Senin, 02 Desember 2013

Sebuah 'Perayaan' Sederhana

.: Kue Kejutan :.

Sepertinya belum lama sejak saya memutuskan untuk menulis tentang tumpeng. Tapi tak terasa, waktu, seperti yang sudah-sudah, selalu mempunyai kuasa untuk membohongi kita dan membuat sejenak terlena. Dua belas bulan genap sudah terlewatkan. Banyak sekali momen berharga yang menyelinap dan mengendap di pikiran. Banyak pula sederet perayaan dan acara syukuran yang sudah dijalankan. Orang datang dan pergi, meninggalkan jejak salam-salaman di telapak tangan. Berjuta senyuman terkembang dan tersampaikan dalam begitu banyak pergumulan. Tak habis pikir jika sederet pesta dan syukuran yang dihelat di tahun ini, terselip satu perayaan sederhana yang khusus dibuat untuk saya.

Jumat, 29 November 2013

Sejuta Rasa di Bumi Anjuk Ladang

.: Bumi Anjuk Ladang: Gemah ripah loh jinawi :.
Dikaruniai tanah yang subur membuat hamparan sawah dan ladang di Nganjuk, Jawa Timur seakan tak pernah berhenti berproduksi. Palawija dan hasil bumi mengalir sepanjang tahun memenuhi kebutuhan penduduknya. Melalui tangan-tangan kreatif para peracik bumbu dan tradisi yang diwarisi turun temurun, lahirlah bermacam-macam hidangan yang menggugah selera.

Kerajaan Dhaha Kediri sudah lama angkat kaki dari bumi Anjuk Ladang. Senasib dengan pendahulunya, Majapahit juga sudah lama melupakan palagan perangnya. Sementara itu, meski kuasa Mataram sudah dibentengi batas-batas geografis, sepertinya pengaruh kuliner masa lalu masih mengendap di daratan antara Sungai Widas dan Brantas ini.

Dalam peta gastronomi nasional, Kabupaten Nganjuk memang tak diperhitungkan. Tapi, masyarakatnya yang menyebar di seluruh penjuru negeri rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk pulang dan mengukir kenangan melalui hidangan di meja-meja kedainya. Saya yang sudah lama tidak sambang ke kampung halaman, mulai membuat daftar menu-menu andalan untuk menghibur lidah dan perut.

Minggu, 10 November 2013

One Moment in Time: My First Talkshow

.: Senang dan Deg-Degan di Atas Panggung :.

Puncak Bogor hujan deras siang itu. Setelah selesai melaksanakan sholat Jumat, saya segera bergegas menuju kamar hotel untuk berkemas setelah sepagian mengajar di ballroom. Sudah menjadi kebiasaan saya untuk tidak membawa apapun saat menuju tempat ibadah. Dompet, telepon seluler, dan jam tangan saya tanggalkan dan disimpan di dalam tas. Sesaat sebelum mengambilnya kembali dari saku dalam tas, tiba-tiba ponsel saya berkedip, tanda ada pesan masuk. Bukan pesan singkat, tapi sebuah email. Saya perlahan membukanya.

Email itu berisi undangan untuk menghadiri acara reuni akbar di kampus STAN Bintaro, institusi tempat saya pernah mengenyam pendidikan tinggi. Tadinya saya berpikir, email itu semacam undangan untuk meramaikan acara saja. Disebutkan ada talkshow dalam rangkaian acara reuni. Jika ada waktu luang dimohon datang, tapi jika ada acara pun dapat dimaklumi. Saya pun segera membalasnya bahwa saya memang ada rencana untuk datang. Pihak panitia acara sepertinya lega mendapat jawaban tersebut, yang justru membuat saya bertanya-tanya: undangan tadi mengundang saya sebagai peserta atau narasumber acara ya? 

Sabtu, 03 Agustus 2013

[7Wonders] Menjarah Sarang Naga

.: Komodo: Sang Raja Naga :.
Dangerously beautiful. Saya tak tahu padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Tapi itulah kesan yang saya rasakan saat pertama kali berjumpa dengan binatang purba kebanggaan bangsa ini.

