Rabu, 31 Juli 2013

Mantunu: Sebuah Kemeriahan Pesta dalam Duka

"Di keheningan tanah subur tengah pegunungan, di antara tebing-tebing batu tempat jenazah dikebumikan, di sebuah desa sederhana yang jauh dari hiruk-pikuk ketamakan kota, sebuah pesta meriah berlangsung sebagai pengantar menuju alam baka."

.: Mantunu: Ritual Potong Kerbau dalam Upacara Rambu Solo, Tana Toraja :.

Pagi baru saja dimulai di Rantepao, Toraja Utara. Tapi Pak Andriana, orang pertama yang saya tanyai tentang tempat persewaan motor, sudah siap menyambut saya dengan serangkaian acara adat yang berlangsung hari itu. Mantunu - atau hari pengorbanan kerbau, yang termasuk dalam rangkaian upacara pemakaman Rambu Solo', akan digelar pagi itu di Desa Nonongan, Kecamatan Sopai, Toraja Utara. Ritual ini dilakukan sebagai bentuk persiapan mengantar jenazah ke banuang tangmerambu - atau rumah tanpa asap yaitu makam. 

Tak ingin ketinggalan acara prosesi ritual, saya sengaja datang lebih awal. Rumah duka tersebut masih sepi.  Lantang, sebuah pondok non-permanen tempat para kerabat duduk sepanjang perhelatan upacara juga masih kosong. Maklum, letak desa ini ada di tengah sawah. Jadi, jika kita duduk-duduk santai di beranda rumahnya, pemandangan sawah yang membentang dan pegunungan di kejauhan seolah menjadi lukisan alam yang terpajang di depan mata. Tapi tak mengapa. Saya sabar menanti.

.: [Duka Terakhir] Keluarga yang Berduka dalam Balutan Baju Hitam :.
Tepat pukul 09.00 WITA, para warga dengan balutan kain sarung warna hitam mulai berdatangan. Keluarga yang sedang berduka tampak sibuk bersiap-siap membuka acara.
Seorang tukang ojek tiba-tiba datang nyelongong ke tengah rante - pelataran duka, mengantar seorang wanita. Saya mengira wanita tersebut adalah kerabat dari keluarga yang sedang berduka. Setelah acara dimulai, saya tambah kaget lagi. Wanita tadi ternyata adalah seorang pendeta. Saya baru tahu ada seorang pendeta wanita. Sepertinya agama Kristen Protestan lebih permisif dalam urusan emansipasi dan kesetaraan gender.

Tanpa menunggu lama, seorang anggota keluarga membagikan kertas berisi kidung puji-pujian. Semuanya dalam bahasa Toraja. Sudah kepalang tanggung, tak tahu sebelumnya jika prosesi mantunu diawali dengan misa, saya diam saja duduk di beranda lumbung padi, memerhatikan acara misa berlangsung. Meski tidak mengerti bahasanya, menurut saya lirik-lirik doa pujian ini sangat puitis. Ekspresi setiap orang yang mendengarkan, mengikuti, dan menyanyikan kidung dan khotbah dari ibu pendeta tampak khusyuk dan serius. Saya sampai terpaku melihatnya. Mungkin karena menghayati makna dari lirik pujian, para anggota keluarga tampak menitikkan air mata di deretan lantai dua sambil sesekali melirik ke arah keranda di puncak lakkian - menara tempat menyemayamkan keranda.

.: Lakkian - Menara Tempat Menaruh Keranda :.

Dalam tatanan masyarakat Toraja, di hari berlangsungnya prosesi mantunu inilah semua kesedihan boleh ditumpahkan untuk terakhir kali. Karena, saat keranda sudah ditandu menuju makam, para pengantar wajib bersuka cita. Pak Andriana, pemandu saya, menambahkan, budaya masyarakat Toraja mengajarkan untuk senantiasa memuliakan orang yang meninggal dengan syukur kebahagiaan. Seperti halnya proses kremasi dalam masyarakat Hindu Bali saat melarung abu jenazah ke laut, jenazah yang sudah diantarkan ke makam dengan prosesi Rambu Solo', hal itu menandakan hidupnya sudah sempurna.
 
