Minggu, 12 Mei 2013

Bila Belanda Ingin VOC Bangkit Kembali

.: Museum Bank Mandiri :. 
Saat bertukar pengalaman jalan-jalan, saya kerap ditanya tentang mengapa suka sekali berkunjung ke museum. Apa nikmatnya memandangi bangunan dan artefak kuno yang bahkan sudah ada sejak saya belum menghirup udara dunia. Saya kerap susah menjawabnya. Paling tidak, saya tak punya jawaban pasti.

Ada kalanya saya memang niat datang ke museum untuk 'belajar' di sana. Mengagumi kemegahan arsitektur suatu bangunan dan membayangkan betapa hiruk pikuknya sebuah bangunan tersebut saat masih digunakan di masa silam. Saya juga merasakan kenikmatan untuk mereka-reka dan mencocok-cocokkan suatu benda bersejarah dengan ingatan (minim saya) tentang informasi yang disematkan guru sejarah di bangku sekolah.

Ada masanya pula saya datang ke museum hanya untuk sekedar mampir, leyeh-leyeh, numpang sholat, atau malah berteduh sejenak dari udara panas. Yang jelas, dalam setiap kunjungan ke museum, saya hampir tak pernah alpa untuk foto-foto. Seperti halnya yang kerap saya lakukan di Museum Bank Mandiri, Jakarta Barat.

Terletak persis di Jalan Lapangan Stasiun No. 1, Jakarta Barat, Museum Bank Mandiri seolah menjadi pintu gerbang dan suguhan pertama yang disajikan oleh kawasan wisata Kota Tua Jakarta. Meski sekilas tampak terlihat kusam karena kerap disembur asap hitam knalpot angkutan umum yang mangkal di depannya, museum ini merupakan salah satu museum tentang bank terlengkap di Indonesia.

.: Front Desk :.
Gedung tua berarsitektur art deco clasic (Niew Zakelijk) ini dulunya merupakan gedung milik NHM (Nederlandsche Handel Maatschappij) atau dikenal sebagai Factorij Batavia. Saya mengenali nama yang terakhir dari tulisan yang ada di depan pintu masuk utama.

Atmosfer tempo dulu langsung terasa begitu memasuki pintu utama. Suasana yang memang sengaja dihidupkan menyerupai aslinya sebagaimana pertama dibangun tahun 1929. Ubin dari batu kali, langit-langit yang tinggi, dan tiang-tiang kokoh yang menopang bangunan seolah cukup menjadi bukti bahwa bangunan ini mampu bertahan di segala zaman.

Di dalamnya berjajar rapi segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia perbankan. Ruangan-ruangan berjeruji untuk teller, berkas-berkas kuno semacam bilyet giro, berderet-deret mesin ketik segala merek, dan timbangan dokumen. Bahkan, lampu-lampu yang menggantung di langit-langitnya juga tertata rapi secara simetris menambah dinamis koleksi museum sekaligus mematahkan anggapan bahwa museum hanya merupakan 'gudang' dari onggokan barang-barang lanjut usia.

.: Ruang Kerja :.

Gedung Factorij Batavia ini dirancang oleh tiga orang arsitek Belanda bernama J.J.J de Bruyn, A.P. Smits, dan C. van de Linde. Ruangannya disekat-sekat dengan kanopi sehingga terbentuk lorong-lorong serupa labirin. Saat menyusuri ruangan-ruangan di dalamnya inilah saya menemukan suatu ruangan yang di dindingnya dipajang metamorfosis bangunan ini sejak dibangun hingga seperti sekarang. Bangunan ini awalnya digunakan sebagai 'markas' NHM hingga akhirnya tutup pada Maret 1942 saat masa pendudukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, NHM beroperasi lagi pada tanggal 14 Maret 1946. Adanya 'program' nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pasca kemerdekaan membuat NHM dilebur dengan Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) sejak 05 Desember 1960 dan menjadi kantor pusat BKTN Urusan Ekspor Impor.

