai. Untuk alasan inilah mungkin, bagi kebanyakan pendaki yang dimintai saran atau rekomendasi gunung pertama yang hendaknya didaki untuk pemula, akan memilih Gunung Papandayan sebagai opsi terbaik.

Meski dianggap sebagai gunung dengan kategori 'mudah' didaki, kita tidak boleh meremehkan cuaca dan keadaan alam. Saya dan beberapa teman berangkat dari Jakarta dengan logistik dan peralatan lengkap. Memilih mendaki di bulan November memang bukan pilihan terbaik. Curah hujan di bulan ini sudah relatif tinggi meski belum mencapai puncaknya. 

.: Berdoa Sebelum Mendaki :.
Kami memasuki Garut saat adzan subuh berkumandang. Dan sampai di tempat parkir gerbang pendakian sekitar pukul 7 pagi. Para pendaki sudah tumpah ruah di tanah pelataran mempersiapkan diri untuk memulai pendakian. Ada yang baru bongkar muat carrier dari mobil pick up sewaan, mengurus perizinan pendakian, atau hanya duduk-duduk di bawah pohon, mengantri untuk memakai kamar mandi.

Karena belum sarapan, saya memilih menanti anggota rombongan yang masih di kamar mandi dengan sarapan di sebuah warung nasi sederhana. Menunya nasi goreng yang tampilannya kelewat sederhana pula. Nasi disemrot kecap yang digoreng. Untung ada dadar telur yang sedikit menambah selera. Sembari sarapan, saya perhatikan banyak sekali siswa sekolah dasar yang ikut antri berbaris rapi hendak mendaki juga.

Setelah rombongan siap, kita selalu mengawali kegiatan dengan doa bersama agar sepanjang pendakian selalu dilimpahi keselamatan tanpa kurang suatu apapun hingga turun kembali ke parkiran ini. Saya juga memerhatikan ada kelompok pendaki lain yang sedang berdoa. Posisi mereka seperti sedang mengheningkan cipta, menundukkan kepala dalam konvigurasi melingkar, seperti hendak menyatukan diri dengan alam yang akan disambangi. Sungguh apik sekali menurut saya pemandangan tersebut.

.: Kawah Aktif Gunung Papandayan :.
Pendakian Papandayan dimulai dari jalur berbatu. Batu-batu kecil seperti jalan makadam ini akan mengantarkan para pendaki menuju kawah. Memang, tidak seperti gunung-gunung lain yang kawahnya terletak di puncak, Gunung Papandayan justru menyambut para pendaki dengan bebatuan belerang aktif dengan asap yang mengepul menutupi jalur pendakian. Ditambah cuaca yang mendung dan sedikit gerimis, gunung ini seakan sedang membuat seleksi alam bagi siapa saja yang bertamu. Disarankan untuk membawa masker pelindung agar tidak banyak menghirup gas belerang.

Meski banyak pendaki berusaha segera menembus kepulan asap belerang, saya sengaja berjalan pelan-pelan. Saya pikir, kawah Papandayan dengan lubang-lubang gas belerang yang menggelegak ini sangat menarik untuk difoto. Kombinasi letupan leleran belerang panas berwarna kuning, asap putih tebal yang mengepul, dan batuan gunung berwarna cokelat seakan menambah kesan mistis Gunung Papandayan. 

.: Menembus Bibir Kawah Gunung Papandayan :.

Selepas kawah terakhir yang menyelubungi jalur pendakian terlewati, sampailah saya di pos pertama. Di tempat ini bukannya tidak ada asap panas, tapi setiap angin gunung berhembus agak kencang, asap belerang tetap ikut melayang membuntuti para pendaki. Namun setidaknya, jalur pendakian berikutnya sudah dapat bernafas agak leluasa tanpa campuran asap belerang.

.: Padang Datar Bekas Aliran Lava :.
Dalam perjalanan menuju pos kedua, ada sebentuk dataran lapang di antara beberapa bukit. Dataran lapang ini konon merupakan 'danau' yang sedang mengering. Saat Papandayan meletus tahun 2002, cekungan ini menampung aliran kawah dan selanjutnya berganti menjadi lahar dingin.

Yang menarik, setelah kering, tempat ini dijadikan sebagai media untuk menuliskan pesan dari batu yang akan terbaca dari ketinggian semacam SOS, tulisan perasaan sayang kepada seseorang, atau nama diri. Bagi saya, hal semacam ini lebih 'hijau' dan ramah lingkungan daripada menghiasi batu dengan coretan vandalisme. Tapi yang paling menyebalkan, di tempat ini banyak sekali orang pacaran. Saya segera melanjutkan perjalanan karena jalur pendakian di depan sedikit menguras tenaga.

