Rabu, 26 September 2012

Melipir ke Pulau Cipir

Pulau Cipir yang terlupakan zaman ;'(
Pulau Cipir memang tak sengetop pulau lain yang termasuk dalam gugusan pulau bersejarah yang menjadi basis pertahanan kompeni Belanda di Kepulauan Seribu, Jakarta. Namanya seakan tenggelam dalam nama besar yang disandang oleh pulau yang menjadi 'kembaran'nya, Unrust. Ya, Pulau Cipir dari kejauhan memang tampak seperti saudara kembar dari Pulau Unrust: sepi, penuh pepohonan lebat yang meneduhkan, dan sesak oleh puing-puing bangunan tua yang dilupakan oleh zaman.

Kunjungan wisatawan ke pulau ini pun seringnya hanya selintas sambil lalu saja. Tak banyak orang yang merasa perlu untuk berlama-lama tinggal. Tak banyak pula yang mencatat dengan detil kunjungannya ke pulau ini. Padahal, Pulau Cipir tak kalah berperannya menjadi basis pertama wilayah kompeni Belanda dalam menguasai nusantara.

Awalnya pulau ini bernama Pulau Cuypier (Kuyper). Lidah lokal menyebutnya dengan Pulau Cipir. Selain itu, pulau ini juga dikenal dengan nama Pulau Kahyangan. Seperti halnya Pulau Bidadari yang saya ketahui ada tiga di Indonesia, ternyata ada dua pulau di Indonesia yang menyandang nama Kahyangan, satu Pulau Cipir ini dan satu lagi Pulau Kahyangan yang dulunya bernama Pulau Marrow (Meraux) yang ada di Makassar, Sulawesi Selatan.Namun, berbeda halnya dengan Pulau Marrow di Makassar yang berpantai pasir putih dan berair laut biru jernih sehingga sering diasosiasikan dengan kepingan surga di kahyangan sehingga disebut Pulau Kahyangan, saya masih belum paham mengapa Pulau Cipir yang jauh dari kesan indah ini disebut Pulau Kahyangan.

bekas karantina haji
Alih-alih melihat pasir putih dan air laut yang biru jernih, kita akan disuguhi dengan reruntuhan bangunan tua bekas karantina haji untuk mengakomodasi para jemaah yang tidak tertampung di Pulau Unrust. Dari papan-papan kecil penunjuk bangunan, saya ketahui bahwa Pulau Cipir digunakan sebagai barak karantina haji pada tahun 1911 hingga 1933. Tak seperti di Pulau Unrust yang bekas-bekas bangunannya kebanyakan tinggal pondasi, bangunan barak karantina haji di Pulau Cipir masih dapat diidentifikasi bentuk dan fungsinya seperti ruang pasien, barak, dan rumah sakit karena tembok-temboknya masih berdiri kokoh meski sudah tak beratap.

Setelah berkeliling pulau, saya menuju salah satu bangunan yang ada di dekat pantai timur. Serupa dengan bangunan lainnya di Pulau Cipir, bangunan ini juga tak beratap dan tak berjendela. Namun, yang membuatnya berbeda dengan bangunan lainnya, di dalam ruangan bangunan ini tidak kosong, melainkan ada semacam pondasi yang konon digunakan sebagai tempat dilakukannya eksekusi suntik mati maupun gantung diri. Pikiran saya berspekulasi, mungkin nama Kahyangan disematkan karena pulau ini menjadi pintu gerbang ke alam baka yang ada di negeri kahyangan bagi mereka yang dieksekusi mati di ruangan ini.

bukan maksud memilih nasib menjadi meriam tua dan karatan
Selain bangunan bekas barak karantina haji, di Pulau Cipir juga terdapat bekas benteng bundar besar. Bangunannya tidak seperti benteng-benteng Mortello yang ada di Pulau Kelor, Bidadari, dan Unrust, tapi berupa benteng pertahanan biasa. Keadaan temboknya yang sudah tidak utuh lagi diperparah dengan adanya vandalisme dari para pengunjung pulau yang buta mengenai benda cagar budaya. Beberapa meriam tua karatan buatan Belgia rampak teronggok seolah menegaskan bahwa di masa lampau tempat ini pernah berjaya. Konon, meriam-meriam tersebut 'ditemukan' dari dalam pasir pantainya.

Menjadi penyokong eksistensi Pulau Unrust sebagai pusat kendali pertahanan Belanda, Pulau Cipir juga kebagian beban sebagai 'gudang' untuk menyimpan barang muatan kapal yang sedang diperbaiki di Pulau Unrust. Maka, tak heran jika dulunya pulau ini penuh dengan meriam-meriam kuno. Namun demikian, ada penjualan meriam-meriam tersebut pada sekitar tahun 1960-an ke toko-toko barang antik dan pedagang besi tua, beberapa bangkai meriam tersebutlah yang masih tersisa dan seolah cukup sebagai penanda dari kejumawaan di masa lalu.

jembatan pulau 'kembar'
Pulau Cipir memang tak bisa berdiri secara merdeka dalam ranah sejarah bangsa. Orang selalu menempatkannya dalam 'kelas kedua' tertutup oleh bayang-bayang nama besar Pulau Unrust. Pulau Cipir seolah hanya menjadi bagian dari ekspansi kemajuan dan kehirukpikukan yang berlangsung di Pulau Unrust. Sebagai bukti dari ekspansi tersebut adalah keberadaan sebuah jembatan beton yang pernah dibangun untuk memudahkan hubungan dan lalu lintas antarkedua pulau. Dulu, jembatan tersebut sangat penting perannya sebagai pendukung kelancaran lalu lintas bongkar muat barang dan pemindahan para jemaah haji yang sedang dikarantina. Saat ini, yang masih dapat dilihat hanyalah pondasinya saja seperti tampak dalam gambar di atas ini.

Saya jadi berpikir, ternyata ide-ide untuk menghubungkan antarpulau di Indonesia melalui sebuah jembatan sudah ada sejak dulu. Beberapa yang saya tahu tentang jembatan antarpulau selain ini adalah jembatan 'cinta' di Pulau Tidung, jembatan Barelang di Batam, dan jembatan Suramadu di Surabaya. Kalau mau jujur, rasanya memang agak berat untuk direalisasikan kalau saya menyarankan agar jembatan yang menghubungkan Pulau Cipir dan Pulau Unrust dibangun kembali demi kepentingan pariwisata seberat langkah kaki saya untuk meninggalkan pulau ini kembali dalam keterasingannya. Tapi setidaknya, keberadaan Pulau Cipir ini mengajarkan kepada saya bahwa hidup dalam bayang-bayang nama besar orang lain hanya akan membuat nama sendiri semakin jauh dari ingatan sejarah.  

2 komentar:

  1. waah keren mas lengkap bgt pembahasannya, ternyata meriam itu dari belgia, makasih bgt infonya

    BalasHapus