Saat Indonesia merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-20, status bangunan ini dihuni sebagai Kantor Pusat Bank Negara Indonesia (BNI) Unit II hingga 31 Desember 1968. Setelahnya, bangunan ini kembali menjadi Kantor Pusat Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim). Pada tahun 1995, akibat likuidasi beberapa bank, Bank Exim bergabung dengan Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, dan Bapindo, membentuk Bank Mandiri. Karena bekas gedung NHM ini merupakan aset Bank Exim dan adanya keinginan melestarikan bangunan cagar budaya, maka gedung ini dijadikan sebagai Museum Bank Mandiri, selaras dengan bangunan-bangunan bersejarah di kawasan Kota Tua Jakarta.

Kisah dalam Kaca Patri

.: Sang Pelopor: Cornelis de Houtman :.
Pernah ditakdirkan sebagai penguasa perdagangan rempah-rempah hampir di separuh penjuru bumi sepertinya menjadi pemicu bagi Belanda untuk membangkitkan kejayaan masa silam pasca kebangkrutan VOC pada 1799 akibat korupsi yang merajalela. Bayangkan, siapa yang tak mau mengulang kejayaan masa lalu jika diingatkan fakta bahwa sebuah 'perusahaan multinasional' pertama di dunia dari suatu negara mungil dapat menguasai perdagangan rempah-rempah dari Tanjung Harapan di Afrika Selatan hingga Tanjung Horn, Magelhaen, Amerika Selatan. Sila bentangkan saja atlas dunia jika merasa susah untuk membayangkannya.

Romantisme kejayaan VOC di masa lampau sepertinya dijadikan spirit saat Belanda mendirikan NHM di Batavia ini. Kenangan akan masa jaya tersebut ditanam dalam sebuah kaca patri indah hadiah dari C.J. Karel van Aalst (Presiden NHM ke-10) atas nama Ratu Kerajaan Belanda. Saya seperti sedang berada di dalam kelas sejarah yang jauh lebih menarik daripada di bangku sekolah saat dihadapkan pada deretan kaca patri yang dipasang di dinding sebelah timur Museum Bank Mandiri ini. Pasalnya, gambar-gambar di dalam kaca patri seolah mendongengkan kisah awal kedatangan bangsa Belanda di nusantara.
Tepat di tengah bagian atas, Cornellis de Houtman seolah mendapat tempat spesial di sini. Houtman adalah nahkoda pemimpin armada pelayaran Belanda pertama ke Hindia Timur dan merupakan orang pertama yang menjejakkan kaki di Bantam (Banten) dan Pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1596. Ekspedisinya yang tergolong nekat penuh dengan kekerasan dan pemberontakan. Bayangkan, 145 dari 249 awaknya tewas. Ekspedisinya yang memakan waktu lama juga dinilai tak banyak mendatangkan keuntungan finansial. Tapi, ekspedisi ini dinilai berhasil membuka jalur perdagangan bagi Belanda dengan 'negeri di timur'.

.: Simbol-Simbol yang Bercerita dalam Kaca Patri :.

Di sekeliling potret diri de Houtman juga terpampang kapal-kapal pelopor pelayaran ke Hindia Timur yang namanya sudah melegenda: De Mauritius, De Hollandia, De Amsterdam, dan Duylken. Kapal-kapal besar tersebut tidak berlayar sendirian. Tapi ada kapal pendamping yang selalu mengiringinya. Misalnya De Mauritius, yang namanya diambil dari nama putra Willem van Oranje, sang Raja Belanda, penggagas NHM. Dalam ekspedisinya ke Hindia Timur, De Mauritius 'dikawal' oleh kapal-kapal yang ukurannya lebih kecil yaitu kapal Hendrik Frederik, Eendracht, dan Hoop. Kapal-kapal dalam ekspedisi perdana tersebut tujuan awalnya adalah untuk mengangkut rempah-rempah.

