Jumat, 05 April 2013

Perayaan Meriah di Kepulauan Rempah-Rempah

Tulisan ini diikutkan dalam "Jailolo, I'm Coming!" Blog Contest yang diselenggarakan oleh Wego Indonesia dan Festival Teluk Jailolo.

Sebagai seseorang yang lahir di daerah pegunungan dan hidup di wilayah barat, hanya ada satu kata yang sanggup mendefinisikan Indonesia bagian Timur: jauh. Segala informasi yang terkait dengannya bagaikan dogma dari televisi dan produk informasi sejenis. Bahkan, keharuman aroma rempah-rempahnya hanya tercium dari lembaran teks buku sejarah di bangku sekolah.

Tersohor sebagai negeri penghasil rempah, Maluku seakan sanggup menghipnotis para penjelajah ulung dari berbagai belahan dunia untuk berlabuh dan menjadi bagian dari ekspedisinya. Tak heran, nama Alfonso D'albuquerque begitu terkenalnya hingga diabadikan dalam catatan sejarah sebagai tonggak kedatangan bangsa kolonial di nusantara.

Bumi Jailolo dari atas Desa Lolori. Foto dipinjam dari sini

Dari dulu, saya penasaran ingin tahu tentang apa yang membuat rempah-rempah dari Maluku begitu istimewa dibanding dari daerah lainnya hingga orang-orang asing di masa lampau berlomba-lomba untuk menaklukkannya. Memang, merunut sejarah ratusan tahun bukan perkara mudah. Tapi saya rasa Festival Teluk Jailolo dapat membantu merangkum dan menjabarkan sejarah rempah dan pengaruhnya dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan, terutama masyarakat Jailolo dan sekitarnya, serta membuat apa yang dulunya hanya merupakan 'dongeng' untuk anak sekolahan di Jawa sebagaimana saya alami bukan lagi sekadar 'mitos'.

Saya pikir, belajar sejarah rempah dalam kemasan sebuah perhelatan festival yang meriah merupakan cara yang lebih asyik untuk diikuti. Tak sabar rasanya menikmati suguhan tarian Cakalele dan Saradabidabi tersaji apik dalam latar Jailolo yang dipenuhi perahu replika hasil laut dan alam Jailolo yang mengundang decak kagum.

Selain itu, apa yang lebih menarik dalam mempelajari pengaruh rempah dalam kehidupan masyarakatnya selain merunut dan mencicipi tradisi kulinernya sembari berbaur dengan penduduk setempat? Masyarakat Jailolo yang terkenal gemar mengunyah dan memiliki lima jam makan sepertinya menawarkan pilihan menu yang sangat beragam.

Mungkin saya tak punya kesempatan sebanyak itu. Tapi, dari informasi yang saya peroleh, di Rumah Sasadu biasa diadakan Sa'ai Lamo (makan-makan besar) sebagai bentuk syukuran atas hasil panen. Apalagi tahun ini ada acara Sasadu on The Sea, yang saya yakin akan menawarkan pengalaman kuliner istimewa. Selain papeda dan kuah asamnya yang populer, liur saya sampai menetes membayangkan nasi cala hangat yang baru dikeluarkan dari bilah bambu dan disajikan dengan nyao (cacahan cakalang), ikan suru serta uke (bihun campur irisan sayur) yang akan ditutup dengan segelas saguer (air sadapan pohon enau).

Sajian yang mengundang liur. Foto dipinjam dari sini

Melihat alam Jailolo yang menawan dipadu sajian unik tradisi masyarakatnya dalam bentuk seni tari dan musik, kerajinan tangan, kuliner yang memanjakan lidah, serta sejarahnya yang panjang melalui peninggalan masa lalu seakan merupakan paket komplit yang dapat ditawarkan untuk menempatkan Jailolo dalam daftar wajib kunjung sebuah destinasi wisata di Indonesia. Saya pikir, tak ada yang lebih mujarab untuk membuat orang berbondong-bondong datang ke Jailolo selain mengabarkan bahwa tempat tersebut menawarkan sesuatu yang menyenangkan dan mengenyangkan serta memanjakan panca indera dan perut dalam sebuah liputan ekslusif di berbagai media sosial baik blog, facebook, twitter, kaskus, e-book, youtube, maupun tulisan di surat kabar, majalah, dan buku. Saya jadi makin tak sabar untuk datang dan berfoto di depan spanduk selamat datang berbunyi Sube Se Salam, Ngon Hado Rai Ma Toma Halbar. Selamat berkunjung ke Halmahera Barat.

2 komentar:

  1. Wow, nice posting! mudah-mudahan kesampean ya ke Jailolo, ditunggu cerita selanjutnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaaah, terima kasih Bang udah mampir. Gak nyangka ada yang baca juga hehehe. Amin. Semoga kesampaian beneran :)



      Hapus