.: Bumi Anjuk Ladang: Gemah ripah loh jinawi :. |
Kerajaan Dhaha Kediri sudah lama angkat kaki dari bumi Anjuk Ladang. Senasib dengan pendahulunya, Majapahit juga sudah lama melupakan palagan perangnya. Sementara itu, meski kuasa Mataram sudah dibentengi batas-batas geografis, sepertinya pengaruh kuliner masa lalu masih mengendap di daratan antara Sungai Widas dan Brantas ini.
Dalam peta gastronomi nasional, Kabupaten Nganjuk memang tak diperhitungkan. Tapi, masyarakatnya yang menyebar di seluruh penjuru negeri rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk pulang dan mengukir kenangan melalui hidangan di meja-meja kedainya. Saya yang sudah lama tidak sambang ke kampung halaman, mulai membuat daftar menu-menu andalan untuk menghibur lidah dan perut.
Pagi seperti berjalan lambat di Nganjuk. Penduduknya memang tak perlu secekatan penghuni ibukota. Kampung ini tak mengenal kata macet, kecuali (kalau boleh dipaksakan) sepanjang jalan antarprovinsi yang kerap mendadak macet saat lebaran datang. Orang-orang kerap mengawali harinya dengan secangkir kopi atau segelas teh panas, sebatang rokok, dan sehangat selimut kain sarung. Berangkat dari nostalgia masa kecil, saya memulai petualangan kuliner hari ini dengan menyambangi Pasar Gondang.
.: Dumblek, kudapan yang nikmatnya bikin orgasme :) :. |
Sekilas, orang akan mudah mengasosiasikannya dengan dodol. Padahal jauh berbeda. Jika dodol bertekstur agak keras, sementara jenang sangat lembek, maka dumblek berada di antara keduanya: kenyalnya sangat lembut di lidah. Bungkusnya yang terbuat dari pelepah pohon pinang membuatnya tidak mudah langu serta menjadikannya bermotif gerigi saat diiris. Namun demikian, dumblek juga makanan yang termasuk manja. Makanan ini seperti membuat aturan tegas kepada pemangsanya untuk segera menghabiskannya atau membuangnya sama sekali. Untuk sebuah adonan yang selesai ditanak kemarin sore, hanya mampu bertahan hingga sore berikutnya sehingga sangat susah untuk dijadikan buah tangan.
Udara Anjuk Ladang memang tak sesejuk satu dekade silam. Pembukaan lahan baru yang diakibatkan pembabatan hutan menjadikan Nganjuk agak lebih panas. Untuk itu, saya berusaha menghindari keluar rumah saat terik. Dan hal ini membuat saya memiliki banyak alasan untuk menikmati kuliner dari dapur rumah sendiri. Seperti dikomando, ibu saya sebagai koki dengan kemampuan di atas rata-rata selalu bersedia menjadi relawan untuk menggemukkan anak-anak, para kerabat, dan tamu yang berkunjung ke rumah. Akan menjadi sebuah kepuasan tersendiri bagi ibu saya saat mampu menyuapi lebih banyak mulut dalam setiap kesempatan beliau memasak.
.: kaya dalam rasa, berani dalam bumbu :. |
Dan untuk mencukupi kebutuhan hidangan di hari istimewa saat semua kerabat berkumpul, setidaknya ada sepuluh jenis makanan tersaji di meja makan. Daftarnya akan bertambah dengan cemilan-cemilan ringan yang dimasak untuk teman minum teh.
Ayam panggang bumbu rujak, mie goreng ayam, sambal goreng kentang, telur balado, tumis buncis, dan semur tahu dengan bumbu khas yang kelihatan nyemek-nyemek merupakan beberapa favorit saya. Melihat beberapa bahan seperti bawang merah, bawah putih, serai, daun jeruk, ketumbar, merica, gula pasir, daun salam, garam, dan tomat yang dihaluskan saja sudah membuat perut saya meronta untuk segera mencicipinya.
.: Masakan ibu: nyemek-nyemek bikin liur menetes :. |
Saya tak tahu sejarahnya. Tapi, daftar menu yang saya buat di atas selalu menjadi anggota yang hadir dalam setiap perhelatan semacam acara selamatan, syukuran, bancakan, baik dalam kaitannya dengan ritual keagamaan maupun dalam acara-acara budaya seperti nyadranan dan bersih desa.
Sebenarnya, selain makanan-makanan tersebut, di waktu-waktu siang yang lain, saya menyempatkan diri untuk mengajukan menu makan siang seperti sayur asem dengan daun ketela rambat, sayur lodeh dari lompong (pelepah) talas, tempe dan tahu goreng, serta sambal terasi dengan taburan teri lembut yang digoreng ringan. Sungguh, makanan-makanan ini mampu menghadirkan kebahagiaan dan kepuasan perut yang tak mampu ditandingi oleh menu-menu yang disodorkan di meja saji restoran ibukota.
