Bumi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia. Bukan Kepingan Surga |
Tiket promo dalam genggaman, perjalanan dilakukan, ribuan frame foto didapatkan, dan puncaknya, satu lagi kepingan surga dinarasikan. Tak sulit menemukan cerita tentang keindahan visual di bumi pertiwi: pasir pantai putih, air laut jernih, serta bentangan alam memukau yang mengundang decak kagum. Dalam riuhnya dunia pariwisata saat ini, kata surga seolah merupakan diksi ampuh dalam promosi sekaligus representasi sebuah kemalasan dalam mendeskripsikan visualisasi.
Dalam definisi kolektif banyak pejalan, segala tempat indah yang bikin mulut nganga akan mudah sekali dilabeli dengan embel-embel surga. Langit biru yang cerah, hamparan savana yang luas, pohon nyiur melambai, tempat yang sepi, hutan yang lebat, dan sebagainya adalah sebagian 'sasaran' label tersebut. Saya pikir, apa yang disebut surga bagi banyak orang adalah terjemahan dari dunia baru yang mereka temui dalam perjalanan dan memiliki karakter atau ciri-ciri yang berbeda dengan, katakanlah, daerah asal mereka saat ini.
Eric Weiner dalam bukunya The Geography of Bliss mengulas tentang Shangri-La, sebuah representasi surga yang disuguhkan James Hilton dalam buku Lost Horizon. Menurutnya, Shangri-La berisi semua unsur klasik surga. Pertama, tempat itu haruslah sulit untuk dijangkau. Kata-kata Weiner yang membuat saya tersenyum (dan akan saya ingat) adalah surga bukanlah surga jika Anda dapat naik taksi ke sana. Selanjutnya, terdapat pemisah antara surga dengan kehidupan biasa, dipisahkan oleh dunia rahasia yang hanya dapat ditempuh oleh sedikit orang yang beruntung. Dalam hal tulisan ini, surga dikenalkan oleh para pejalan yang 'beruntung' mencapai destinasi yang dianggap istimewa. Dengan kata lain, surga dapat disebut sebagai klub selektif. Tapi, jika tempat yang disebut surga tadi akhirnya disambangi oleh banyak orang dan diulas secara gamblang dengan narasi yang tak jauh beda dengan referensi sebelumnya, bukankah makna surga sendiri akan tereduksi menjadi sesuatu yang tak lagi istimewa.
bukan Taman Eden, ini Sungai Cigenter di Taman Nasional Ujung Kulon |
Indonesia memang memiliki kekayaan dan keindahan alam yang susah didefinisikan dengan kata indah saja atau bahkan indah banget. Tapi bukan berarti serta-merta identik dengan surga. Jika Anda tergerak untuk menjejak suatu tempat yang oleh pejalan sebelumnya disebut surga, cobalah untuk menyelami lebih jauh tempat tersebut. Saya yakin suatu destinasi wisata yang disebut surga dalam benak banyak orang, tidak benar-benar tampak seperti keadaan aslinya. Kita semua sepakat kalau surga pastinya tanpa cela. Surga tak menyimpan masalah kemanusiaan, tak terancam masalah sosial, tak khawatir akan menggunungnya sampah, dan seperti kata Weiner di atas, merupakan oase bagi 'klub selektif' di mana tak setiap orang bisa mencapainya.
Sepertinya, apa yang menjadi keresahan zaman Christopher Colombus saat memulai ekspedisi jelajah samudera masih menjangkit hingga sekarang. Banyak literatur sejarah menarasikan betapa euforia untuk menemukan tempat utopis seperti yang digambarkan dalam kitab suci membuat banyak orang menyebut suatu daratan yang lebih nyaman dan lebih nikmat dirasakan panca indera dibandingkan dengan daerah mereka berasal sebagai surga.
Dalam gulungan rentang waktu, mereka masih setia menyebut daerah asing yang ditemukan bertahun-tahun lampau sebagai surga hingga tak sadar satu persatu orang yang mereka kenal berakhir sebagai korban wabah malaria, diasingkan menjadi budak belian, atau bahkan dijadikan pekerja tanam paksa di sebuah kebun pala, hingga tanah surgawi yang mereka imajinasikan berubah menjadi medan pertempuran dan pangkal sengketa. Namun demikian, impresi sedikit orang yang selamat dan kenangan manis yang pernah mampir dalam benaknya selalu mendorong orang tersebut untuk mengatakan bahwa ada surga di negeri timur sana.
Pulau Lombok dilihat dari sebuah resort di Gili Trawangan |
Sejalan dengan hal tersebut, saya juga ingat dengan sebuah tembang manis yang dilantunkan grup musik Koes bersaudara berjudul Kolam Susu. Kalau kita perhatikan lebih seksama, liriknya yang menyebutkan bahwa Indonesia itu tanah surga adalah orang lain, dalam hal ini adalah pendatang yang merasa nyaman dan terpesona berada di Indonesia dibandingkan dengan tinggal di negerinya.