.: Misa Kecil Sebelum Ritual Mantunu Berlangsung :.
Sepertinya memang sosok ibu pendeta ini sangat dihormati di kampung ini. Saya perhatikan, meski seseorang itu tidak tampak sebagai seorang ahli ibadah, maksudnya tidak rutin datang ke gereja setiap hari Minggu, tapi ketika acara khotbah berlangsung, dan ibu pendeta mengutip ayat-ayat dari alkitab, bagai dikomando, semua orang secara santun diam mendengarkan dengan seksama. Saya jadi malu sendiri jika mengingat masih suka heboh sendiri saat mengikuti acara pengajian di surau.

Acara misa ini terbilang lama. Durasinya sekitar 1,5 jam. Saat cerita ke teman saya yang Kristiani juga dia bilang lama. Entahlah. Saya tak tahu apakah biasanya memang selama itu misa dilakukan. Atau jangan-jangan teman saya yang jarang ke gereja sehingga dianggapnya lama. Saya tak mau berspekulasi soal ini. Sambil menunggu acara misa usai, saya berjalan berkeliling sembari memerhatikan suasana sekitar 'kampung'.

Tongkonan - rumah adat suku Toraja ini seakan menjadi pusat dari kegiatan sosial. Selain bentuknya yang unik dengan deretan tanduk kerbau di depannya, saya menyukai dengan celupan empat warna yang mendominasi seluruh badan bangunan. Empat warna yaitu hitam, merah, kuning, dan putih merupakan elemen warna dasar yang mewakili kepercayaan asli Toraja, Aluk To Dolo.

Warna merah dan putih yang mewakili warna darah dan tulang manusia melambangkan kehidupan. Warna ini bisa digunakan kapan saja dalam kehidupan sehari-hari. Warna kuning yang dianggap warna kemuliaan melambangkan ketuhanan, sering digunakan dalam upacara Rambu Tuka' untuk keselamatan manusia. Sedangkan warna hitam (yang juga diakui secara universal) melambangkan kematian dan kesedihan, biasa digunakan dalam upacara Rambu Solo' seperti ini.

Demi melihat warna-warni tersebut, pikiran saya seperti otomatis membuat analisis sederhana: di Indonesia, masyarakat yang adatnya masih melangsungkan pemakaman di kubur batu (atau mempunyai historis memiliki adat pemakaman kubur batu) menggunakan empat warna tersebut dalam ritual adatnya. Saya teringat dengan makam batu Raja Sidabutar di Tomok, Samosir. Saat bertandang ke sana, saya lihat ada kain panjang dengan warna merah, putih, dan hitam melingkupi bangunan makam. Ornamen dinding rumah adatnya pun didominasi oleh ketiga warna tersebut.

Selain itu, masyarakat adat Sumba juga menggunakan warna-warna tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Sayang sekali saya belum pernah menjejak tanah Sumba, jadi tak banyak yang saya tahu tentang filosofi di balik penggunaan warna-warna tersebut. Mungkin suatu saat ada kesempatan, saya akan mencari tahu lebih banyak dari masyarakat lokalnya.
   
.: Seorang Warga Sedang Menuntun Seekor Kerbau Menuju Rante :.   
Langkah saya terhenti sejenak saat kidung terakhir yang dilantunkan oleh ibu pendeta selesai. Semua orang seakan bersorak hore menanti saat yang ditunggu-tunggu tiba. Mereka berjalan mendekat mengitari area tempat persembahan dilakukan.