Dalam definisi kolektif pikiran saya saat masih kecil, komodo (Varanus komodoensis) tak ubahnya seperti naga yang diceritakan dalam dongeng: bentuk kepala menyerupai ular, lidar bercabang yang selalu terjulur, berkulit kasar disertai cakar, dan mempunyai hidung mirip celah dengan nafas api. Mungkin definisi terakhir lebih cocok disandingkan dengan naga-naga dari luar negeri sebagaimana konsep naga yang diusung dalam kisah Harry Potter, trilogi The Lord of The Rings, dan Eragon. Beranjak besar, konsep 'iman' saya terhadap naga berubah total sejak kenal komodo dari gambar di salah satu sisi uang logam rupiah senilai Rp. 50,- tahun emisi 1991 yang biasa menjadi bekal uang saku saat SD. Bagi saya, naga di dunia ini paling nyata, justru bersembunyi di dalam negeri sendiri. Sejak itulah saya bertekad jika suatu saat harus menginjakkan kaki di sarangnya untuk melihat langsung.

* * *

Rabu, 31 Juli 2013

Mantunu: Sebuah Kemeriahan Pesta dalam Duka

"Di keheningan tanah subur tengah pegunungan, di antara tebing-tebing batu tempat jenazah dikebumikan, di sebuah desa sederhana yang jauh dari hiruk-pikuk ketamakan kota, sebuah pesta meriah berlangsung sebagai pengantar menuju alam baka."

.: Mantunu: Ritual Potong Kerbau dalam Upacara Rambu Solo, Tana Toraja :.

Pagi baru saja dimulai di Rantepao, Toraja Utara. Tapi Pak Andriana, orang pertama yang saya tanyai tentang tempat persewaan motor, sudah siap menyambut saya dengan serangkaian acara adat yang berlangsung hari itu. Mantunu - atau hari pengorbanan kerbau, yang termasuk dalam rangkaian upacara pemakaman Rambu Solo', akan digelar pagi itu di Desa Nonongan, Kecamatan Sopai, Toraja Utara. Ritual ini dilakukan sebagai bentuk persiapan mengantar jenazah ke banuang tangmerambu - atau rumah tanpa asap yaitu makam. 

Kamis, 06 Juni 2013

Menikmati Jakarta dari Ketinggian

Hampir satu dekade saya menghirup udara ibukota. Sebelumnya, tak terbayangkan saya akan betah untuk tinggal dan menetap di sini. Membayangkan terkena macet, banjir, dan polusi seolah menjadi momok setiap pendatang. Belum lagi masalah kriminalitas. Berangkat dari niatan untuk menimba ilmu, berlanjut mencari penghidupan, dan akhirnya bergelut di dalamnya. Hampir setiap sudutnya sudah saya jelajahi. Banyak tempat juga pernah saya tinggali. Jakarta yang megah memang menawarkan sejuta harapan, kesenangan, dan hiburan. Namun demikian, selain kesenangan dan sekelumit kebahagiaan, saya juga pernah mengalami ketidakramahan yang mengintai ibukota ini.
 
Bosan mengunjungi objek wisata yang bahkan sudah sering saya kunjungi waktu kecil dan seringnya menikmati atraksi wisata yang dihelat di ibukota membuat saya memutar kepala mencari alternatif lain cara menikmati ibukota yang agak tidak biasa. Dulu, saat masih berkantor di Wisma 76, untuk mengusir penat, saya kerap menuju ke parkiran di lantai paling atas hanya untuk mencari udara segar. Hembusan angin kencang dan pemandangan rimbun gedung yang berlomba tinggi-tinggian seolah sanggup mengusir sejenak rasa penat yang disematkan radiasi monitor komputer.  

Berangkat dari ide serupa, saya mencoba mengulangi kenikmatan lama tersebut dengan menikmati lagi kota Jakarta dari ketinggian tertentu. Saya sengaja memilih tempat-tempat yang memang memiliki sejarah atau titik episentrum ibukota ini untuk mendapatkan medan pandang yang agak leluasa sekaligus mendapatkan reka ulang historis berdirinya republik ini. Mungkin foto-foto yang tersaji di galeri ini tak mempunyai arti banyak bagi Anda. Tapi, saya pikir, setiap foto di bawah ini memiliki impresi personal dalam kaitannya dengan jejak langkah yang pernah saya lakukan di Jakarta.