Sementara orang-orang kepulauan Nusantara sendiri, karena kesehariannya berada di negeri yang indah, maka impresinya akan nilai sebuah keindahan indrawi hanyalah biasa-biasa saja. Hal ini persis seperti yang terjadi sekarang. Suatu misal, seorang Jakarta yang pergi mengasingkan diri ke Gili Trawangan dan menganggapnya seperti sedang terasing di 'surga'. Padahal, orang Trawangan sendiri menganggap laut dan pasir putihnya biasa saja karena mudah ditemui setiap hari sehingga yang dipikirkan hanyalah apa yang dapat dikerjakan agar mendapat imbalan dari para pengunjung pulau sebagai bekal melanjutkan kehidupan. Orang Trawangan tak merasa sedang hidup di surga karena tetap harus memeras keringat dan membanting tulang untuk bisa terus hidup. Begitu juga dengan orang lain yang mendiami wilayah yang sering diidentikkan sebagai surga di seluruh bentangan bumi nusantara.
Walaupun bangga karena lahir dan tinggal di Indonesia, saya berusaha berhati-hati untuk tidak menyebut tempat-tempat indah di Indonesia yang sering diabadikan dalam banyak frame foto sebagai surga dan semacamnya. Saya pikir, surga bukanlah surga jika ada perbedaan persepsi dan 'kasta' dari orang-orang yang mendiaminya. Berbahagialah orang-orang yang dapat menemukan surga di dalam dirinya sendiri, bukan di pantai atau pemandangan bagus lainnya.
bukan kolam susu @ Taman Nasional Komodo, NTT |
PS: Thanks a lot to my dearest friend, Ustad Jefry Hutapea for a beautiful lanskap photo of Bumi Nusa Tenggara Timur :)
Wah pengen ke UJUNG KULON dan merasakan Surga yang sebenarnya..... takjub ada yang Baca Bliss juga, Salam Kenal Adie Riyanto.... Nice Blog Sobat....
BalasHapusHehehe salam kenal juga Kharis. Terima kasih sudah berkunjung :)
Hapusenggak ada surga, tetapi banyak tempat di indonesia untuk perlu dikenal :D apalagi yang cakep *eh sama aja ya :D
BalasHapusbetul, banyak tempat perlu dikenal(kan) dan tempat-tempat tersebut memang indahnya susah untuk didefinisikan dengan kata 'indah' saja atau bahkan 'indah' banget. Cuma menurut saya, penggunaan kata 'surga' kok agak ganggu aja dan terdengar mainstream :P
Hapussaya lebih sependapat dengan staement sobat yang berbunyi "berbahagialah orang-orang yang dapat menemukan surga di dalam dirinya sendiri..." ,
BalasHapussalam hangat selalu dari Makassar :)
Hahaha terima kasih sudah berkenan membaca, Makassar memang selalu hangat untuk para pejalan, terutama bandaranya yang cozy banget itu. Salam :)
Hapussaya sudah baca artikel ini 3x untuk meyakinkan diri saya sendiri bahwa Anda sedang tidak ikut pesat narkoba bersama raffi saat menulis artikel ini ... peace ^^v
BalasHapusLalala yeyeye hahaha, tersanjung nih tulisanku dibaca sampai 3x :)
Hapus*tumpengan* :D
aku nyari2 siapa tau ADIE akan menyebut sebuah tempat atau daerah dimanapun sebagai surga, rupanya nihil :-)
BalasHapusHahahahaha mencari-cari kesalahan orang dengan melihat arsip-arsip lama, pret lah hahahaha :D
HapusHey Bung, siapa juga mencari-cari kesalahan, aku mencari surga yak, bukan kesalahan!
Hapusya amsyong, masih diterusin hahahaha :D
Hapushabisnya lu sewot sih :p
Hapussiapa juga kepoin semua isi blog buat cari surga ...
aku cuma nyari di lembar ini aja kali :)
regards
isna
-end-
wakakakakakak :D
Hapusya sih klo kita ke gili trawangan pst ngerasa kyk di surga. tp org gili trawangan coba klo ke jkt, mereka kyknya mikir di kota adalah surga.
BalasHapusjangan-jangan, surga adalah imajinasi yang ditanam dalam masing-masing benak manusia? hahaha *ngeri* :)
HapusGara2 di rt mb trinity jd tau dah ni blog mas adie:D
BalasHapus*folbek donk kkk..hahaha
Hahaha terima kasih sudah mampir. Salam :)
HapusSetuju bang.. artinya saya harus nyari padanan kata baru untuk menjelaskan betapa kerennya laut meulingge pulau breuh hehe
BalasHapusbtw, indonesia ini indah bukan? :D
Itu dia bang yang agak susah hehehe. Tapi, setidaknya jangan melulu terperangkap dengan segala bentuk label surga untuk menandai tempat-tempat indah, terutama di Indonesia ;)
HapusApa benar, adanya surga 2.0 karena balutan media digital?
BalasHapusHahahaha segala sesuatu bisa jadi lah mz di zaman now ini :D
Hapus