~ * * * ~
Ada bermacam-macam kuliner berbahan dasar daging kambing di kota Nganjuk: sate kambing, gule kambing, nasi goreng kambing, semur daging kambing, dan lain-lain. Tapi ada satu yang benar-benar mampu menarik hati lidah-lidah lokal dari seluruh penjuru negeri: nasi becek, semacam gulai dengan santan yang sedikit encer. Seporsi nasi becek berisi nasi putih pulen yang ditutup dengan isi perut kambing yang dicacah kasar, beberapa iris daging, dengan taburan kol, tauge renyah, dan seledri. Menu tersebut tersaji dengan siraman kuah santan encer yang gurih. Untuk menambah rasa, boleh ditambahkan sedikit kecep manis, perasan jeruk nipis, dan sedikit sambal. Konon, nasi becek terbaik bisa ditemukan di sepanjang Jalan Dr. Soetomo.
.: Nasi Becek Khas Nganjuk :. |
Ke tempat itulah saya menuju. Malam itu, saya mengamini salah satu undangan sahabat lama yang hendak bersua. Berangkat dari nostalgia yang sama, kami menyambangi salah satu kedai nasi becek ternama di Nganjuk. Kedainya kecil dengan tiga bangku panjang. Letaknya yang dekat dengan perempatan seperti mengajak main petak umpet, seolah tersembunyi di balik tudung banner kedai yang bersaing ketat dengan kepulan asap pembakaran sate.
Berkali-kali bersantap di kedai ini di masa lalu membuat saya seolah membuka kembali catatan lama. Kedai ini selalu ramai pengunjung. Peraciknya masih orang yang sama dengan orang yang meracik hidangan saat saya terakhir kali ke sini, beberapa tahun silam. Saya mengakhiri santap di kedai ini dengan segelas es teh manis.
Namun demikian, malam masih saja mengajak untuk ditemani. Kedai-kedai baru saja mulai hidup. Jalan Ahmad Yani di kota Nganjuk seakan menyublim serupa Malioboro di Yogyakarta. Warung-warung berjejer, bersaing menawarkan menu yang hampir seragam. Kendaraan dengan berbagai plat nomor, berbaris rapi. Seakan menantang kekuatan perut, saya gantian mengundang teman-teman saya untuk sejenak mencicipi kuliner yang sudah tidak asing lagi bagi lidah Jawa: nasi pecel.
.: Menu rakyat: dari kita untuk kita :. |
Nasi pecel dengan kenikmatan paripurna disajikan di Warung Mbok Sumo. Tapi, sayang sekali warung tersebut sudah lama tutup. Sepeninggal Mbok Sumo sepertinya tutup pula sejarah panjang nasi pecel yang melegenda itu. Estafet warung pecel enak kemudian diteruskan oleh warung Prasojo. Namanya sangat njawani. Meski terletak di pusat kota, saya hampir selalu harus memaksa diri untuk berbicara bahasa Jawa krama inggil setiap kali bertandang. Pemiliknya sudah hafal, pun dengan para rewangnya. Tapi, sejak hijrah ke ibukota, saya sudah lama tak menyambangi warung tersebut.
Saat ini, beragam pilihan nasi pecel berjajar rapi di sepanjang Jalan Ahmad Yani. Meski banyak orang berdebat tajam soal rasa yang ditawarkan masing-masing warung, pilihan saya hanya tertuju pada salah satunya yaitu warung nasi pecel di perempatan Winong. Namun begitu, mengikuti saran teman-teman dan dorongan untuk mencoba warung baru, saya akhirnya pasrah menjatuhkan pilihan di warung nasi pecel Mbah Ngantuk yang ada di depan kantor BCA.
.: Reuni: Serasa di Jogjakarta :. |
Warungnya kecil karena memang ada di pinggir jalan, berbagi lahan dengan gerai minimart. Tapi, begitu warung mulai buka, pengunjung akan segera menyemut. Seperti jamaknya nasi pecel, Seporsi berisi nasi putih pulen, tauge kering, sayuran-sayuran semacam daun ketela rambat, daun pepaya, kangkung, atau bayam yang direbus, kembang turi, kacang panjang, petai cina, dan (bila perlu) irisan mentimun serta beberapa potong pucuk daun kemangi. Sajian itu ditutup dengan siraman bumbu pecel dari kacang tanah dengan tingkat kepedasan sesuai selera, beberapa iris rempeyek kacang, dan kerupuk beras.