Setidaknya ada 30 ekor kerbau dengan ukuran jumbo dituntun ke area persembahan termasuk seekor tedong bonga - kerbau warna putih atau merah jambu dengan belang hitam (biasa disebut kerbau bule untuk masyarakat awam pendatang). Memang tak terlalu banyak kerbau yang disembelih hari itu jika dibandingkan dengan perayaan serupa yang berlangsung di Kete Kesu. Tapi setidaknya, dengan ukuran tongkonan yang tidak terlalu besar, jumlah tersebut sepertinya sudah cukup mewah untuk ukuran masyarakat biasa.

Sebuah tiang setinggi setengah tubuh orang dewasa ditancapkan di tengah arena. Setelah semua kerbau yang akan dikorbankan terkumpul semuanya, seorang tetua adat siap memimpin doa-doa untuk memulai acara. Saya pun turut bersiap mencari posisi paling strategis untuk menikmati sajian 'atraksi' menarik ini. Dan karena semua sudut hampir semuanya penuh, yang tersisa justru satu tempat kecil di lakkian, lantai yang berada tepat di bawah keranda. Tak mau berpikir dua kali, saya pun akhirnya menuju ke sana, dipersilakan dengan hangat oleh para kerabat yang sedang berduka.

.: [Persembahan] Seorang Warga sedang Menyembelih Seekor Kerbau :.

Prosesi penyembelihan kerbau ini terbilang cepat dan tak banyak cing cong. Satu persatu kerbau yang dituntun oleh masing-masing orang dicancang pada tiang di tengah area. Setelah dipastikan posisi talinya kokoh dan tak akan lepas, bagai orang sehabis baca bismillah, seorang jagal terlatih membelai leher sang kerbau. Secepat kilat, tiba-tiba saja darah sudah mengucur dari leher kerbau yang membuatnya jatuh berdebam ke tanah.

Kejadian tersebut diikuti dengan sorakan membahana dari para pengunjung yang hadir. Semakin sering debam yang dilakukan oleh kerbau yang lehernya sudah bersentuhan dengan parang si jagal, semakin meriah sorakan yang menyahutinya. Satu ekor, dua, ekor, hingga dua puluh ekor kerbau, sudah lunglai dipersembahkan untuk yang meninggal. Saat kerbau ke-21 selesai disembelih, tiba-tiba saja tali pengikatnya lepas. Terjadi kehebohan sesaat karena kerbau tersebut lari pontang-panting kebingungan mencari celah untuk melarikan diri. Orang-orang yang tadinya duduk-duduk manis di alang sura (lumbung padi) juga turut panik menyelamatkan diri dari kemungkinan diseruduk kerbau.

.: Bergaya di Tengah Rante :
Untunglah para jagal tersebut mempunyai kemampuan yang mumpuni sehingga kegaduhan tersebut langsung cepat segera teratasi. Menyaksikan ritual mantunu dengan segenap kerbau yang digunakan sebagai persembahan sebenarnya membawa hiburan tersendiri bagi para wisatawan, termasuk juga dimaksudkan untuk 'menghibur' para anggota keluarga yang ditinggalkan agar tidak melulu diliputi kesedihan.

Namun, sedikitnya waktu yang saya punya untuk mampir di Tana Toraja dan banyaknya tempat yang masih akan saya kunjungi, memaksa saya meninggalkan kampung Nonongan ini sebelum acara penyembelihan babi dan pembagian daging persembahan ke warga desa dilakukan. Entah miris atau senang melihat kerbau-kerbau itu disembelih. Yang jelas, saat meninggalkan gerbang desa, perasaan saya lega luar biasa. Setidaknya, dari sudut pandang kepercayaan Alok To Dolo, saya merasa, bagi orang yang meninggal dunia tersebut sudah diberikan 'jalan' dan 'bekal' menghadap Puang Matua (Dewa Pencipta) oleh keluarga yang ditinggalkan sehingga bisa disebut kehidupannya sempurna. 

