Jumat, 22 Maret 2013

Piknik Bareng Keluarga

Setelah sekian lama :'(
Piknik. Betapa jadulnya kata ini setelah dunia jalan-jalan tambah riuh dan dipenuhi dengan istilah-istilah traveling yang lebih 'keren' dan mutakhir. Piknik bagi saya selalu saja dekat dengan istilah jalan-jalan bareng keluarga. Ngomong-ngomong, kapan sih terakhir kali Anda berlibur bareng orang tua? Kalau susah mengingatnya, berarti sama. Kebanyakan, saat sudah dewasa, orang lebih suka jalan sendiri atau jalan bareng teman-temannya. Mungkin karena kesibukan masing-masing, sudah bertempat tinggal jauh dari orang tua, atau malah sudah setiap hari ketemu, jadi tidak merasa perlu untuk jalan-jalan bareng.

Ceritanya, karena setahun kemarin jarang pulang, menabunglah saya stok tiket pesawat untuk libur panjang karena cuti bersama. Selesai liburan Idul Adha, saya bilang ke bapak kalau liburan selanjutnya saya pengen banget jalan ke Gunung Kelud biar tidak bosen cuma duduk-duduk bengong aja di rumah. Eh, ibu saya nimbrung dan bilang kalau kakak saya juga mau ke Kelud. Lalu saya mengusulkan, kenapa gak sekalian saja kita liburan bareng serumah. Lagian, sudah lama juga kan tidak liburan bareng sejak saya lulus SD.

Saya kontak nomor kakak saya, bikin itinerary singkat mau ke mana aja, dan menggeret keluarga sepupu saya untuk meramaikan suasana. Beres. Begitu hari H, kembalilah ingatan masa kecil saat dulu mau piknik bareng: malamnya saya dilarang begadang nonton tv agar besoknya tidak kesiangan, paginya saya disuruh buru-buru mandi biar tidak telat dari jadwal yang ditentukan, terus dipesen juga agar makannya tidak banyak-banyak biar gak tiba-tiba kebelet. Duh, jadi bayi lagi deh. Dan begitu sudah jam 7 pagi, tante saya telepon kalau sepupu saya baru aja bangun. Duaaar.

Tapi, jalan-jalan ini memang niatnya untuk santai. Rutenya pun mirip dengan itenerary piknik anak-anak SD di daerah saya. Hanya saja, karena estimasi waktu, akhirnya beberapa tempat sengaja saya coret dan dialihkan ke tempat lainnya yang belum pernah didatangi. Pertama, sembari sarapan pagi, kita duduk-duduk manis di Simpang Lima Gumul, Kediri, yang belakangan jadi populer dengan bangunan megahnya yang serupa Arc de Triomphe de I'Etoile di Paris, yang menjulang di tengah persimpangan jalan.

Eh, untung tante saya bawa makanan enak, jadi lumayan terjamin acara sarapan pagi ini. Sebenarnya sudah lama saya pengen jalan-jalan ke Simpang Lima Gumul. Tapi karena sibuk melulu dan jadwalnya yang tidak cocok dengan yang lain, alhasil baru kali ini bisa jalan barengan.

Desain Simpang Lima ini cukup megah jika dibandingkan dengan bangunan terdekat di sekitarnya yang mayoritas masih berupa lahan pertanian. Ada semacam relief-relief yang mengusung cerita rakyat. Posisinya yang berada di tengah persimpangan jalan mengingatkan saya pada Monumen Nasional di Jakarta yang ada terowongan bawah tanahnya dari tempat parkir menuju lokasi bangunan. Karena ke sininya hari Minggu, spot-spot menarik yang cantik saat diambil potretnya sudah dikuasai oleh rombongan piknik ibu-ibu pengajian. Deuh.

Di kompleks Makam Bung Karno - Blitar

Setelah cukup mengambil foto bersama (plus saya ambil foto gila sendirian, ups, tetep :P), saatnya melanjutkan perjalanan ke tempat kedua. Sedianya, setelah dari Simpang Lima, saya mengusulkan untuk mampir dulu ke rumah Eyang. Jadi, eyang-eyang yang masih ada itu tinggal satu orang yang dari saudaranya nenek saya. Makanya, karena lebaran sebelumnya kita semua tidak sempat silaturahmi ke rumah eyang, jadinya kali ini saja disempatkan mampir. Eh tidak taunya, rumah eyang kosong melompong. Selidik punya selidik dari facebook salah satu tante saya, si eyang dan keluarga besarnya sedang liburan ke Jogja. Ah, memang semua orang butuh liburan.

