Kamis, 06 Juni 2013

Menikmati Jakarta dari Ketinggian

Hampir satu dekade saya menghirup udara ibukota. Sebelumnya, tak terbayangkan saya akan betah untuk tinggal dan menetap di sini. Membayangkan terkena macet, banjir, dan polusi seolah menjadi momok setiap pendatang. Belum lagi masalah kriminalitas. Berangkat dari niatan untuk menimba ilmu, berlanjut mencari penghidupan, dan akhirnya bergelut di dalamnya. Hampir setiap sudutnya sudah saya jelajahi. Banyak tempat juga pernah saya tinggali. Jakarta yang megah memang menawarkan sejuta harapan, kesenangan, dan hiburan. Namun demikian, selain kesenangan dan sekelumit kebahagiaan, saya juga pernah mengalami ketidakramahan yang mengintai ibukota ini.
 
Bosan mengunjungi objek wisata yang bahkan sudah sering saya kunjungi waktu kecil dan seringnya menikmati atraksi wisata yang dihelat di ibukota membuat saya memutar kepala mencari alternatif lain cara menikmati ibukota yang agak tidak biasa. Dulu, saat masih berkantor di Wisma 76, untuk mengusir penat, saya kerap menuju ke parkiran di lantai paling atas hanya untuk mencari udara segar. Hembusan angin kencang dan pemandangan rimbun gedung yang berlomba tinggi-tinggian seolah sanggup mengusir sejenak rasa penat yang disematkan radiasi monitor komputer.  

Berangkat dari ide serupa, saya mencoba mengulangi kenikmatan lama tersebut dengan menikmati lagi kota Jakarta dari ketinggian tertentu. Saya sengaja memilih tempat-tempat yang memang memiliki sejarah atau titik episentrum ibukota ini untuk mendapatkan medan pandang yang agak leluasa sekaligus mendapatkan reka ulang historis berdirinya republik ini. Mungkin foto-foto yang tersaji di galeri ini tak mempunyai arti banyak bagi Anda. Tapi, saya pikir, setiap foto di bawah ini memiliki impresi personal dalam kaitannya dengan jejak langkah yang pernah saya lakukan di Jakarta.

Saya memulainya dari titik 0 km kota Batavia di Menara Syahbandar, Museum Bahari. Dari ketinggian 12 mdpl di lantai 3, saya mengarahkan pandangan 360 derajat untuk merasakan aura cengkeraman kolonial yang masih dikidungkan oleh gedung-gedung tua sisa gudang rempah-rempah VOC.
.: Bersandar di Dalam Menara Syahbandar :.
Selain gudang rempah, deretan perahu-perahu phinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa seakan menancapkan harapan dan mendaraskan doa untuk menjadi caraka berita sekaligus kepanjangan tangan bagi distribusi kebutuhan hidup penduduk negeri. Kadang saya masih menjenguk aroma keringat imperialisme dari punggung para kuli angkut perahu. Tempat yang becek sehabis hujan, udara panas bercampur garam, dan debu hitam penuh timbal pekat seakan menjadi alasan manis bagi saya untuk tidak mendekat langsung di area pelabuhan. Cukuplah dari menara ini kejadian-kejadian kecil tersebut saya nikmati. 
.: Deretan Perahu Phinisi yang Sedang Bongkar Muat di Pelabuhan Sunda Kelapa :.

.: Suasana Pelabuhan Sunda Kelapa Dilihat dari Menara Syahbandar :.

.: Restoran Galangan VOC: (Bekas) Gudang Rempah-Rempah VOC :.

.: Museum Bahari: (Bekas) Gudang Barat dan Gudang Timur Rempah-Rempah VOC :.

.: Menara Syahbandar di Pinggir Jalan Raya :

Sehabis 'bertugas' di Istana Merdeka, muncul ide untuk mengunjungi kembali Monumen Nasional (Monas). Menara iconic kebanggan negeri ini pertama kali saya sambangi saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
.: Di Puncak Monumen Nasional :. 
Setelah dewasa pun saya kerap jalan-jalan ke sini sebagai sebuah 'pelengkap' setelah sebelumnya menyambangi Museum Nasional di seberangnya. Sebagai monumen bersejarah, Monas masa kini juga merupakan titik 0 km kota Jakarta. Perpindahan titik 0 km kota Jakarta dari Menara Syahbandar ke Monas juga seakan menjadi penanda yang halus pemindahan pusat kota Batavia dari Kota Tua ke wilayah Weltevreden yang dilakukan oleh Deandels di masa silam. Meski tidak lagi menjadi penyandang bangunan tertinggi, puncak Monas tetap menawarkan 'keindahan' kota Jakarta dari udara. Orang masih saja rela mengantri berlama-lama hanya untuk merasakan sensasi dihembus angin di ketinggian 132 mdpl. Dari puncaknya, saya benar-benar merasakan bahwa Jakarta bukan lagi kota pelabuhan kecil kerajaan Pajajaran seperti yang dilantunkan dalam catatan perjalanan pelaut Eropa. Jakarta masa kini adalah sebuah tatanan megapolitan yang sesak oleh rimbunan beton.
 