Jalurnya berliku turun ke lembah melewati semak sampai kemudian bertemu dengan aliran sungai kecil berair panas. Dari situ jalurnya akan bertemu dengan jalan berbatu mendaki. Setelah berjalan menanjak hingga balik sebuah bukit, sampailah pada pos pendakian kedua yaitu di Tegal Panjang.

Tegal Panjang merupakan tempat percabangan sekaligus pemberhentian. Di tempat ini ada sumber air, pos pendaki untuk lapor siapa yang akan menginap di Pondok Saladah, dan ada warung. Tempat ini juga sering dijadikan tempat mendirikan tenda. Tak jauh dari Tegal Panjang, titik untuk menyaksikan matahari terbit sangat mudah dijangkau, meski jarang sekali yang memilih opsi ini.

.: Camp Para Pendaki di Pondok Saladah :.
Setelah istirahat sebentar, pendakian dilanjutkan mengikuti jalan setapak yang becek sehabis diguyur hujan. Karena jalurnya kecil dan pendaki yang melintas banyak, saya kerap berpapasan dengan pendaki lain yang akan turun gunung. Sementara saya bersama beberapa pendaki lain yang akan naik, berlomba-lomba untuk mengatur napas karena jalurnya lumayan menanjak.

Yang membuat pendakian di jalur ini menarik, di kejauhan sudah tampat puncak-puncak gunung tempat hutan mati bersemayam. Di salah satu sisinya terdapat cerukan yang mengingatkan saya pada Gunung Nona di Tana Toraja. Di kanan-kiri jalur pendakian juga sudah ditemui rumpun bunga cantigi.

Tanda-tanda pendakian mulai lebih menyenangkan adalah bertemu dengan jalur pendakian yang relatif landai dan stabil. Biasanya tak jauh dari situ terdapat camp untuk tempat mendirikan tenda. Dan tak salah memang dugaan saya. Setelah melewati sederetan pohon cantigi yang lebat menjulang, sampailah kami di Pondok Saladah, tempat pemberhentian terakhir sebelum mencapai puncak.

Sebagaimana sudah saya prediksi sejak di parkiran gerbang pendakian tadi pagi, Pondok Saladah akan dijejali banyak sekali pendaki yang akan bermalam. Konturnya memang relatif datar. Dikepung oleh beberapa gunung membuatnya agak tertahan dari ancaman badai atau angin gunung yang ekstrim. Pohon-pohon rindang berdahan kecil bisa digunakan sebagai pelindung alami dari hujan. Rimbun edelweis juga banyak terhampar di sini. Tapi hati-hati, di sini juga sering ditemui anjing liar. 

.: Bunga Keabadian di Pondok Saladah :.
Di saat ramai pendaki seperti ini, saya jadi tahu alasan mengapa para pendaki ada yang berusaha mendaki secepat mungkin. Alasannya bisa jadi agar cepat sampai Pondok Saladah dan bisa memilih tempat camp paling nyaman untuk mendirikan tenda. Di Pondok Saladah ada sumber air, mushola sederhana yang dibangun dari bambu, toilet tabung yang dibangun oleh pendaki dari ITB, dan warung-warung makan yang menjual gorengan dan mie seduh.

Beberapa hal tersebut sebenarnya sangat membantu para pendaki saat berada di atas gunung. Namun, melihat ramainya keadaan dan membeludaknya pengunjung, keberadaan toilet, warung, dan mushola sedikit mereduksi sisi petualangan dan tantangan dalam mendaki gunung. Selain itu, bagi saya sendiri, dengan keberadaan toilet di atas gunung, menyebabkan terdapat beberapa pendaki yang tanpa beban gosok gigi dan membersihkan diri dengan pasta gigi dan sabun yang mengandung detergen, hal yang seyogyanya dihindari oleh para pendaki yang mengaku pecinta alam.

Saya tak tahu siapa yang memulainya, tapi paling tidak, untuk ke depannya perlu ada regulasi aturan yang agak ketat demi terjaganya keseimbangan alam Papandayan. Bukan untuk para pendaki, bukan pula untuk para pecinta alam. Keseimbangan dan kelestarian Gunung Papandayan adalah murni hak gunung tersebut yang harus ditunaikan oleh setiap tamu yang bertandang, tanpa kecuali. Salam lestari. []

6 komentar:

  1. Wah anak sekolah dasar juga mendaki..?
    Tapi saya setuju dengan kata-kata bahwa jangan menganggap remeh gunung dengan kategori mudah... saat mendaki tuhan dan cuaca menentukan segalanya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, banyak sekali anak sekolahan yang ikut mendaki waktu itu. Malu kalau sampai kalah sama mereka hehehe :)

      Hapus
  2. dulu ketika mutasi ke Garut, hal pertama yang dilakukan adalah mendaki Papandayan. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha berarti waktu masih langsing ya itu :D *tutupmata*

      Hapus
  3. ok sip, klo anak sd aja ikut mendaki, berarti gunung ini cocok untukku :D

    BalasHapus