Rabu, 29 Mei 2013

Menjejak Cikal Pecinan Tangerang

.: Museum Benteng Heritage :. 
Sebagai sebuah 'kota satelit' dari wilayah ibukota Jakarta, Tangerang sebenarnya tak begitu dilirik dalam peta pariwisata tanah air. Setidaknya, tak banyak atraksi wisata yang bisa 'dijual' dan dijadikan agenda sepanjang tahun. Toponimi kota Tangerang sendiri lebih dominan sebagai kawasan pemukiman penduduk.

Namun demikian, saya tak mengira jika di sebuah gang sempit di kawasan Pasar Lama, Tangerang, terdapat sebuah museum unik bertajuk Museum Benteng Heritage. Penampakannya dari luar nyaris serupa dengan bangunan lain di sekitarnya, berupa rumah susun berlanggam Tionghoa dengan atap khasnya yang berbentuk trapesium. Saya harus banyak bertanya kepada penduduk sekitar tentang lokasi tepatnya museum ini karena gang sempit tersebut penuh sesak dengan para pedagang pasar dan warga Tionghoa yang akan berangkat sembahyang di kelenteng.

Sebuah papan peresmian yang menggantung manis di dinding depan seolah menjadi penanda bahwa bangunan tersebut merupakan sebuah museum. Melihat lantainya yang bersih, saya tak sampai hati untuk mengotorinya dengan lancang masuk ke dalam. Melihat tingkah saya yang celingak-celinguk, seorang wanita paruh baya penunggu loket menyambut saya dan mempersilakan masuk.

Selasa, 21 Mei 2013

Nonton Wayang di Dalam Gereja

.: Museum Wayang :.
Saya tak mengira jika bangunan Museum Wayang di kawasan kota tua Jakarta dulunya merupakan sebuah gereja. Pasalnya, melihat bangunan bercat putih ini, sekilas mengingatkan saya pada ruko-ruko seperti yang ada di pinggir kanal kota di negeri Belanda. Tak ada kesan sedikitpun yang menunjukkan bahwa bangunan ini adalah tempat suci untuk beribadah.

Dari lukisan lama kawasan Balai Kota Batavia yang saya lihat di Museum Bahari, di tempat yang sekarang berdiri Museum Wayang dulunya pernah ada bangunan gereja. Bentuk bangunannya mirip seperti Gereja Immanuel di Gambir, Jakarta Pusat dengan kubah blenduknya.

Gereja yang dibangun VOC tahun 1640 dan dinamai de oude Hollandsche Kerk tersebut digunakan sebagai tempat ibadah bagi penduduk sipil dan tentara Belanda yang tinggal di Batavia sampai dengan tahun 1732. Tahun berikutnya, gereja ini direnovasi dan namanya diganti menjadi de nieuwe Hollandsche Kerk. Gereja baru hasil renovasi ini eksis hingga tahun 1808 yang akhirnya hancur dan rusak akibat gempa. 

Minggu, 12 Mei 2013

Bila Belanda Ingin VOC Bangkit Kembali

.: Museum Bank Mandiri :. 
Saat bertukar pengalaman jalan-jalan, saya kerap ditanya tentang mengapa suka sekali berkunjung ke museum. Apa nikmatnya memandangi bangunan dan artefak kuno yang bahkan sudah ada sejak saya belum menghirup udara dunia. Saya kerap susah menjawabnya. Paling tidak, saya tak punya jawaban pasti.

Ada kalanya saya memang niat datang ke museum untuk 'belajar' di sana. Mengagumi kemegahan arsitektur suatu bangunan dan membayangkan betapa hiruk pikuknya sebuah bangunan tersebut saat masih digunakan di masa silam. Saya juga merasakan kenikmatan untuk mereka-reka dan mencocok-cocokkan suatu benda bersejarah dengan ingatan (minim saya) tentang informasi yang disematkan guru sejarah di bangku sekolah.

Ada masanya pula saya datang ke museum hanya untuk sekedar mampir, leyeh-leyeh, numpang sholat, atau malah berteduh sejenak dari udara panas. Yang jelas, dalam setiap kunjungan ke museum, saya hampir tak pernah alpa untuk foto-foto. Seperti halnya yang kerap saya lakukan di Museum Bank Mandiri, Jakarta Barat.