.: Hutan Beton :.

.: Istiqlal: Simbol Kemerdekaan Republik Indonesia :.

.: Istana Merdeka: Kemegahan dalam Kepungan Para Pencakar Langit :.

.: Alun-Alun :. 

.: Jakarta Kota Megapolitan :.

Berkali-kali terbang di atas Jakarta, jarang sekali saya berhasil menyaksikan keriuhannya dari udara. Mungkin karena seringnya terbang malam. Atau bisa jadi karena Jakarta sedang diselimuti kabut asap kendaraan oleh penghuninya saat pagi. Saya menyesal sekali tidak dapat menikmati Jakarta dari ketinggian saat Taman Mini Indonesia Indah mengadakan atraksi balon udara.
.: Experiencing Garuda Indonesia :.
Yang jelas, saat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 0308 mengantarkan saya menuju Surabaya, Jakarta seakan turut tersenyum dengan menyibakkan cadar asapnya untuk saya intip sejenak. Traffic bandara Internasional Soekarno Hatta yang tinggi memberi kemungkinan kepada saya untuk menikmati Jakarta dari udara dengan lingkup yang lebih luas lagi. Pesawat yang saya tumpangi harus memutar haluan dahulu di atas kepulauan Seribu sebelum akhirnya kembali ke koordinat menuju wilayah timur. Dari situ, saya diingatkan akan sejarah masa lalu. Bahwa, di gugusan pulau-pulau kecil seperti Pulau Unrust, Pulau Cipir, Pulau Kelor, dan Pulau Bidadari inilah kekuasaan imperialisme kolonial bermula. Tempat ini seolah menjadi titik 0 bagi imperium Belanda di nusantara. Dari sini pulalah saya seakan terbangun dari amnesia berkepanjangan seperti dialami banyak orang: bahwa Jakarta bukan hanya daratan yang dihuni gedung-gedung megah tetapi juga kawasan laut yang tergabung dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu.  

.: The Icon: Istiqlal dari Udara :.

.: Teluk Jakarta: Tanjung Priok yang Melegenda :.

.: Antjol :.

.: Sarang Bidadari :.

.: Titik Nol Imperium Belanda di Nusantara :.

Jakarta yang kerap dicerca sebagai biang pemakan usia manusia dengan membiarkannya merana di jalanan sepertinya tak berlaku bagi orang-orang yang senantiasa membuka hati dan menikmati apa adanya. Bagi saya, jika tak lagi mendapat sebutan Permata dari Timur, Jakarta tak ubahnya adalah oase tempat saya bernaung. Saya akan tetap menikmati Jakarta, paling tidak, hingga saya bosan hidup di dalamnya dan tak lagi mampu mengintipnya dari ketinggian. []   

6 komentar:

  1. jakarta, sepertinya cuma cakep dari udara nih :D itu lucky banget dah bisa liat jakarta dari udara. aku seringnya fly malem, jadi dapetnya gelap saja :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, dulunya sering terbang malem. Terakhir2 ini lebih suka terbang pagi saja. Lebih gak terlalu diburu-buru waktu. Eh iya, Jakarta pas malem juga ada fotonya, tapi gak diuplod. Udah kepanjangan soalnya :)

      Hapus
  2. iya aku juga dapet jakarta malem terus kalo dari pesawat. tapi ini nice post loh jadi mau ke museum bahari

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah terima kasih ya, monggo silaken, Museum Bahari bagus banget kok untuk mengisi akhir pekan. Museumnya (agak) sepi, jadi bisa bebas mengeksplorasi :)

      Hapus
  3. iiihhh iya cakep loh jkt dr monas :D

    dan aku baru dgr menara syahbandar...pdhl udh brp lama tinggal di JKT coba...

    btw mas, kamu kerja di wisma76? Bukan wisma 46 ya mksdnya? soalnya aku di wisma 46 ;p.. Baru dgr ada wisma 76..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, masa baru denger? Itu kan yang di Museum Bahari, Kawasan Kota Tua yang ngehits banget hehehe :)

      Dulu kantorku di Wisma 76, Jl. S. Parman, sebelahnya Hotel Peninsula Kemanggisan. Tapi sekarang udah pindah di Tangerang Selatan. Minggir dikit lah dari ibukota :)

      Hapus