Minggu, 05 Mei 2013

Museum Bahari: Rekam Jejak Kekayaan Rempah-Rempah dan Kejayaan Bahari Nusantara

.: Bekas Gudang Rempah-Rempah :.
Macet, panas, dan hembusan angin basah dari laut yang membuat gerah adalah beberapa hal yang sering digunakan untuk mendeskrepsikan Jakarta sebagai kota yang sudah tak layak dihuni. Apalagi sampai dijadikan destinasi favorit tujuan liburan. Tapi bagi saya, Jakarta selalu menarik untuk dinikmati dan mempunyai magnet yang membius dalam segala ketidaknyamanannya. Salah satu favorit saya adalah menghabiskan waktu akhir pekan ke kawasan kota tua Jakarta yang melegenda.

Berkali-kali ke kawasan kota tua Jakarta dan menikmati museum serta bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial Belanda tak serta merta membuat saya menjadi sering mengunjungi Museum Bahari di kawasan Pasar Ikan, Jakarta Barat ini. Maklum saja, meski terletak dalam satu kawasan besar yang dulu disebut Oud Batavia, Museum Bahari saat ini terletak agak jauh dari kawasan 'mainstream' kota tua Jakarta yang berpusat di Taman Fatahillah.

Menempati bangunan tua di Jalan Pasar Ikan No. 1 Jakarta, Museum Bahari di masa lalu merupakan gudang rempah-rempah milik perusahaan dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Belanda yang dibangun secara bertahap dari tahun 1652 hingga tahun 1759. Berniat untuk menikmati Museum Bahari dengan lebih intens karena jarang berkunjung, saya memilih memulainya dengan berjalan kaki saja dari Taman Fatahillah daripada bersepeda agar lebih leluasa memotret gedung-gedung tua di sepanjang jalur menuju museum. Agak lelah memang, tapi puas menikmati setiap detil kota tua sambil membayangkan betapa megahnya kota ini dahulu hingga mendapat julukan Koningen van het Oostenb (Ratu dari Timur).

Titik Nol Kota Batavia
.: Menara Syahbandar :.
.
Museum Bahari terbagi menjadi dua lokasi yang dipisahkan oleh Jalan Pasar Ikan. Saya tertarik untuk mampir dahulu ke Menara Syahbandar. Menara ini baru dibangun tahun 1839 yang berfungsi sebagai pemandu lalu lintas kapal-kapal dagang menuju kota Batavia sebelum Pelabuhan Tanjung Priok dibangun. Menara yang dahulu juga digunakan sebagai menara pengintai (Uitkijk Post) ini dibangun di bekas bantion Benteng Culemborg yang merupakan pintu masuk Kota Batavia.

Beruntung sekali saya berada di Menara Syahbandar seorang diri sehingga bisa leluasa mengeksplorasi menara ini. Pintu depan sengaja saya tutup sebentar untuk mendapat foto lebih simetris. Di kaki anak tangga terdapat sebuah prasasti berhuruf China yang menjelaskan bahwa Menara Syahbandar di masa lalu merupakan kantor pengukuran dan penimbangan serta menjadi titik 0 kota Batavia. Anak tangga sebanyak 77 buah mengantarkan saya sampai puncak menara ini. Dari sinilah saya dapat memandang Oud Batavia dengan jelas: kapal-kapal phinisi berjajar berderet di Pelabuhan Sunda Kelapa, lalu lintas pelayaran nusantara di kawasan teluk Jakarta, restoran Galangan VOC yang dulu merupakan galangan kapal milik VOC, muara sungai Ciliwung yang berair kehitaman, dan tentu saja, kota lama Batavia yang sudah berubah menjadi hutan beton Jakarta.     

.: Titik Nol Km Kota Batavia :.
Rasanya ingin sekali berlama-lama berada di puncak Menara Syahbandar dan menikmati angin yang lumayan semilir di ketinggian. Tapi, saat mendengar suara gedubrakan di tangga bawah, saya segera beranjak turun. Serombongan anak sekolah sedang melaksanakan karya wisata juga. Salut untuk para guru yang berinisiatif membawa anak didiknya belajar di luar kelas dan mengenalkannya dengan museum. Tapi sayang sekali, Menara Syahbandar ini tidak ada petugas jaganya, yang paling tidak, bisa mengatur dan mengawasi jumlah pengunjung yang diperbolehkan naik ke atas secara bergiliran, mengingat menara ini sudah miring akibat kontur tanahnya yang 'bergerak' dan kondisi tangga yang agak rapuh.

Setelah turun dari menara, saya menyempatkan diri berkunjung ke beberapa bangunan yang menjadi pendukung menara. Jumlahnya ada tiga bangunan yang masing-masing berperan sebagai tempat transaksi perdagangan, gudang (tepat di depan menara, bentuknya seperti kantor kelurahan), dan kantor urusan pabean (di samping menara). Saya baru sadar, ternyata di sekeliling menara masih ada beberapa meriam yang diabadikan sebagai pelengkap museum.

