Jumat, 27 Juli 2012

Rehat Sejenak di Masjid Raya Medan

The Icon - Masjid Raya Medan
Saat berkunjung ke suatu tempat, saya biasanya menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat ibadah yang menjadi landmark dari daerah tersebut. Alasannya, tempat ibadah suatu tempat biasanya berhubungan dengan asal-asul dari daerah yang bersangkutan. Tapi, sejak kecil saya sudah punya keinginan untuk mengunjungi Masjid Raya Medan hanya karena masjid tersebut selalu nampang di sampul buku diktat mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang dipakai di sekolah saya.

Dari dulu saya mengagumi bentuk bangunan masjid tersebut karena arsitekturnya yang unik dan berbeda dengan masjid yang ada di kampung halaman saya. Awalnya, saya mengira masjid yang ada di sampul depan buku diktat saya tersebut berada di kawasan Timur Tengah. Tapi, setelah tahu bahwa masjid tersebut terletak di pusat kota Medan dari tayangan sebuah video klip adzan magrib di televisi, saya selalu berharap suatu saat dapat datang berkunjung.

Suatu ketika saat liburan Paskah tahun 2011, akhirnya saya sampai juga di masjid ini. Seperti jalanan kota Medan yang selalu ramai, masjid ini juga ramai sekali hari itu. Maklum, ini adalah hari Jumat, 'hari besar'nya umat muslim sehingga orang ramai berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan ibadah sholat Jumat.

Mengagumi kemegahan jejak peninggalan Sultan Deli
Memasuki pelatarannya, kita disambut dengan sebuah gapura putih yang mengingatkan kita pada bangunan-bangunan yang ada di film India. Saya tak langsung menuju tempat wudhu, tapi sibuk foto-foto dulu di pelatarannya yang sudah berubin rapi ini.

Menurut papan nama yang ada di sebelah kanan pintu gerbang, Masjid Raya Medan atau Masjid Raya Deli ini bernama Masjid Raya Al-Mashun. Masjid ini mulai dibangun pada tanggal 21 Agustus 1906 atas prakarsa Sultan Ma'amun Al-Rasyid Perkasa Alamsjah (Sultan Deli ke-9) dan selesai tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 10 September 1909 yang sekaligus ditandai dengan didirikannya sholat Jumat pertama di masjid ini.

Konon, pembangunan masjid ini menelan dana sebesar satu juta gulden yang kesemuanya ditanggung oleh Sang Sultan sendiri. Sultan Al-Rasyid berpandangan bahwa bangunan masjid yang diperuntukkan bagi kegiatan ibadah kepada Tuhan seyogyanya lebih megah daripada istananya sendiri yaitu Istana Maimun. Meski ukurannya tak seluas Istana Maimun, Masjid Al-Mashun mampu menjadi daya tarik pariwisata kota Medan lantaran arsitekturnya yang tidak biasa. Perpaduan corak bangunan berciri khas Maroko, Eropa, Melayu, dan Timur Tengah menyatu dengan bongkahan marmer kelas satu yang diimpor langsung dari Italia dan Jerman, membentuk konstruksi bangunan yang kokoh dan masih bertahan hingga saat ini.

suasana masjid sebelum sholat Jumat dimulai ;)
Jika dikuliti lebih jauh, arsitektur masjid ini memang lebih cenderung europais daripada melayu. Kubahnya yang berjumlah lima buah mengingatkan kita pada model kubah yang ada di masjid-masjid Turki. Sedangkan beranda dan jendela-jendela lengkungnya seperti merujuk pada bentuk desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada abad pertengahan. Pada jendela-jendela tersebut terpasang kaca patri dari China, sedangkan lampu gantung yang berada di tengah bangunan utama didatangkan langsung dari Perancis.

Untuk menambah daftar panjang negeri-negeri 'asing' yang turut ambil bagian dalam bangunan ini, ternyata Masjid Al-Mashun dirancang oleh arsitek Belanda bernama Van Erp yang juga didaulat oleh Sultan Al-Rasyid untuk  merancang Istana Maimun. Namun di tengah jalan, proses pembangunan masjid dilanjutkan oleh JA Tingdeman karena Van Erp dipanggil pemerintah Hindia Belanda untuk turut bergabung dalam tim restorasi Candi Borobudur di Jawa Tengah. Hal-hal tersebut akhirnya membuat saya sadar, ternyata tak hanya Masjid Istiqlal yang dirancang oleh warga non-muslim, satu fakta penting bahwa hal-hal kecil seperti ini yang harus diingat agar tidak timbul konflik yang mengatasnamakan agama di kemudian hari. Belakangan, saya dapat informasi dari seorang teman dari Medan, bahwa konon, Tjong A Fie yang merupakan saudagar dan tokoh kota Medan dari etnis Thionghoa ikut andil dalam menggelontorkan dana bantuan pembangunan masjid ini karena berhubungan dekat dengan Sang Sultan Deli ke-9.