Yang paling penting bagi VOC mungkin adalah De Amsterdam. Kapal ini panjangnya 160 kaki dengan kapasitas muatan 1160 ton. Dindingnya dipersenjatai dengan 54 meriam dan difungsikan untuk mengangkut barang-barang berharga dan orang. Hal itulah yang menyebabkan De Hollandia sering menjadi incaran bajak laut. 

Menurut pengamatan dangkal saya, justru kaca patri raksasa berderet lima di bawahnyalah yang sering mencuri perhatian pengunjung museum. Kaca patri tersebut bercerita tentang empat musim di Eropa yaitu musim dingin, gugur, panas, dan semi. Bilah terakhir yang terletak di tengah menjadi kunci bahwa dari dahulu kala, bangsa Eropa selalu takjub dengan alam nusantara terutama Pulau Jawa yang kaya dengan gunung vulkanik sehingga membuat tanahnya subur.

.: Batavia, NHM (VOC Jilid 2), dan Nederland :.
Dari situlah akhirnya yang membuat Belanda ingin menancapkan kekuasaannya di nusantara. Gambar-gambar tadi seolah menjadi kilas balik bagaimana Belanda ingin mengulang kembali masa kejayaan VOC dulu dengan mendirikan NHM akibat ekonominya yang hancur akibat perang dengan Belgia. Pada tahun 1830, di bawah kuasa Gubernur Jenderal Graaf van den Bosch, diberlakukan sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Di sinilah NHM mempunyai peran ganda yaitu selain mengirim barang juga menjadi pembeli rempah-rempah dari Hindia Belanda sehingga meraup keuntungan yang berlipat ganda sekaligus menjadi pemicu kesengsaraan jilid dua bagi pribumi nusantara.

Keuntungan yang berkelimpahan tersebut dinikmati NHM selama 40 tahun hingga akhirnya omsetnya turun akibat pencabutan tanam paksa. Saya menduga ini ada campur tangan dari tulisan Eduard Douwes Dekker yang berjudul Max Havelaar. Setelah sistem tanam paksa dicabut, NHM banting setir ke dalam usaha bank modern dengan menerima dana dari pihak ketiga dalam bentuk deposito, rekening koran, dan produk jasa lainnya.

Meeting Point yang Nyaman

.: Halaman Tengah Yang Asri :.
Saya berkeliling ruangan lainnya. Saya perhatikan, dari dulu hingga sekarang, Museum Bank Mandiri memang tempat yang cocok sebagai tempat berkegiatan seperti talkshow, kumpul-kumpul komunitas, bedah buku, pacaran, atau bahkan cuma sekedar pelesiran untuk leyeh-leyeh. Halaman tengahnya yang rindang membuat sejuk suasana meski terletak di tengah kota yang hiruk pikuk.

Jika tak ada agenda, ruangan-ruangannya dipastikan kosong hanya diisi dengan koleksi museum saja. Karena sudah cukup hafal dengan lorong-lorongnya, saya berusaha membuat 'rute-rute' baru tiap kali berkunjung ke sini. Kadang kala, kalau sedang beruntung, saya tiba-tiba masuk ke suatu ruangan yang 'asing' karena belum sempat menginjaknya pada kunjungan sebelumnya. Hal-hal seperti inilah yang membuat saya selalu tertarik mengunjungi museum ini, bahkan sampai berkali-kali. 

Misalnya saja, pada kunjungan saya kemarin, sembari latihan memotret, saya mencoba mengeksplorasi setiap detail bangunan sembari memerhatikan sejarah gedung ini dalam bentuk foto-foto serta keterangan yang dipampang di dinding serambi dalam. Entah mengapa, saya seperti diajak berkeliling dan menemukan ruangan baru atau minimal sudut-sudut baru yang sangat menarik.

.: Anak Tangga yang Mengular :.

