Pagi yang Hening di Pura Batu Bolong |
Walaupun mayoritas penduduknya muslim dan dikenal sebagai Pulau 1000 Masjid, Lombok juga masih menyimpan sisa-sisa kejayaan Kerajaan Karangasem sejak abad ke-17 berupa pura. Beberapa pura yang saya ketahui di Lombok dan masih digunakan hingga sekarang adalah Pura Lingsar di Narmada, Pura Meru dan Mayura di Cakranegara, serta Pura Batu Bolong yang ada di dekat pantai Batu Layar kawasan Senggigi.
Beberapa kali lewat jalanan Senggigi membuat saya penasaran untuk bertandang ke Pura Batu Bolong. Berkunjung ke pura ini mau tak mau pikiran saya teringat dengan Pura Tanah Lot di Bali dan Pura Ismaya di Balekambang, Jawa Timur yang keadaannya mirip sekali dengan pura ini: berada di atas karang dan berbatasan dengan laut lepas Samudera Hindia. Konon, Dang Hyang Dwijendra, pendeta asal Jawa Timur yang berperan besar terhadap perkembangan agama Hindu di Bali dan Lombok pernah singgah di sini.
kokoh di atas karang |
Ternyata, ibu baik hati bernama Ibu Sri itu langsung mempersilakan saya untuk berkeliling pura tanpa matur dahulu ke pamangku pura. Saya tanya apakah saya perlu memakai kain tertentu atau apa gitu untuk memasuki areal pura, soalnya saya ingat dengan aturan yang mewajibkan pengunjung memakai kain tertentu jika mengunjungi tempat ibadah atau situs keagamaan seperti yang dilakukan kalau kita berkunjung ke Candi Borobudur. Seketika itu beliau langsung melepas pita kuning yang membelit di pinggangnya dan menyerahkan pita tersebut untuk saya pakai. Saya pun minta ijin dan beranjak untuk melihat-lihat pura.
Pura Batu Bolong terdiri dari dua bangunan pura. Yang pertama adalah pura yang terletak di bawah pohon dan berada dekat dengan pintu masuk setelah menuruni beberapa anak tangga. Sedangkan pura kedua berada di atas karang yang menjulang setinggi kurang lebih empat meter dan posisinya menjorok ke laut. Di badan karang ini terdapat lubang besar yang menghubungkan kawasan pura dengan pantai yang ada di balik karang. Lubang itulah yang digunakan sebagai asal muasal nama Pura Batu Bolong.
menikmati keheningan pura |
Selesai melihat orang melaksanakan mandi sankran, saya kembali ke pura untuk naik ke atas karang. Seperti berkunjung ke pura lainnya, bau dupa langsung tercium begitu menginjak gapura pura ini. Di sini suasananya sungguh sunyi dan tenang. Meniti beberapa anak tangga, saya kembali buru-buru turun karena di tempat altar doa atau sering disebut pelinggih penunggun karang, ada orang yang sedang sembahyang. Demi menjaga kekhusyukan, saya tak mau mengganggunya berdoa dan sabar menunggu di gapura.
Kalau dipikir, berada di atas karang ini mau tak mau, kesunyian pura diusik dengan bunyi debur ombak yang menghantam karang. Tapi, banyak penganut Hindu yang sembahyang di pura ini merasa damai dan khusyuk tanpa terganggu dengan deburan ombak. Seperti bapak-bapak yang tadi baru saja sembahyang, beliau bilang kalau setiap hari datang ke pura ini untuk berdoa. Datang ke pura dan bersembahyang membuatnya merasa tenang dan damai.
Pelinggih Penunggun Karang |
Kalau saya perhatikan, pelinggih penunggun karang yang ada di pura ini ditempatkan sedemikian rupa sehingga orang yang sembahyang menghadap ke arah daratan, bukan menghadap laut. Saya berasumsi bahwa sembahyang tersebut menghadap ke arah Gunung Rinjani yang dianggap sebagai 'kiblat' secara adat dan budaya bagi penganut Hindu di Lombok. Gunung Rinjani disebut sebagai 'gumi dalam' atau bumi yang suci sehingga diagungkan karena dipercaya akan selalu memberi pelindung dan pemberi kesejahteraan. Makanya orang sini menjaga betul kelestarian gunung tersebut karena dianggap sebagai pemberi kehidupan. Ini mirip sekali dengan kepercayaan masyarakat Hindu Bali yang mengagungkan Gunung Agung sebagai pelindung dan pemberi kehidupan bagi masyarakat Bali. Benar kan, kalau saya menganggap Bali dan Lombok sebagai saudara kembar.
