Selasa, 21 Mei 2013

Nonton Wayang di Dalam Gereja

.: Museum Wayang :.
Saya tak mengira jika bangunan Museum Wayang di kawasan kota tua Jakarta dulunya merupakan sebuah gereja. Pasalnya, melihat bangunan bercat putih ini, sekilas mengingatkan saya pada ruko-ruko seperti yang ada di pinggir kanal kota di negeri Belanda. Tak ada kesan sedikitpun yang menunjukkan bahwa bangunan ini adalah tempat suci untuk beribadah.

Dari lukisan lama kawasan Balai Kota Batavia yang saya lihat di Museum Bahari, di tempat yang sekarang berdiri Museum Wayang dulunya pernah ada bangunan gereja. Bentuk bangunannya mirip seperti Gereja Immanuel di Gambir, Jakarta Pusat dengan kubah blenduknya.

Gereja yang dibangun VOC tahun 1640 dan dinamai de oude Hollandsche Kerk tersebut digunakan sebagai tempat ibadah bagi penduduk sipil dan tentara Belanda yang tinggal di Batavia sampai dengan tahun 1732. Tahun berikutnya, gereja ini direnovasi dan namanya diganti menjadi de nieuwe Hollandsche Kerk. Gereja baru hasil renovasi ini eksis hingga tahun 1808 yang akhirnya hancur dan rusak akibat gempa. 

Setelahnya, bangunan gereja tersebut dibongkar dan didirikan bangunan baru sebagai gudang milik perusahaan Geo Wehry & Co yang bentuknya masih tegak seperti sekarang. Bagian depannya yang bergaya Neo-Renaisance tersebut dibangun tahun 1912. Mengikuti gaya dan peruntukan bangunan di sekitarnya, pada tahun 1938, gudang ini dipugar dan disesuaikan dengan gaya rumah Belanda masa itu. Hal itulah yang menyambungkan ingatan saya akan bangunan ini dengan ruko-ruko di pinggir kanal kota negeri Belanda.

.: [Saksi Bisu] Prasasti Pendirian :. 
Mungkin, dari sekian banyak museum yang ada di kawasan Kota Tua Jakarta, bangunan Museum Wayang inilah yang sejak zaman kolonial sudah menjadi museum. Awalnya gudang ini dibeli oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah lembaga independen yang didirikan untuk tujuan memajukan penelitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi dan sejarah, serta menerbitkan hasil penelitian (mungkin semacam Unesco gitu kali ya).

Bangunan ini dijadikan de oude Bataviasche Museum atau Museum Batavia Lama setelah pengelolaannya diserahkan kepada Stichting oud Batavia pada tahun 1937. Dari prasasti yang menggantung di dinding depan, saya ketahui bahwa Museum Batavia Lama ini diresmikan pada tanggal 22 Desember 1939 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir yaitu Jonkheer Meester Aldius Warmoldu Lambertus Tjarda van Starkenborg Stachouwer (panjang ya namanya ... kayak Profesor Dumbledore saja :D)

Setelah Indonesia merdeka, Museum Batavia Lama berubah menjadi Museum Jakarta Lama. Museum ini merupakan embrio bagi Museum Sejarah Jakarta saat ini. Saat menghadiri Pekan Wayang II tahun 1974, dengan dukungan dari panitia dan para pecinta wayang, Gubernur DKI Jakarta, Bapak Ali Sadikin menggagas didirikannya Museum Wayang. Sejak Museum Sejarah Jakarta dipindah lokasinya ke bekas Balai Kota Batavia, praktis bangunan ini dijadikan Museum Wayang yang peresmiannya dilakukan pada tanggal 13 Agustus 1975.

Sejak wayang ditetapkan sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity oleh Unesco pada tanggal 07 November 2003, keberadaan museum ini menurut saya penting bagi perkembangan dan kelestarian budaya bangsa yang mulai jarang dipentaskan di masyarakat ini. Ada sekitar 5400 koleksi wayang dan perlengkapan yang dibutuhkan dalam dunia pewayangan tersimpan di dalam museum ini, meliputi wayang golek, wayang kulit purwa, wayang mainan, dan wayang campuran baik dari dalam maupun luar negeri. Di museum wayang juga kerap diadakan pertunjukan wayang setiap minggu ke-2 dan ke-3 setiap bulannya. Selain itu, museum wayang juga mengoleksi boneka-boneka dari Eropa dan non Eropa seperti dari India, Suriname, Thailand, Vietnam, dan China.

.: Gatotkaca, Icon Penyambut Tamu Museum :.

.: Wayang: A Masterpiece from Indonesia :.

Di museum ini saya juga melihat ada boneka-boneka unik dari seluruh penjuru negeri. Di antara yang unik itu ada boneka unyil yang dipopulerkan oleh Bapak Drs. Suyadi. Bagi 'anak daerah' seperti saya, boneka ini sangat monumental dan menarik untuk media dongeng bagi anak-anak kecil karena dulu sering saya tonton setiap hari Minggu di TVRI. Kisah-kisahnya yang sederhana, sarat akan pesan moral seperti toleransi, saling menghormati, dan hidup harmonis dalam masyarakat.