Berkali-kali berkunjung ke sini, saya baru saja 'terjerumus' dan tahu kalau salah satu ruangannya digunakan sebagai perpustakaan. Ruangan ini sangat sepi sekali, hanya ada satu orang petugas jaga. Kontras dengan ruangan lainnya yang penuh dengan para ABG sedang bercanda dan pacaran. Saya masuk ke dalam. Sepi dan terasa ngelangut. Hanya ada deretan buku-buku dan tumpukan majalah. Sepertinya di sinilah saya menikmati Museum Bank Mandiri di bagian yang membuat tenang selain di musholanya. Benar-benar serasa beristirahat sekaligus 'belajar' sejarah lagi.

.: The Art of Doing Nothing: Leyeh-Leyeh di Perpustakaan :.
Saat akan beranjak pulang, saya dihadapkan lagi pada simbol yang terpasang di salah satu kaca patri. Simbol itu terdiri dari tiga lambang yaitu lambang kota Batavia, lambang NHM, dan lambang kota Amsterdam.

Lambang-lambang tersebut seperti memiliki benang merah dan menghubungkan kedua wilayah yaitu Batavia (Jakarta, Indonesia) dengan Amsterdam (Belanda). Saya belum tahu, tapi saya menduga, nama NHM ini masuk dalam diktat wajib pelajaran sejarah di sekolah-sekolah Belanda, dan saya yakin nama Batavia (Jakarta) sering disebut-sebut juga dalam kaitannya dengan NHM ini.

Di satu pihak saya mengecam apa yang dilakukan oleh kedua Kompeni (compagnie) Belanda tersebut yang mengakibatkan tragedi kemanusian bagi bangsa Indonesia. Tapi di sisi lain, saya juga tertarik untuk tahu lebih jauh, bagaimana Belanda membangun negerinya dengan mendirikan sebuah perusahaan berskala internasional semacam VOC dan NHM untuk menyokong ekonomi negerinya. Saya juga ingin tahu tentang VOC dan NHM ditinjau dari sudut pandang sejarah nasional Belanda. Pasti dua kompeni itu dianggap sebagai 'dewa' penyelamat ekonomi bangsa. Apa jadinya jika dibandingkan dengan BUMN di Indonesia saat ini ya?

Dari foto-foto yang ada di dinding, tampak dipajang foto kunjungan Menteri Ekonomi Belanda, Maria van Der Hoeven ke Museum Bank Mandiri pada 05 Maret 2010. Apa coba yang mendorong seorang menteri ekonomi Belanda bertandang ke museum ini, kecuali karena mempunyai ikatan batin dengan negerinya. Saya sih berharap semoga agendanya bukan untuk menjajaki kemungkinan membangkitkan kedua kompeni itu di Indonesia pada era milenium ini, hehehe. Aih, saya kok tiba-tiba pengen ke bekas 'markas'nya NHM di Amsterdam, tapi, siapa yang mau bayarin ya? Mungkin Bu Menteri van Der Hoeven mau mengundang saya? :) *muka melas*

4 komentar:

  1. saya baru "ngeh" ternyata VOC adalah MNC perdana. Selama ini saya kira dia hanya kumpulan pedagang. Saya sering lewat museum ini saat pulang ke Jakarta, tapi tidak pernah sekalipun mengunjunginya. Setelah baca ini, jadi tertarik untuk datang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Awalnya VOC hanyalah kongsi dagang, tapi begitu besar pengaruhnya setelah berhasil memonopoli perdagangan di hampir separuh dunia, negara ikut andil juga.

      Saya sebenarnya sering ke museum ini, tapi jarang melihatnya dengan detil, seringnya sambil lalu saja. :'( Sempatkanlah main ke sini kalau ke Jakarta. Menarik sekali :)

      Hapus
  2. Museum membuat masa lalu jadi menarik, juga membuat kita sadar kalau masa lalu selalu baru.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, karena kita hidup di zaman yang berbeda dengan saat bangunan tersebut pertama digunakan. Yah, seperti mesin waktu saja. Makanya saya suka ke museum. :)

      Hapus