Jika lauknya dirasa kurang, beragam pilihan lauk pendamping tinggal dipilih dari pinggan-pinggan saji. Usus (ayam) goreng, ati ampela goreng, telur muda goreng, tahu tempe goreng, bakwan jagung, dan perkedel kentang.
Sajian itu ditempatkan dalam sebuah pincuk daun pisang. Saya cukup kagum dengan penggunaan selembar utuh daun pisang untuk pincuk di warung ini. Beberapa warung sudah mensubstitusinya dengan memberi lapisan koran bekas di dasarnya. Penjual nasi pecel yang ada di sudut-sudut desa malah menggunakan daun jati untuk melapisi bagian bawah dari pincuk tersebut. Pasalnya, dengan kecepatan angin 3.6 mps atau 13 km/jam yang berhembus di seantero Nganjuk, sangat jarang ditemukan daun pisang dalam keadaan utuh. Itu pula yang menempatkan Nganjuk mendapat sebutan Kota Angin.
.: Angin kencang membuat daun pisang tak pernah utuh :. |
Hal ini diamini oleh jejak sejarah di masa lalu. Pada masa kekuasaan Maharaja Balitung, berdasarkan berbagai macam alasan dan pertimbangan, Sang Raja berusaha untuk memindahkan pusat kerajaan Mataram Hindu dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Di bawah pemerintahan Maharaja Balitung (898-910) dan dua raja penggantinya yaitu Maharaja Dhaksa (910-919) dan Maharaja Tulodong (919-924), proses migrasi penduduk dari Jawa Tengah ke Jawa Timur secara intensif berlangsung. Pada masa itu pulalah, telah diasumsikan oleh para pakar sejarah bahwa di wilayah yang terbentang antara sungai Madiun dan sungai Brantas banyak tumbuh pusat-pusat pemukiman atau komunitas-komunitas desa.
Sedangkan untuk tingkat kepedasan sambal pecelnya, pecel Nganjuk lebih cenderung kepada citarasa pecel Jawa Timuran yang terpengaruh tradisi kuliner masyarakat Majapahit yang 'berani' rasa pedasnya. Namun demikian, akulturasi budaya, demografi masyarakatnya, hingga urusan makanan, menjadikan citarasa kuliner Nganjuk, khususnya sambal pecel, mempunyai rasa autentik yang seyogyanya patut diperhitungkan dalam ranah gastronomi nasional.
Keasyikan menikmati sepincuk pecel Nganjuk khas Mbah Ngantuk membuat saya juga merasa ngantuk. Obrolan singkat, pertemuan yang padat dengan beberapa orang, dan icipan beragam sajian seolah merangkum segalanya hari itu. Meski terasa singkat, namun setidaknya kepulangan ke Nganjuk kali ini membuat saya agak lebih perhatian pada menu-menu lokal yang mampu mengembalikan kenangan manis di masa lampau hingga membawa saya tenggelam dalam cerita-cerita leluhur tentang hal ihwal kuliner yang saya cicipi. Dan menikmati hidangan autentik racikan para koki lokal yang tersebar di seluruh penjuru desa di Nganjuk membuat saya mempunyai alasan kuat mengapa perjalanan mudik ke kampung halaman merupakan agenda wajib yang sayang untuk dilewatkan begitu saja, setiap tahun. []
petramaks.... :D
BalasHapusHahahaha Adib, kapan terakhir makan dumblek?
HapusEh dumlek ini mirip pudak nya gresik bukan yaaa ??? Kalo diliat dari bentuk dan tepung beras nya kok mirip.
BalasHapusIh gw jd kangen masakan nyokap, sudah lama ngak ngerasain, nyokap gw lebih milih sibuk momong cucu di bandingkan masak buat anak nya yg mudik ihik ihik
Sekilas sih sebenarnya mirip banget, banyak yang bilang mirip pudak dari Gresik, tapi sebenarnya beda. Dumblek ini lebih lembut. Sayang sekali gak tahan lama ini dumbleknya, jadi kalau pengen ngrasain musti datang ke Nganjuk hehehe :)
HapusOoooo ternyata lo udah berkembang biak ya? Hahahaha :D
wiii di Nganjuk banyak kuliner enak ya. Jadi pengen cobain nasi becek ama dumblek. Nice info :)
BalasHapusTerima kasih mbak Debby, sila datang ke Nganjuk dan menikmati kulinernya. Alam dan budayanya juga menarik lho :)
HapusSemakin bawah semakin nge-scroll yang ada malah semakin laper -__-
BalasHapusHahahaha silakan dicoba mas bro :)
Hapusmerantau kemana mas ?
BalasHapuskeliling Indonesia hehehe. Domisili sih sekarang di Jakarta :)
Hapus