14 komentar:

  1. Pesta kematian di toraja ini bener2 yaa memerlukan dana besar. Kasihan kalo keluarga yg pas2an :( meskipun ada acara pesta massal nya tapi tetep aja ngenes itu kalo menurut gw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener, bisa-bisa jatuh miskin kalau gak kaya banget. Itulah mengapa Rambu Solo' itu dianggap bisa menunjukkan 'status' seseorang atau sebuah keluarga dilihat dari deretan tanduk kerbau yang ada di depan Tongkonannya :'(

      Hapus
    2. Temen ku sampai milih kabur dari toraja dan tinggal dijakarta + ngak mau pulang. Bokap nya pesen, ajak adek2 mu keluar dari toraja biar bisa hidup lebih baik.

      Ini jadi dilema, karena melupakan adat ihik ihik ihik

      Hapus
    3. Hah? Serius nih?

      Wah, ngeri banget ya berarti. Tapi bagi masyarakat Toraja itu, bisa melaksanakan adat nenek moyangnya merupakan suatu kebanggaan lho. Bagi mereka, dengan adanya tuntutan adat seperti itu jadi semacam cambuk semangat untuk meraih sukses, biar adatnya dapat terlaksana.

      Hapus
  2. ritual adat toraja yang mengesankan,
    masih suasana lebaran khan,
    jadi nggak apa2 kan kalo aku mohon dimaaafkan lahir batin kalau aku ada salah dan khilaf selama ini,
    back to zero again...sambil lirik kiri kanan nyari ketupat....salam :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe sama-sama Pak. Minal aidin wal faidzin juga. Maaf lahir batin ya :)

      Iya, selain mengesankan, Toraja juga ngangenin :'(

      Hapus
  3. mengerikan cara memotong kerbaunya.. beda dgn cara org berkurban pd idul adha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, tadinya gw juga mengira begitu ... tapi kan setiap adat punya 'keunikan' sendiri-sendiri. Datanglah ke Toraja untuk menikmati sensasinya hehehe :)

      Hapus
  4. kemarin waktu ke toraja saya gak dapat orang yang lagi adakan upacara.
    padahal ini salah satu daya tarik wisatawan toraja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe iya mas, ada baiknya tanya penduduk setempat. Saya waktu itu dikasih tau sama kumpulan guide gitu yang ada di depan suatu hotel pas mau sewa motor. Akhirnya diajak gabung ke mana-mana di Toraja. Menyenangkan sekali :)

      Hapus
  5. Wah ulasannya sangat detail. Yah itulah adat pemakaman Toraja yang bagai makan buah simalakama kalo buat kami yang turunan Toraja. Kalo gak diikutin, namanya darah (rara) gak mungkin di buang, kalo diikuti, bisa hidup untuk biaya ini ajah. Tapi dibeberapa daerah (seperti kampung nenek kami) sudah dibatasi jumlah kerbau maksimal yang boleh di potong, atau semuanya tergantung kemamouan keluarga dan gengsi dari status sosial keluarga itu. :D (itu di keluarga kami yah)
    Tulisannya keren. :) :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, tulisanku dibaca orang Toraja. Seneng banget hehehe. Terima kasih apresiasinya ya :)

      Hapus
  6. Dulu saat pertama ke Tana Toraja, saya berkesimpulan, masyarakat di sana hidup untuk mati. Maksud saya, sepanjang hidup tentu juga memikirkan biaya saat kematian. Luar biasa megah bagi saya yang tinggal di Pulau Jawa. Luar biasa adat dan tradisi masyarakat Toraja. Unik, tersohor. Mas Adi beruntung melihat rangkaian upacara secara lengkap.

    Agak merinding memang melihat foto kerbau itu ditebas oleh jagal, namun saya berpikir, harus menerima itu sebagai tradisi setempat. Bagian kebhinnekaan di negeri kita yang kaya ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener. Ini pas banget ada acara beginian. Agak ngeri sih pas lihat kerbau ditebas gitu. Habisnya darahnya muncrat ke mana-mana :'(

      Hapus