Maninjau yang cantik |
Maninjau adalah sebuah kampung kecil di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kampung ini sepi dan tenang. Vegetasinya berupa lanskap persawahan, kebun kelapa, dan hutan-hutan kecil di atas bukit. Rumah penduduknya tidak melulu berupa rumah adat Gadang dengan atap bagonjong (atap tradisional Minangkabau yang mirip tanduk kerbau) yang khas, tetapi rumah-rumah biasa dengan atap genteng dan sirap. Beberapa rumah saya yakin merupakan peninggalan pemerintah kolonial dengan arsitektur Melayu Minang yang bangunan utamanya berbentuk segi enam dengan jendela-jendela kisi.
Beberapa rumah punya 'pantai' sendiri karena bagian belakangnya berbatasan langsung dengan Danau Maninjau. Sumpah, saya sampai bingung nyari tempat yang agak lapang untuk sekedar main air di pinggir danau. Karena tak menemukan objek menarik atau 'pantai' yang lapang, saya putar haluan untuk menuju sisi yang lain Danau Maninjau. Mata saya jelalatan ke sana-sini untuk mencari 'celah' atau gang berupa pinggir danau yang kosong. Tapi tak ketemu-ketemu. Sepertinya, banyak sekali restoran dan penginapan yang menjual pemandangan langsung Danau Maninjau dengan mendirikan bangunan tepat di bibir danau. Menyebalkan. :(
Nelayan di depan PLTA Maninjau |
Saya kembali tersadar, mungkin ini yang dimaksud Ahmad Fuadi dalam bukunya Negeri 5 Menara, sebuah PLTA di kampung liliput Bayur yang bangunannya diresmikan oleh Presiden Soeharto tahun 1983. Kalau begitu, berarti Pak Harto pernah juga lewat jalan sempit yang saya lalui tadi. Kebayang, tahun 1983, presiden melaju kencang di jalan sempit sambil melambai-lambai dari dalam mobil. Ah, tapi jalan ini sekarang tak lagi mulus. Mungkin karena tak ada presiden atau pejabat negara yang akan lewat. Jadi, tak perlu buru-buru untuk diperbaiki.
The Land of Five Towers |
gAl4u 5i m4niN7aU |
Demi membela diri pasangan tersebut berikrar dan akan menceburkan diri ke dalam kawah Gunung Sitinjau. Kalau memang tuduhan itu benar, gunung ini tidak akan meletus. Tapi, jika tuduhan tersebut hanyalah fitnah, maka Gunung Sitinjau akan meletus dahsyat. Dan ternyata gunung tersebut akhirnya meletus. Letusannya membentuk cekungan yang akhirnya menjadi Danau Maninjau ini. Tiba-tiba saja saya teringat dengan kisah Joko Seger yang mengilhami Cerita Suku Tengger dan kisah dari Dewi Surati yang menjadi cikal bakal Banyuwangi. Kalau kita runut, ternyata banyak sekali legenda di Indonesia yang kisahnya mirip satu sama lain.
Saya kembali tersadar dari lamunan gara-gara ada kecipak air. Kalau saya perhatikan, berbeda dengan sisi danau di Kampung Maninjau, air danau di sisi dermaga ini cukup jernih karena tak ada keramba-keramba untuk memelihara ikan. Seorang nelayan tampak mengayuh sampan kecilnya untuk mencari ikan atau mungkin pensi, kerang air tawar endemik Danau Maninjau, berwarna hitam dan kecokelatan, yang biasa diperoleh di dasar pasir atau menempel di batu-batu danau. Pensi ini merupakan camilan terkenal di sini. Ternyata, dermaga ini juga merupakan tempat favorit masyarakat sekitar untuk menghabiskan sore. Beberapa cewek Minang dari tadi senyun-senyum melihat saya berfoto
Hari sudah sore ketika saya beranjak dari dermaga ini. Dengan tidak terburu-buru, saya ingin berhenti sejenak untuk sholat ashar di salah satu masjid yang dari tadi sudah saya 'incar' untuk saya datangi. Saya perhatikan, di Kampung Bayur dan Maninjau ini banyak sekali masjid. Heran, dengan banyaknya masjid yang ada, apakah penuh semua dengan para jamaah?
Megahnya Masjid Raya Bayur |
Masjid ini dibangun pada awal abad ke-20. Tapi bangunan yang ada sekarang adalah modernisasi yang dilakukan pada awal tahun 2000 dari masjid tua yang dulu ada. Kata imam yang saya temui di dalam masjid, renovasi masjid ini didukung oleh Bapak Bachtiar Chamsyah selaku pimpinan adat (Datuk) di Nagari Bayur sekaligus Menteri Sosial pada masa pemerintahan Ibu Megawati Soekarnoputri (Merdeka!!! :)). Busyet, ternyata daerah pinggir Danau Maninjau sini banyak orang penting ya. Renovasi masjid ini juga terbilang cepat selesai karena para perantau dari Kanagarian Bayur banyak yang ikut berkontribusi.
Selain megah dan unik, di bagian depan bangunan terdapat pancuran yang airnya memancar tanpa henti. Di belakang bangunan ini juga ada kolam ikan yang cukup besar, yang mengingatkan saya pada balai petirtaan di kerajaan-kerajaan jaman dulu. Berada di masjid ini, rasanya gak sopan kalau sampai gak ada acara foto-foto. Hehehe. Karena sebentar lagi mau malam Mingguan di bawah Jam Gadang, saya terpaksa segera angkat kaki dari masjid indah ini. Menyusuri kembali Kampung Bayur dengan sawahnya yang menghijau dan pohon kelapanya yang berjajar di pematang. Keluar dari Maninjau, saya kembali 'berjuang' untuk melewati Kelok 44 (Kelok Ampek Puluah Ampek), sebuah jalan mendaki tajam dan mengular dengan 44 belokan patah-patah sepanjang 10 km dari Maninjau hingga kampung di atas bukit, Ambun Pagi.
Nagari Maninjau dilihat dari atas bukit |
Di salah satu Kelok 44 |
Melaju kencang di Kelok 44 |
Laporan perjalanan yg menarik ke kampung halaman saya :)
BalasHapusterima kasih bang sudah berkenan berkunjung dan membaca tulisan saya. man jadda wa jadda :)
Hapushahahaha...mereka nafsu makan rujak liat ada brondong ;)
BalasHapushahaha orang ganteng emang selalu bikin cewek-cewek gagal fokus .... ups :)
Hapussaya jadi malu sebagai keturunan minang yang berasal dari bayur maninjau... tau kampung halaman sendiri baca dari orang yang bukan berasal dari kampung halaman saya... jadi ingin sekali pulang kampung
BalasHapushahaha terima kasih uni, pulanglah ke kampung halamannya. Bumi Maninjau itu indah lho ;)
Hapusterimakasih jurnal perjalananya..cara bertuturnya sgt memikat dan enak dibaca.kbtulan kedua org tuaku berasal dari d.maninjau.sekali lagi terima kasih!
BalasHapusWah, sama-sama Uda, terima kasih apresiasinya. Salam :)
Hapus