Melihat keagungan dan kemegahan bangunan masjid, maka tak heran jika Pemerintah Kota Medan dan Pengurus Ta'mir Masjid mengelola secara khusus bangunan warisan budaya ini seperti memasang papan 'larangan' di gerbang masuk masjid ini agar tidak melakukan tujuh hal yaitu dilarang masuk bagi segala jenis kendaraan, dilarang memakai alas kaki, dilarang berjualan di dalam kompleks, dilarang bermain segala jenis olahraga, dilarang meludah di atas lantai, dilarang membuang sampah sembarangan, dan dilarang merokok. Jika melanggar salah satu larangan di atas, akan dituntut karena melanggar pasal 406 ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman 2 tahun dan 8 bulan penjara. Yakin aturan ini sudah berjalan? No comment ah hiii ;P

belajar beriman ;P
Matahari yang mulai terik dan waktu sholat yang makin dekat akhirnya menyeret saya untuk segera mengambil air wudhu. Bangunan tempat wudhu ini bentuknya seperti rumah kecil berbentuk bundar serupa tenda-tenda darurat di padang pasir, tapi dari beton. Beberapa pancuran melekat melingkar di dinding sebagai tempat wudhu. Beberapa pancuran lagi diberi bilik untuk tempat buang air kecil. Di tengahnya terdapat kulah (kolam dengan ukuran tertentu untuk menampung air) untuk wudhu atau mengambil air dengan mudah karena saat masjid ramai pengunjung dan pancuran dipakai semua seperti saat ini, aliran airnya jadi kayak orang sulit pipis. Aww.

Setelah berwudhu, saya segera masuk masjid dengan meletakkan sandal saya tepat di samping pintu supaya mudah mengambilnya nanti saat sholat sudah usai. Saya sebenarnya heran, masjid semegah ini, tapi tidak ada fasilitas penitipan barang seperti sandal atau sepatu. Bukannya takut hilang karena sandal yang saya pakai 'cuma' sandal jepit murahan, tapi lebih ke arah membuat para jamaah lainnya dapat beribadah dengan tenang dan khusuk tanpa kepikiran sandalnya bakal hilang dicuri. Meski secara resmi tidak ada petugas ta'mir masjid yang menyediakan jasa penitipan, tapi di pelataran masjid terdapat beberapa pemuda lokal yang bersedia menata sandal dan sepatu jamaah dengan imbalan beberapa rupiah. Ingat, setahu saya mereka hanya menata saja, tidak sampai menjaga karena begitu sholat selesai, saya tak melihat mereka ikut membantu mengambilkan sandal atau sepatu yang dicari pemiliknya. Duuuh.

Bagian dalam Masjid Al-Mashun sebenarnya tidak terlalu luas seperti layaknya masjid raya di kota-kota lain. Hal ini karena ruang utama masjid berbentuk segi delapan walaupun tidak persis sama sisi. Saya akhirnya paham, mengapa pelataran masjid tadi ditegel semua. Hal itu dimungkinkan agar dapat menampung jamaah yang meluber saat ada sholat pada perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Delapan pilar yang berdiri tegak di tengah ruangan seolah setia menyangga kubah utama tetap tinggi menjulang. Yang menarik, interior masjid ini tidak dihiasi dengan lukisan kaligrafi ayat-ayat suci Al-Qur'an, tapi dipenuhi dengan hiasan-hiasan ornamen bergambar bunga dan tumbuh-tumbuhan. Saya mulai diam sejenak dan tenang mendengarkan khotbah serta mengikuti rukun sholat Jumat hingga selesai.

interior Masjid Raya Al Mashun ;)

Setelah mengucap salam dan berdoa sebentar, saya melanjutkan dengan keliling bagian masjid yang lain. Tepat di sebelah masjid ternyata terdapat kompleks pemakaman para Sultan Deli dan para keturunannya. Begitu mau beranjak pulang dan mengambil sandal, ternyata sandal milik teman saya sudah berpindah tangan. Dicari ke sana- ke mari tak ketemu, akhirnya teman saya memilih mengikhlaskan saja dan berniat untuk membeli yang baru. Saya kembali sadar untuk ke sekian kali, ternyata pada papan larangan yang ada di pintu gerbang memang tidak tertulis larangan untuk mencuri maka dalil yang diucapkan oleh khotib Jumat tadi bahwa " ambillah sesuatu yang baik dan tinggalkan yang buruk" jadi bebas langsung dipraktikkan di pelataran ini tanpa ada ancaman pelanggaran KUHP. *sigh*

hasil jeprat-jepret: "mengais rezeki" ;'(
Sementara teman saya meninggalkan masjid duluan untuk menyelesaikan urusannya di tempat lain, saya masih tinggal sendirian motret-motret masjid untuk stok foto. Tiba-tiba ada salah seorang jamaah minta tolong dipotret memakai kamera ponselnya. Saya pun dengan sukarela membantu karena saya juga sering meminta tolong untuk difoto. Setelah dilihat, jamaah yang mengaku bernama Muchlis tersebut bilang kalau puas dengan hasil jepretan saya. Dia bilang kalau sudah sering sholat di masjid ini tapi belum pernah berfoto di depannya. Yailah.

Dia pun akhirnya bertanya tentang asal saya, dari mana, dan sedang ngapain kok bawa-bawa tas punggung segala. Saya jawab saja sejujurnya kalau saya dari Jakarta dan sedang jalan-jalan ke Medan. Waktu saya bilang 
kalau saya sendirian, eh dia menawarkan tumpangan untuk keliling-keliling kota Medan sekalian pulang sebagai ucapan terima kasih sudah dipotretkan. Wah senangnya, padahal tadinya saya tidak minta apa-apa lho untuk hasil potret saya yang jauh dari istimewa tersebut. Saya pikir, ternyata masih banyak orang baik di dunia ini. Medan yang sering diasosiasikan sebagai sarangnya copet, ternyata tidak seperti yang disangka banyak orang. Saya jadi merasa tak pernah benar-benar sendirian saat berada jauh dari rumah seperti saat ini. Ternyata, selain bangunannya yang megah, Masjid Al-Mashun mampu menghadirkan kenangan sederhana yang tak akan pernah saya lupakan.

2 komentar: