Rabu, 29 Mei 2013

Menjejak Cikal Pecinan Tangerang

.: Museum Benteng Heritage :. 
Sebagai sebuah 'kota satelit' dari wilayah ibukota Jakarta, Tangerang sebenarnya tak begitu dilirik dalam peta pariwisata tanah air. Setidaknya, tak banyak atraksi wisata yang bisa 'dijual' dan dijadikan agenda sepanjang tahun. Toponimi kota Tangerang sendiri lebih dominan sebagai kawasan pemukiman penduduk.

Namun demikian, saya tak mengira jika di sebuah gang sempit di kawasan Pasar Lama, Tangerang, terdapat sebuah museum unik bertajuk Museum Benteng Heritage. Penampakannya dari luar nyaris serupa dengan bangunan lain di sekitarnya, berupa rumah susun berlanggam Tionghoa dengan atap khasnya yang berbentuk trapesium. Saya harus banyak bertanya kepada penduduk sekitar tentang lokasi tepatnya museum ini karena gang sempit tersebut penuh sesak dengan para pedagang pasar dan warga Tionghoa yang akan berangkat sembahyang di kelenteng.

Sebuah papan peresmian yang menggantung manis di dinding depan seolah menjadi penanda bahwa bangunan tersebut merupakan sebuah museum. Melihat lantainya yang bersih, saya tak sampai hati untuk mengotorinya dengan lancang masuk ke dalam. Melihat tingkah saya yang celingak-celinguk, seorang wanita paruh baya penunggu loket menyambut saya dan mempersilakan masuk.

.: Welcome to Benteng Heritage Museum, Sie Sie :.
Setelah membayar tiket dan diberi stiker kecil Museum Benteng Heritage sebagai karcis, saya diajak masuk ke bagian dalam museum untuk mengikuti tur keliling. Menyusuri bagian dalam bangunannya serasa ikut jalan-jalan ke rumah nenek. Segala furnitur sepertinya telah mendapat sentuhan pelitur: licin dan mengkilap cokelat.

Karena hari sudah sore, tak banyak pengunjung yang ikut rombongan tur ini. Hanya ada 5 orang (termasuk saya dan seorang pemandu museum). Bagai tamu kehormatan sekaligus kelas kecil, kita didudukan di sebuah meja panjang dan dijelaskan tentang sejarah singkat alasan didirikannya museum ini.

Museum Benteng Heritage merupakan buah dari keinginan Bapak Udaya Halim, seorang warga keturunan Tionghoa Benteng dalam mengumpulkan artefak yang berkaitan dengan jejak sejarah leluhurnya. Diceritakan, dalam suatu kisah liburan ke Indonesia, Udaya membeli sebuah rumah kuno yang posisinya persis ada di seberang rumah orang tuanya. Kata koh Theo, pemandu kami, "Beliau ingin agar budaya Tionghoa Benteng tidak hilang dimakan waktu, makanya ketika rumah ini dijual oleh pemilik sebelumnya, Pak Udaya berusaha 'menyelamatkan' bangunan ini dari keasliannya dengan membelinya sebelum jatuh ke tangan orang lain". 

Tionghoa Benteng atau kerap disebut Cina Benteng merupakan sebutan bagi warga peranakan Tionghoa yang tinggal di pinggir Sungai Cisadane, Tangerang. Disebut Cina Benteng karena konon di sini pernah berdiri benteng VOC yang digunakan sebagai tempat perlindungan dari serangan Kerajaan Banten.

Merujuk pada tulisan dan lukisan-lukisan kuno yang dipajang di lantai 2, koh Theo menjelaskan lagi bahwa banyak kemungkinan asal muasal kedatangan warga Tionghoa di pinggir Cisadane ini. Ada yang bilang bahwa leluhurnya merupakan keturunan dari pasukan Laksamana Cheng Ho saat berlayar ke nusantara yang melakukan pendaratan di Cisadane dan akhirnya menetap di sini. Ada juga yang bilang bahwa masyarakat Tionghoa Benteng ini terbentuk dari komunitas pengungsi yang melarikan diri dari Batavia saat terjadi pembantaian besar-besaran warga Tionghoa tahun 1740. Berangkat dari hipotesis-hipotesis tersebut, maka dikumpulkanlah barang-barang yang ada hubungannya (atau paling tidak ada bau sangkut-pautnya) dengan keberadaan komunitas Tionghoa Benteng ini dalam satu bangunan museum.  

.: Lorong Waktu :.

Dijelaskan satu per satu tentang ornamen yang melekat di dalam museum, saya pikir bangunan ini lebih tepat disebut sebagai rumah kolektor artefak Tionghoa Benteng. Pasalnya, tak semua barang di sini 'asli' dan berhubungan langsung dengan masyarakat Tionghoa Benteng zaman duhulu yang bermukim di pinggir Sungai Cisadane, Tangerang. Tapi, koleksinya merupakan kumpulan benda-benda antik dan kuno yang didapatkan oleh Pak Udaya dan keluarganya saat jalan-jalan ke seluruh penjuru dunia. Ada juga barang-barang sumbangan dari para kolektor maupun masyarakat yang mempunyai ide serupa menyimpan kekayaan warisan budaya Tionghoa Benteng dalam sebuah museum.