Minggu, 05 Mei 2013

Museum Bahari: Rekam Jejak Kekayaan Rempah-Rempah dan Kejayaan Bahari Nusantara

.: Bekas Gudang Rempah-Rempah :.
Macet, panas, dan hembusan angin basah dari laut yang membuat gerah adalah beberapa hal yang sering digunakan untuk mendeskrepsikan Jakarta sebagai kota yang sudah tak layak dihuni. Apalagi sampai dijadikan destinasi favorit tujuan liburan. Tapi bagi saya, Jakarta selalu menarik untuk dinikmati dan mempunyai magnet yang membius dalam segala ketidaknyamanannya. Salah satu favorit saya adalah menghabiskan waktu akhir pekan ke kawasan kota tua Jakarta yang melegenda.

Berkali-kali ke kawasan kota tua Jakarta dan menikmati museum serta bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial Belanda tak serta merta membuat saya menjadi sering mengunjungi Museum Bahari di kawasan Pasar Ikan, Jakarta Barat ini. Maklum saja, meski terletak dalam satu kawasan besar yang dulu disebut Oud Batavia, Museum Bahari saat ini terletak agak jauh dari kawasan 'mainstream' kota tua Jakarta yang berpusat di Taman Fatahillah.

Minggu, 21 April 2013

'Jaga' Malam di Istana Bogor

.: Istana Bogor menjelang malam :.
Bukan untuk pertama kalinya saya bertandang ke Istana Bogor. Tapi, dalam setiap kesempatan saya berada di istana ini, selalu saat pagi hari atau siang hari. Belum pernah saat malam. Saya biasa berceloteh di twitter tentang apa rasanya berada di istana kepresidenan saat malam. Tapi belum pernah benar-benar merasakannya. Jadi, begitu ada ajakan untuk 'main' ke Istana Bogor saat malam hari, langsung saja saya setuju untuk bergabung.

Saya sampai di kantor Sekretariat Istana Bogor saat matahari sudah bersiap istirahat. Gerimis ringan turut mengiringi kedatangan saya saat berlari-lari kecil menuju Gedung Induk. Lampu-lampu istana sudah menyala terang sejak tadi. Siluet patung-patung mengundang untuk dilirik sekaligus membuat bulu kuduk sedikit berdiri. Pasti hawa dingin yang menyelusup akibat baju basah yang menjadi katalisnya. Rusa-rusa tutul yang dari dulu sudah menarik hati saya sejak pertama kali menginjak Bogor seperti mengundang untuk digoda. Mereka sedang santai menikmati menu makan malamnya sebelum waktu tidur benar-benar tiba. 

Minggu, 14 April 2013

Tetirah di Istana Cipanas

.: Istana Kepresidenan Cipanas :.
Tersohor dengan keberadaan sumber air hangatnya, Cipanas yang berhawa sejuk mengoleksi satu dari enam istana kepresidenan yang dimiliki Indonesia. Bangunan yang berdiri kokoh di kaki Gunung Gede ini memang sejak awal berdirinya ditujukan sebagai tempat tetirah bagi Gubernur Jenderal VOC, bukan gedung pemerintahan atau rumah dinas layaknya Istana Merdeka atau Istana Bogor.

Menempati areal seluas kurang lebih 26 hektar yang dulu dimiliki oleh seorang tuan tanah Belanda bernama Van Heots, lagi-lagi saya dibuat terpesona dengan buah ide Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff yang tampaknya gemar membangun istana. Meski ukurannya relatif mungil dibanding istana kepresidenan lainnya, Istana Cipanas terlihat anggun dan tidak kaku untuk ukuran sebuah rumah peristirahatan kepala negera. Hal ini mungkin karena konstruksi bangunannya yang sebagian besar dari kayu. Gaya dasarnya mengadopsi bentuk rumah musim panas Eropa dengan sedikit sentuhan arsitektur tropis yang menonjolkan nuansa Sunda sehingga memberi kesan hangat dan teduh. Itulah yang membuat saya sejak dulu menunggu-nunggu kesempatan 'bertugas' ke istana ini.  

Jumat, 05 April 2013

Perayaan Meriah di Kepulauan Rempah-Rempah

Tulisan ini diikutkan dalam "Jailolo, I'm Coming!" Blog Contest yang diselenggarakan oleh Wego Indonesia dan Festival Teluk Jailolo.