Ya sudah, waktunya ke Gunung Kelud sesuai rencana semula. Perjalanan ke Kelud terbilang tidak terlalu berat karena jalanan memang sudah beraspal mulus. Memori saya seperti diputar ulang menyaksikan kebun nanas di kanan kiri jalan berjajar rapi seperti dulu saat saya lewat jalan ini.
 
gaya dadah2 begitu adalah gaya saya foto waktu kecil lho :P
Cukup naik mobil 30 menit dari rumah eyang, Puncak Kelud sudah terpampang di depan mata. Meski siang, kabut tipis masih menyelimuti puncak gunung. Sepertinya memang akan segera turun hujan. Untunglah, setiap kali jalan, di tas kecil yang saya bawa selalu ada payung kecil sekadar untuk jaga-jaga. Jadi tak terlalu khawatir. Justru yang sering khawatir adalah kedua orang tua saya karena baru pertama kalinya setelah sekian lama tidak pernah jalan bareng, begitu kesampaian jalan bareng, sayanya malah sering ilang-ilangan dari rombongan karena sibuk sendiri mengambil foto yang bagus dengan mendaki ke puncak tertinggi melalui ratusan anak tangga dan lari ke sana-ke mari untuk mengejar spot menarik untuk difoto sebelum keduluan orang dan sebelum hujan turun dengan derasnya.

Gunung Kelud ini memang sangat fenomenal, setidaknya bagi keluarga eyang saya itu. Saya masih ingat, dulu alm. nenek pernah bilang kalau beliau melihat langit berubah kelabu pekat saat Kelud meletus tahun 1990. Di tahun itu pula, eyang yang mau saya datangi rumahnya sedang patah tulang kaki akibat jatuh dari atap karena membersihkan abu. Jejak-jejak letusan gunung memang masih terlihat jelas di sini. Kelud meletus terakhir kali tahun 2007 yang menyebabkan ada genangan air seperti danau berwarna hijau. Saat ini, danau tersebut telah lenyap karena dari dalamnya menyembul anak gunung yang disebut Anak Gunung Kelud. Munculnya Anak Gunung Kelud dari dalam danau itu sepertinya yang menjadi pemicu Gunung Kelud tidur sejenak dari aktivitas erupsi.

Dari Gunung Kelud, tujuan selanjutnya kita arahkan ke makam Proklamator Republik Indonesia, Bung Karno. Hal ini sekalian nostalgia dengan idola bapak saya sejak dulu, sampai-sampai koleksi bukunya yang karangan Soekarno banyak banget.

Banyak perubahan berarti yang terjadi di kompleks pemakaman ini. Sekarang makam Bung Karno sudah dibuka dari pelindung ruangan kaca. Kalau dulu, tidak sembarang orang bisa ziarah dengan duduk bersila di dekat nisannya. Mungkin sudah kembali seperti fitrahnya, bahwa Bung Karno itu pada dasarnya dekat dengan rakyatnya. Hanya saja, saya agak kurang setuju saat ada petugas yang menyediakan jasa untuk melakukan pemotretan di depan nisannya, seolah-olah nisan tersebut dianggap sebagai properti atau prasasti iconic suatu daerah. Tapi saya juga foto-foto ding :P

Liburan (keluarga) ke Yogya, yeay :)
Selesai berziarah ke Makam Bung Karno, saya mengusulkan untuk main-main sebentar ke kompleks Candi Penataran. Saya sih sebenarnya hanya ingin menikmati lebih seksama saja tentang candi ini. Pasalnya, tiap kali ke Penataran, cuma datang sambil lalu saja. Tak pernah benar-benar melihat dan belajar dari candi yang dibangun pada masa kerajaan Majapahit ini.

Pada kunjungan kali ini, saya banyak membaca cerita-cerita rakyat yang dulu dipakai bapak mendongeng sebelum tidur yang ternyata terpahat dengan apik di dinding candi utama kompleks Candi Penataran. Saya juga menikmati pahatan relief hewan di tempat petirtaan (sekarang jadi kolam ikan) yang dulu sempat digunakan sebagai setting sinetron laga produksi TVRI berjudul Ampak-Ampak Singgelopuro yang dibintangi Ria Enes-nya boneka Susan. (duh, gue udah tuwir :'( ).