.: Sudut Suvenir :.
Di antara banyak koleksinya, saat berada di lantai 2, saya terkesan dengan koleksi-koleksi sepatu mungil dari kain yang banyak dipakai oleh putri-putri Tionghoa Benteng zaman dulu. Saya kira itu sepatu bayi saking mininya. Ternyata sepatu perempuan dewasa.

Dahulu kala, masalah ketidaksetaraan gender ternyata tidak hanya terjadi di kalangan pribumi. Di dalam warga Tionghoa pun terjadi. Dari kecil mereka diajarkan bahwa perempuan dengan kaki yang berukuran kecil jauh lebih baik dan cantik daripada yang berkaki 'besar'. Anggapan seperti itu mendorong setiap perempuan atau orang tua yang punya anak perempuan mewajibkan dirinya atau anak perempuannya untuk mengikat bagian depan dan belakang kakinya supaya menekuk dan bisa terlihat kecil.

Dalam jangka pendek, kaki-kaki tersebut memang 'seolah' kelihatan cantik. Tapi, begitu si perempuan yang biasa diikat kakinya menginjak usia akil balig, kaki-kaki kecil dan cantik tadi tidak sanggup lagi menopang tubuh pemiliknya yang tak lagi mungil dan ringan sehingga bisa jatuh dan harus ditopang atau dipapah oleh orang lain. Hal ini jelas sangat mengganggu kelancaran mobilitas seorang perempuan untuk bersosialisasi. Jadi, itulah sebenarnya tujuan jangka panjang mengapa kaki perempuan diikat dari kecil dengan dalih agak kelihatan cantik, bahwa sebenarnya perempuan dewasa dilarang atau dibatasi agar tidak keluar rumah. Sungguh menyakitkan dan menyiksa batin. :'(

.: Kawasan Pasar Lama yang -maaf- agak Kumuh :'( :.     
Selain sepatu mungil, saya juga suka dengan koleksi kunci pintu yang dimainkan dalam 'atraksi' buka tutup pintu. Ada sebuah pintu tua yang punya sistem kunci rahasia. Bukan sulap bukan sihir, pintu tersebut memungkinkan orang bisa leluasa masuk namun tidak bisa keluar. Jadi, jika ada orang asing yang masuk ke dalam rumah, dan mengunci pintunya, dia tidak akan bisa keluar lagi jika tidak tahu posisi atau cara membukannya. Pintu semacam ini populer digunakan dalam rumah-rumah orang Tionghoa zaman dulu untuk menjaga rumahnya dari pencuri.

Tur selama 45 menit rasanya terlalu singkat untuk mengetahui semua detil mengenai koleksi museum berikut sejarahnya. Saya paling antusias waktu koh Theo menjelaskan tentang cerita yang tersurat dalam relief ukir-ukiran pada langit-langit ruang tengah. Kisahnya serasa mendengarkan dongeng dari negeri tirai bambu.

Selesai menjelaskan detil koleksi, para peserta tur digiring turun untuk menuju sebuah ruangan suvenir sebelum menuju pintu keluar. Di sini pengunjung dapat membeli oleh-oleh sebagai cenderamata. Ada kecap cap Benteng yang legendaris dengan resep turun-temurun dengan rasa yang masih terjaga sejak dulu. Kecap ini cukup populer di Tangerang sebagai kecap nomor wahid. Selain itu, bagi Anda penggemar komik atau buku cerita Tionghoa, mungkin bisa menemukan beberapa serialnya dijual di sini. Ada juga pernak-pernik seperti stiker dan gantungan kunci.

Karena hari sudah sore dan cuaca yang cenderung tidak bisa ditebak, saya memutuskan untuk segera meninggalkan lokasi museum dan berjalan kaki ke arah jalan raya melalui jalan sempit Pasar Lama yang becek dan sudah sepi pedagang. Setidaknya, dari kunjungan singkat ke Museum Benteng Heritage, Tangerang, saya jadi tahu satu lagi lokasi yang dapat dijadikan rujukan jika ada yang bertanya di mana tempat menarik yang bisa dijadikan tempat berlibur murah meriah sekaligus mendidik. Sungguh tempat yang menarik. []

6 komentar:

  1. Kok bisa nemu tempat gini tahu dari mana Di?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenernya sudah lama tahu dari obrolan temen-temen kantor saat ngomongin acara perayaan Imlek di Tangerang, tapi baru bener-bener diniatkan ke sana beberapa minggu lalu :'(

      Hapus
  2. Aku perna denger cerita nya tapi males jalan nya, ternyata keren juga. Kayak nya wajib nich di sempetin kesana :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya keren banget, mampir saja mas, sekalian hunting dengan kamera barunya hehehe :D

      #kode #pengendipoto #bukabaju #lho? :P

      Hapus
  3. aku pernah masuk ke dalamnya, tapi sayang ga boleh foto isi yg ada di museum :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener, sayangnya emang gak boleh foto-foto di dalem museum :'(

      Hapus