Selain itu, saya juga melihat ada boneka Sigale-gale dari Tanah Batak. Tahun 2011, saya sempat mampir ke tempat asal Sigale-gale di Pulau Samosir, Sumatera Utara. Boneka yang awalnya diciptakan untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan saudaranya yang meninggal dunia ini, di tempat asalnya sekarang digunakan sebagai media atraksi pertunjukan bagi wisatawan yang berkunjung.

Tau-tau, boneka unik dari Tana Toraja juga ikut andil meramaikan koleksi museum ini. Bagi masyarakat Toraja, tau-tau digunakan sebagai simbol bagi orang yang jasadnya dimakamkan di dalam kubur batu. Tidak semua orang Toraja yang meninggal dibuatkan tau-taunya. Karena dipandang unik, banyak sekali tau-tau yang dicuri dari kubur batu dan dijual ke penadah atau kolektor. Makanya, saat ini, tau-tau yang ada di dekat kubur batu akan diberi kerangkeng supaya tidak dicuri. 

Boneka-boneka dari luar negeri menurut saya kesannya kalau tidak horor ya bikin illfill. Boneka China menurut saya wajahnya seram. Apalagi boneka India yang wujudnya bapak-bapak gendut botak dan sudah tua, jauh dari kesan cantik seperti lirik lagu dangdut yang dilantunkan oleh Elya Kadam. Representasi boneka cantik justru saya dapat dari boneka Rusia. Bentuknya imut. Meski bedaknya tebal, tapi tidak sampai menor seperti boneka Barbie.

.: [Bukan dari India] Boneka Cantik dari Rusia :.

Selain menikmati koleksi wayang, topeng, gamelan, dan boneka-boneka, salah satu sudut yang menjadi favorit saya di Museum Wayang adalah taman mungil di dalam museum. Kesan 'tua' dan klasik langsung terasa saat masuk di area ini. Sudut inilah yang masih menyisakan bukti bahwa kawasan ini dulunya pernah berdiri sebuah gereja. Melihat dinding batu bata tua berderet rapi bertatah bahasa aneh (Bahasa Belanda sih sebenarnya), imajinasi saya langsung teringat pada halaman belakang sebuah penginapan dan bar sihir dalam dunia Harry Potter, The Leaky Couldron. Saya kerap membayangkan menemukan jalan ke bagian lain di dunia dengan menekan sebuah batu bata, yang bisa ditemukan dengan menghitung tiga bata ke atas dan dua bata menyamping, sebanyak tiga kali. Iya, saya memang gila, kebanyakan nonton film sih hehehe.   

.: [Jejak Penguasa] Jan Pieterzoon Coen :.

Di dinding taman mungil di dalam museum ini terpahat setidaknya 9 buah prasasti atau batu nisan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang dulunya dimakamkan di halaman gereja. Dari 9 nama tersebut, mungkin hanya 2 yang familiar di telinga saya. Jan Pieterszoon Coen, Gubenur Jenderal Hindia Belanda pertama ini berhasil merebut Sunda Kelapa dari kekuasaan Pangeran Jayakarta pada 30 Mei 1619. Sesuai dengan instruksi dari Raja Heeren XVII, Coen mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Batavia dan membangunnya serupa tiruan kota-kota di Belanda. Nisannya serupa 'papan nama' saja di dinding. Tak tampak kalau itu sebuah nisan.

.: Nisan Gustaaf Willem Baron van Imhoff :.
Nisan kedua yang saya kenal adalah nisan pengganti Coen sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Gustaff Willem Baron van Imhoff sebagai pemilik Toko Merah di Jalan Kali Besar Barat ini dari dulu sangat menarik perhatian saya. Saya ingin menziarahi nisannya untuk mencari informasi pelengkap sehubungan dengan perannya sebagai orang nomor satu di Hindia Belanda. Karena kegemarannya 'jalan-jalan' dan leyeh-leyehlah yang menginspirasinya mendirikan tempat tetirah seperti Istana Buitenzorg dan Istana Cipanas yang sekarang dijadikan Istana Kepresidenan Republik Indonesia.

Melalui lorong-lorongnya yang seperti sebuah gang sempit saya diantarkan kembali ke jalan keluar yang bersebelahan di pintu masuk tadi. Sebelum keluar, saya menyempatkan diri mengunjungi toko suvenir yang menjual cenderamata berupa wayang dalam bentuk mini seperti gantungan kunci, stiker, dan pembatas buku. Setidaknya, dari kunjungan ke sini, saya dapat inspirasi barang oleh-oleh yang 'sangat Indonesia' untuk dibagikan sebagai media promosi pariwisata Indonesia. Setelah mendapat barang yang cocok untuk menghadiahi diri sendiri, saya pun melangkah ringan, bergumul kembali di Taman Fatahillah yang sesak oleh pengunjung.

4 komentar:

  1. Wah, baru tau nih kalo ada museum isinya boneka2 gini. Thanks for sharing ya. Lain kali pengen ah kesini :D

    BalasHapus
  2. aku udah pernah nih main kesini, seru yah, jadi tau tentang perkembangan dan sejarah wayang di Indonesia :)

    didalamnya juga ada semacam ruang pertunjukan kan yah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ada semacam ruang pertunjukan, kalau pas main ke museum ini minta aja brosur atau tanya langsung saja petugasnya kapan ada jadwal pertunjukan wayang. Sepertinya jadi agenda bulanan kok. Jadi kalau rindu nonton wayang, dateng aja ke museum ini :)

      Hapus