Di depan bangunan yang dahulu digunakan sebagai kantor urusan pabean terdapat sebuah tugu kecil sebagai penanda bahwa tempat tersebut merupakan tempat titik meridian (tempat bertemunya garis lintang dan garis bujur) kota Jakarta. Saya berdiri sebentar di sebelah tugu tersebut dan melongok ke areal sebelahnya yang dulunya merupakan muara Sungai Ciliwung. Sebelum ditinggikan seperti sekarang, areal Menara Syahbandar ini juga terletak tepat di ketinggian 0 mdpl, sejajar dengan tinggi air laut. Meski sudah ditinggikan, jika Sungai Ciliwung meluap, tempat ini juga langganan mendapatkan jatah genangan air. Sungguh, merupakan replika yang tak dapat dibantah bahwa Batavia dibangun menyerupai negeri penghuninya dari Tanah Dam.

Gudang Segala Rupa

.: Angka Tahun di Atas Palang Pintu Menunjukkan Tahun Dibangun :.
Berada di Museum Bahari, waktu serasa diputar untuk melihat kejayaan Nusantara di pentas percaturan dagang rempah-rempah dunia. Bangunan berlantai tiga yang terdiri dari dua bagian yaitu Gudang Barat (Westzijdsch Pakhueizen) dan Gudang Timur (Oosjzijdsch Pakhuizen) seakan menjadi penonton bagaimana komoditas rempah-rempah seperti pala, cengkeh, kayu manis, lada, tembakau, kopra, kayu putih, teh, kopi, dan lainnya diangkut dari bumi nusantara ke negeri Eropa.

Dari angka tahun yang tertulis di atas palang pintu bangunan ini saya ketahui bahwa gudang-gudang ini dibangun dan direnovasi dalam beberapa tahap. Di antara yang saya lihat adalah angka tahun 1718, 1719, dan 1771 (kayak kode SPT aja ya :P). Di dinding-dindingnya yang berwarna putih, secara simetris menggantung jendela-jendela yang selalu terbuka sebagai medium untuk sirkulasi udara sehingga timbunan rempah-rempah yang tersimpan di dalamnya tidak cepat membusuk dihembus angin lembab yang mengandung garam. Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku untuk udara di era milenium. Meski sesekali dihembus semilir angin, saya merasa sedikit pengap saat berada di salah satu ruangan di dalam museum. Mungkin pendingin ruangannya sedang tidak dinyalakan atau memang sengaja tidak dipasang di ruangan tertentu.  

Pada masa pendudukan Jepang, gudang-gudang ini digunakan sebagai tempat menyimpan logistik militer. Setelah Indonesia merdeka, gudang ini sempat berganti-ganti peruntukan yaitu sebagai gudang logistik PLN dan selanjutnya digunakan sebagai gudang Pos, Telepon, dan Telegram. Sepertinya Gubernur Ali Sadikin menjadi gubernur DKI Jakarta favorit saya setelah Bapak Jokowi, karena di masa pemerintahannya, banyak sekali bangunan-bangunan tua di Jakarta yang diresmikan sebagai museum. Termasuk di antaranya adalah Museum Bahari ini yang diresmikan beliau pada tanggal 07 Juli 1977.

.: Salah Satu Sudut Museum Bahari :.
Dari situ pula saya sempat menduga-duga, bahwa pada dasarnya orang Indonesia sangat menyukai momen-momen yang berkaitan dengan tanggal penting (atau dianggap penting) yang bahkan berpotensi untuk dimitoskan. Seperti halnya banyak orang berhipotesis datangnya hari akhir pada 9-9-99, dipilihnya tanggal 07 Juli 1977 yang membentuk angka 'cantik' 7-7-77 sebagai tanggal peresmian museum dilatarbelakangi sebagai simbol tujuh samudra yang berhasil ditaklukkan nenek moyang bangsa Indonesia di masa lampau.

Romantisme kejayaan bahari nusantara sepertinya terbukti melalui deretan koleksi museum ini sehingga mengukuhkan idiom Jalesveva Jayamahe-di laut kita jaya. Berbagai replika perahu yang hilir mudik dan diproduksi oleh anak negeri seolah mengambil tempat untuk menghidupkan bekas gudang yang sunyi senyap. Selain menyaksikan miniatur perahu modern yang sudah dilengkapi peralatan mutakhir, perhatian saya justru terpaku pada beberapa perahu tradisional yang unik. Perahu phinisi dari pelaut bugis tetap menjadi favorit saya. Sejak melihat KRI Dewaruci di Pangkalan Armatim Surabaya dan mengunjungi 'pabrik' pembuatannya di Bulukumba, Sulawesi Selatan, saya jatuh hati dengan perahu yang dilengkapi dua tiang layar ini.