Sepulang dari jalan-jalan bareng ini, saya langsung teringat dengan kenangan jalan-jalan yang dulu awal mula saya lakukan. Saya buka album foto di lemari untuk membantu mengembalikan memori yang kabur diselimuti jarak waktu. Jauh sebelum saya kenal bangku sekolah, saya sudah diajari baca tulis dan melahap buku cerita bergambar. Sebagai bonusnya jika menurut dan tidak nakal (iya gue emang nakal sedari kecil, sekarang yang kenal saya pasti ketawa setan. tega lo emang :P), saya akan diajak jalan-jalan ke suatu tempat yang ada di cerita dengan cara backpacking. Dulu sih belum ada istilah canggih begitu. Sekarang saja orang tua saya juga tidak kenal dengan istilah-istilah praktis dalam dunia jalan-jalan saat ini.

belajar backpacking
Meski terhitung tidak terlalu jauh, tapi untuk ukuran gaji seorang pegawai negeri kala itu, bisa jalan-jalan seperti ini nabungnya sudah membanting tulang dan mengatur biaya hidup sangat cermat: sebuah pola pikir yang saya terapkan dari bapak sampai saat ini agar bisa jalan-jalan tanpa mengganggu biaya kebutuhan hidup sehari-hari.

Dari dulu sih saya senang-senang saja diajak naik kereta ekonomi, menginap di hotel melati, diajak naik dokar ke Borobudur, naik bus ekonomi ke Candi Prambanan, dan keliling kota Yogyakarta. Setelah besar, saya selidiki foto-foto lama, ternyata saat di Yogyakarta, saya dan keluarga menginap di salah satu hotel melati di kawasan Sarkem (Pasar Kembang). Dulu belum tahu kalau kawasan itu kawasan 'wisata rohani', jadi cuek saja check in ke penginapan yang harganya cocok di kantong. Waktu itu saya masih inget pernah protes karena disuruh mandi saat subuh. Gila banget, saya masih balita tapi disuruh ikut pola jalan-jalan orang gedhe agar bisa menikmati Candi Borobudur saat belum ramai wisatawan. Meski harus dipenuhi drama tangisan meraung-raung, akhirnya menurut juga karena diiming-imingi akan sering difoto di candi kalau tidak rewel. Yihaaa.

Sambhara Budura di Candi Budha - Borobudur

Halo bro, gue udah bolak-balik ke Borobudur ni bro :P

Dan demi Tuhan, setelah melihat album foto-foto lama, saya menyadari banyak hal yang telah berubah baik diri saya maupun kakak saya. Perubahan paling mencolok mungkin adalah masalah gaya saat berada di depan kamera. Setelah lulus SD dan banyak melanglang buana ke sana-ke mari, saya akhirnya punya referensi gaya berfoto yang tidak monoton, mulai gaya lompat, gaya jari V, gaya chibi-chibi, yang sudah sangat mainstream, sampai dengan gaya kayang dan pose ala foto model.

Coba bandingkan saja foto-foto di atas. Gaya dadah-dadah sepertinya sudah menjadi tren sejak saya masih balita sehingga setiap kali difoto hampir selalu bergaya seperti itu untuk menampakkan wajah ceria. Eh, begitu udah gedhe (eh, gue masih dihitung remaja sih, ups :P), saya bandingkan dengan foto jalan-jalan yang baru saja saya lakukan, gaya foto dadah-dadah masih digunakan oleh kakak saya. Duaaar. Begitu out of pose kan?

Over all, saya senang sekali sih bisa jalan-jalan bareng seperti dulu lagi. Sepertinya hal-hal seperti ini akan saya jadwalkan secara rutin setiap tahun. Soalnya, saya pikir, kenangan jalan-jalan bareng keluarga itu sangat mahal nilainya karena tidak setiap hari bisa merasakannya. Mungkin, untuk jalan-jalan selanjutnya, saya akan mengusulkan untuk main-main ke Yogyakarta lagi untuk mengenang saat awal-awal memulai kebiasaan jalan-jalan murah seperti dulu. Tapi, kalaupun menginap di losmen murah meriah lagi, saya akan memastikan tempat itu bukan Sarkem lagi. (Bukan apa-apa, saya cuma takut kena razia. Lho?). Semoga bisa terlaksana dalam waktu dekat. Makanya, saya selalu pasang foto keluarga di dekat meja kerja agar selalu semangat bekerja biar bisa jalan-jalan bareng lagi. Makanya, biar balance dengan kehidupan traveling pribadi, tidak ada salahnya lho piknik bareng keluarga mengulang kenangan waktu kecil. Selamat jalan-jalan semuanya. :)

2 komentar:

  1. Jadi inget liburan keluarga waktu gw kecil, demen nya ke malang. Hampir tipa 6 bulan sekali selalu ke malang ampe bosen hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. wow ... Malang. Kangen dengan Pujon dan beli sayuran di pasarnya :'(

      Hapus