Saya selalu senang dengan kearifan lokal semacam ini. Hidup damai bersinergi dengan alam melalui ritual atau pelaksanaan ibadah yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari merupakan wujud nyata menjaga alam tetap lestari. Hal ini menurut saya lebih efektif dilakukan daripada konsep go green yang didengungkan oleh masyarakat modern perkotaan dewasa ini yang pelaksanaannya hanya dilakukan secara periodikal.
Turun dari pura di atas karang, saya menuju bale-bale tempat Ibu Sri dan beberapa warga lain menyiapkan perlengkapan sesaji untuk sembahyang berikutnya. Berniat untuk mengembalikan pita kuning yang tadi saya pinjam sekalian pamit pulang, saya ditawari sarapan oleh Ibu Sri berupa makanan yang asalnya dari sesaji yang sudah beliau gunakan untuk sembahyang pagi tadi.
Meet the locals |
Salah satu ibu di situ (yang saya lupa namanya :( ) juga bilang agar jangan takut makan-makanan dari sesaji karena mengetahui kalau saya muslim. Beliau juga cerita kalau pas Idul Fitri, umat muslim di Lombok banyak yang datang ke pantai di depan pura untuk menikmati lezatnya ketupat, opor ayam, ayam Taliwang, dan serunding. Cerita dari ibu itu saya anggap sebagai bagian dari kehidupan toleransi beragama di negara yang mengaku berBhinneka Tunggal Ika ini. Dan saya senang sekali mendengar cerita tentang kehidupan kerukunan beragama di sini.
Karena makanannya enak-enak dan kebetulan belum sarapan, saya memilih mengambil buah-buahan daripada nasi dengan lauk-pauknya. Toh sebentar lagi saya juga akan sarapan di penginapan. Dari obrolan singkat di bale-bale tadi, saya jadi tahu kalau orang-orang ini adalah perantauan dari Bali dan Jawa Timur yang akhirnya menetap di Lombok.
Bersama Wayan dan Nyoman :) |
Karena hari sudah siang, saya pun pamit untuk kembali ke penginapan dan berterima kasih sudah 'dijamu'. Saya diantarkan oleh Made sampai pantai di seberang pura karena dihadang oleh beberapa ekor anjing liar yang menggonggong melihat saya lewat. Saat sarapan di penginapan dan saya ceritakan kejadian barusan, salah satu teman saya tiba-tiba nyeletuk, "Makanya kalau makan yang banyak, biar gak dikira tumpakan tulang-belulang". Dem. Sialan, hehehe. Tapi bagus juga sih, jadi kalau ada yang lihat saya makan banyak, itu salah satunya alasannya adalah biar tak banyak 'anjing' yang menggonggong ke arah saya. Good excuse.
Salam kenal mas. kisah perjalanannya informatif sekaligus inspiratif. terimakasih sudah berbagi. Bila semua anak bangsa sedemikian toleran seperti mas, jayalah bangsaku dan aman damai sejahteralah negeriku!!!
BalasHapusTerima kasih bli Wayan sudah bersedia mampir dan membaca sekelumit kisah perjalanan saya ke Pura Batu Bolong di Lombok. Salam kenal juga :)
HapusSaya senang membaca cerita-cerita kerukunan hidup antar umat beragama seperti di atas. Kaum minoritas seakan "terpinggirkan" tapi dari mereka bisa kita petik pelajaran berharga yang tak kita dapati dari kaum mayoritas. Indonesia memang Bhinneka Tunggal Ika.
BalasHapuswah terima kasih mas apresiasinya, mari kita jaga terus nilai-nilai luhur kebhinekaan negeri ini. Salam :)
Hapus