.: Perahu Papua :.
Selain itu, saya juga berkenalan dengan nama-nama jenis perahu yang baru saya dengar di sini. Ada perahu lancang kuning dari Riau, perahu gelati atau jung reje yang mendominasi pelayaran di Selat Bali, perahu mayang dari Indramayu, dan perahu londe yang dipakai oleh Suku Talaud di Sulawesi Utara. Perahu Papua tampak mencolok dengan lukisan ornamen Suku Asmat di badan perahu. Perahu ini dibuat dari kayu utuh yang dilubangi tengahnya dan didatangkan langsung dari bumi Papua tahun 1980 dengan dilayari.

Tak hanya Perahu Papua yang menyimpan kenangan melayari samudra nusantara sebelum berlabuh selamanya di Museum Bahari. Perahu Cadik Nusantara sepertinya turut berkontrubusi membuktikan ketangguhan pelaut nusantara yang digunakan oleh seorang pemuda bernama Effendi Soleman berlayar seorang diri menempuh jarak pergi-pulang Jakarta-Brunei Darussalam. Sungguh gila luar biasa pasti pengalamannya mengarungi air garam selama beberapa bulan.

Yang lebih membanggakan mungkin adalah perahu bercadik replika dari relief yang terpahat di Candi Borobudur. Jauh sebelum penjajah kolonial menginvasi nusantara, nenek moyang bangsa Indonesia ternyata telah lama mengukuhkan keunggulannya sebagai pelaut tangguh yang sanggup menaklukkan samudera. Perahu tersebut tercatat berhasil melayari Jalur Kayu Manis (The Cinnamon Route) sejauh kurang lebih 11.000 mil laut.

Pada tahun 2003, perahu serupa direkonstruksi kembali untuk menampak tilas jalur pelayaran samudera dari Jawa (Jakarta) menuju Ghana, Afrika. Sayang sekali, begitu spesialnya perahu bernama Samudera Raksa tersebut hingga tidak disimpan di museum ini tetapi disandingkan di Museum Samudera Raksa, Taman Candi Borobudur, Magelang sesuai dengan tempat yang mengilhami dibuatnya kembali perahu tersebut.

.: [Simetris] Jendela-Jendela untuk sirkulasi udara :.
Selama menelusuri ruangan-ruangan di museum ini, saya jadi berpikir, ternyata perahu-perahu tradisional nusantara diproduksi dengan kayu-kayu pilihan yang tahan terhadap cuaca. Bahannya dipilih dari kayu ulin (kayu besi) yang mempunyai serat lebih kuat saat terkena air sehingga tidak mudah keropos dari ancaman cuaca dan rayap. Saya perhatikan, sepertinya hal serupa juga berlaku untuk konstruksi bangunan gudang ini. Bertahan dengan kukuh sejak dibangun, konstruksi bangunan Museum Bahari juga menggunakan kayu ulin sebagai penyokong soko guru bangunannya.

Meski tidak diburu waktu, saya menyudahi kunjungan ke museum ini sebelum senja menjelang. Saya perhatikan serombongan anak-anak sekolah yang tadi gedubrakan di Menara Syahbandar masih menyelesaikan tugas mereka sebagai siswa yang masih mainstream sebagai kegiatan wajib peserta didik sejak dulu saat digiring ke museum: mencatat hal (yang dianggap) penting yang sebetulnya justru mengganggu kenikmatan menikmati museum secara utuh itu sendiri. Sebelum beranjak keluar, saya kembali menduga-duga, mungkin kegiatan yang mewajibkan siswa untuk mencatat dan membuat laporan itulah salah satu hal yang memberi kontribusi besar mengapa mengunjungi bangunan megah yang menyimpan ilmu pengetahuan dari masa lalu seperti ini tidak menarik dan menjadi memori kolektif yang membosankan bagi sebagian besar masyarakat kita.  

8 komentar:

  1. Malu atu nich ama diri sendiri, lumayan deket tapi ngak perna di kunjungin ama daku :) malah sempet makan sea food di sebelah nya hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha, lo sukanya mantai ama makan aja sih. eh, foto-foto juga ding ya. sekali-kali museum dong bos. :D

      Hapus
  2. Terakhir aku ke sana tahun 2010 nih, cantik museumnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haduh, lama amat. Eh, sama sih, udah lama rencana ke museum bahari, tapi cuma rencana mulu. Baru kemarin-kemarin ini kesampaian. Panas euy ke sananya :'(

      Hapus
    2. iya , jauh juga sih tempatnya dr kampungku :)

      emang panas boo, kami jalan kaki dr museum Fatahilah sampai sana lho :)

      Hapus
    3. Eh, sama dong, aku juga jalan kaki kok dari Museum Mandiri. Tapi mampir-mampir mulu sih buat motret-motret, jadi fun aja hehehe :)

      Hapus
  3. suka banget sama sudut pengambilan foto2nya. unik. jadinya keren tuh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe, terima kasih apresiasinya. iya, ini salah satu proyek eksperimen saya belajar motret :)

      Hapus