Sebagai seseorang yang lahir di daerah pegunungan dan hidup di wilayah barat, hanya ada satu kata yang sanggup mendefinisikan Indonesia bagian Timur: jauh. Segala informasi yang terkait dengannya bagaikan dogma dari televisi dan produk informasi sejenis. Bahkan, keharuman aroma rempah-rempahnya hanya tercium dari lembaran teks buku sejarah di bangku sekolah.

Tersohor sebagai negeri penghasil rempah, Maluku seakan sanggup menghipnotis para penjelajah ulung dari berbagai belahan dunia untuk berlabuh dan menjadi bagian dari ekspedisinya. Tak heran, nama Alfonso D'albuquerque begitu terkenalnya hingga diabadikan dalam catatan sejarah sebagai tonggak kedatangan bangsa kolonial di nusantara.

Jumat, 22 Maret 2013

Piknik Bareng Keluarga

Setelah sekian lama :'(
Piknik. Betapa jadulnya kata ini setelah dunia jalan-jalan tambah riuh dan dipenuhi dengan istilah-istilah traveling yang lebih 'keren' dan mutakhir. Piknik bagi saya selalu saja dekat dengan istilah jalan-jalan bareng keluarga. Ngomong-ngomong, kapan sih terakhir kali Anda berlibur bareng orang tua? Kalau susah mengingatnya, berarti sama. Kebanyakan, saat sudah dewasa, orang lebih suka jalan sendiri atau jalan bareng teman-temannya. Mungkin karena kesibukan masing-masing, sudah bertempat tinggal jauh dari orang tua, atau malah sudah setiap hari ketemu, jadi tidak merasa perlu untuk jalan-jalan bareng.

Ceritanya, karena setahun kemarin jarang pulang, menabunglah saya stok tiket pesawat untuk libur panjang karena cuti bersama. Selesai liburan Idul Adha, saya bilang ke bapak kalau liburan selanjutnya saya pengen banget jalan ke Gunung Kelud biar tidak bosen cuma duduk-duduk bengong aja di rumah. Eh, ibu saya nimbrung dan bilang kalau kakak saya juga mau ke Kelud. Lalu saya mengusulkan, kenapa gak sekalian saja kita liburan bareng serumah. Lagian, sudah lama juga kan tidak liburan bareng sejak saya lulus SD.

Kamis, 14 Februari 2013

Mampir Sejenak di Meuligo Aceh

.: Meuligo: Pendopo Gubernur Aceh :.

Saya tak tahu kalau bangunan megah ini adalah tempat tinggal Gubernur Aceh. Begitu mendarat di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, mata saya tertuju pada papan pengumuman yang menunjukkan peta lokasi objek wisata yang wajib dikunjungi selama di Aceh. Dan salah satunya adalah Meuligo (Mahligai) Aceh ini.

Sekilas bangunan ini mengingatkan saya pada Istana Kepresidenan Cipanas. Rumah mungil dengan desain mengadopsi gaya rumah musim panas Eropa dengan akulturasi rumah Aceh ini dibangun dan ditempati pertama kali oleh Letnan Jenderal Karel van der Heijden pada tahun 1880.

Selasa, 01 Januari 2013

Menjemput Mentari di Pantai Sumur Tiga

sauh terakhir

Banyak orang bilang kalau Pantai Sumur Tiga di Sabang, Pulau Weh merupakan salah satu tempat terbaik di bumi pertiwi yang menawarkan pemandangan matahari terbit. Terbius rumor tersebut, saya memutuskan untuk menginap semalam di Freddie's Santai Sumur Tiga. Tak ingin kehilangan kesempatan menyaksikan momen langka yang tak dapat saya nikmati setiap hari, saya memutuskan untuk langsung menuju pantai setelah sholat subuh usai. Waktu seakan lebih lebih lambat. Saya baru menyadari belakangan karena Pulau Weh yang masuk dalam Provinsi Aceh ini merupakan tempat terakhir di Indonesia yang mengalami pagi sekaligus paling akhir menggapai malam.

Pantai Sumur Tiga dengan ombaknya yang tenang seakan meninabobokan seluruh penghuni penginapan. Terbukti dengan tak ada satupun pengunjung yang beranjak dari kamar masing-masing, selain saya untuk menjemput kelahiran hari. Tidak juga Tuan Freddie yang ramah, si empunya penginapan. Hidup sepertinya terlalu berharga buat mereka sehingga tak perlu terburu-buru menghabisi waktu.