Minggu, 05 Januari 2020

Teroka Cappadocia

.: Welcome to The Fairy Chimneys 🌲😻 :.

Malam menggelayut sendu saat kereta metro melaju kencang mengantarkan saya menuju Istanbul Central Bus Station (Otogar). Perjalanan kali ini memang sungguh impulsif. Saya hanya mengantongi tiket pergi-pulang Jakarta-Istanbul, salinan visa elektronik, dan beberapa lembar dolar Amerika. Tanpa reservasi hotel dan tanpa tujuan yang jelas.

Tapi begitu mendarat di Istanbul tengah malam, saya memutuskan untuk segera ke terminal bus dan menuju Cappadocia. Saat melakukan perjalanan, saya kerap berjudi dengan waktu. Dan kali ini, kalau sampai tidak ada lagi bus yang berangkat malam ini juga, terpaksa saya akan bermalam di Istanbul saja. Angin dingin membuat saya terkesiap. Suhunya 12 derajat Celcius malam itu. Cukup hangat untuk cuaca yang baru lepas dari musim dingin.

Seorang lelaki sepuh berusaha menawarkan bantuan tanpa saya minta. Dia berbicara dalam bahasa Turki yang tidak sepenuhnya saya mengerti.

"Türkcę konuşamıyorum," kata saya, setengah memotong, menjelaskan kebingungan dalam mencerna maksud ucapannya.

"Oh, I see. Where are you from?," balasnya.

"Indonesia.

"Merhaba my brother. Welcome to Istanbul. Come come," lanjutnya, memberikan kode untuk segera mengikutinya.

Saya menyusuri kios-kios di Istanbul Otogar dalam dekapan udara dingin. Hampir semua kios sudah bersiap menutup pintu. Saya melirik jam tangan. Sepuluh menit menjelang tengah malam. Di sebuah kios terakhir di ujung terminal, tampak sebuah bus besar dengan kios yang bersiap membukukan kas terakhir hari itu.

"100 lira. The last bus to Kayseri. You can take a dolmus (sejenis angkot) to Goreme."

"Teşekkür ederim. Memnun oldum," jawab saya, sembari bergegas naik ke dalam bus.

Selamat Datang di Desa Goreme

Seperti halnya kalau saya menjelaskan rute dan akomodasi yang harus diambil saat mudik ke kampung halaman, begitu juga perjalanan kali ini. Saya menempuh setidaknya dua kali penerbangan panjang dan empat kali ganti moda transportasi darat untuk mencapai Goreme, desa paling ramai di kawasan Cappadocia.

Lanskapnya yang ajaib pertama kali saya kenali di layar komputer bertahun-tahun lampau. Dan dalam sekejap, lanskap serupa tersaji di depan mata. Seolah satu persatu mimpi menjadi kenyataan sesaat setelah saya bangun tidur.

Saya lihat keluar jendela. Deretan stepa khas kawasan subtropis telah berganti dengan pilar-pilar batu dengan lubang layaknya kandang merpati. Kalau tidak lihat ada banyak mobil dan segala makhluk hidup yang melintas di atasnya, saya merasa sedang berada di bulan.   

.: Jalanan Menuju Desa Goreme 🍂🍁 :.

Siang yang terik sekaligus penuh anomali. Udara tetap saja dingin. Saya tidak berkeringat meski dibekap tiga lapis baju hangat. Melihat bentukan saya yang berbeda dengan penumpang lain di dalam dolmus, segera saja banyak orang penasaran dan menaruh pandangan menyelidik namun hangat.

Seperti yang mulai terbiasa saya rasakan, orang Turki ini sungguh ramah. Apalagi saat tahu kalau saya berasal dari Indonesia. Segala informasi diberikan untuk memastikan saya aman dan nyaman sepanjang perjalanan. Mereka juga merekomendasikan beberapa penginapan yang terjangkau dengan budget saya, makanan halal yang bisa saya cicipi, lokasi atm, terminal, dan beberapa objek wisata wajib kunjung selama saya di Goreme.    

.: Terus Melangkah 🌲🌳 :.

Saya diturunkan di sebuah pertigaan pertama setelah memasuki Desa Goreme. Siang itu tampak sepi. Mungkin karena hari Minggu, pikir saya. Dua ekor anjing dengan ukuran besar tampak bercengkerama di ujung jalan. Mereka berlari dan berkejaran layaknya merayakan hari libur yang seharusnya diisi dengan suka cita.

Ada banyak toko, cafe, restoran, dan penginapan di desa wisata ini. Jalan-jalannya kecil dan berupa paving blok. Hanya jalan utama saja yang berupa jalan aspal.  

.: Deretan Toko dan Restoran di Desa Goreme, Cappadocia 🌳🍂 :.

Berhubung tidak melakukan reservasi sebelumnya, saya mulai melangkah berkeliling desa untuk mencari penginapan dengan harga terjangkau. Ternyata memang sedang tidak banyak wisatawan berkunjung. Banyak penginapan kosong yang masih tersedia. Saya pun memilih sebuah penginapan murah yang direkomendasikan oleh salah satu penumpang dolmus tadi. Meski tidak mewah, setidaknya ada air panas, penghangat ruangan, dan sarapan. Itu sudah lebih dari cukup buat saya. 

Cappadocia di Depan Mata

Lanskap spektakuler Cappadokia yang sering menghiasi layar komputer ini berada di wilayah Anatolia Tengah. Namun di atas peta, tak ada sebutan resmi demikian. Meski termaktub dalam kitab Injil Perjanjian Baru, istilah Cappadocia hanya eksis di kalangan para turis dan agen perjalanan wisata. Bahkan, di loket bus pun tidak ada nama tersebut. Jika ingin ke Cappadocia artinya calon penumpang dapat memilih untuk menuju Goreme, Nevşehir, atau Kayseri.   

.: In the middle of Goreme 😍 :.

Saya baru menyadari hal tersebut saat berjalan keliling desa dan menemukan papan penunjuk arah. Istilah Cappadocia memang absen dari pusat informasi resmi.

Padahal artinya sungguh indah. Kota dengan kuda-kuda yang cantik. Konon, kuda-kuda terbaik yang digunakan dari zaman dulu berasal dari daerah ini.   

Saya berjalan mengikuti arah dari mana saya tadi datang. Dalam perjalanan menuju Goreme tadi, saya sempat melihat beberapa batu unik yang tersebar di suatu padang gersang. Saya ingin kembali ke tempat tersebut untuk menikmati panorama yang terlewat ketika saya berada di dalam dolmus.

Dalam perjalanan, saya bertemu dengan sekawanan kuda di suatu tempat penggembalaan. Kuda-kuda Cappadocia memang terlihat sehat. Tidak besar seperti kuda Australia, tapi sepertinya memiliki otot liat yang kokoh dipakai untuk berperang. 

.: Sekawanan Kuda Cappadocia 🐴🌿 :.

Tak jauh dari 'kandang' kuda, padang gersang menghampar luas. Rasa-rasanya, hujan sudah lama tidak mampir di tempat ini. Lanskapnya kering sekali. Debu beterbangan saat motor ATV atau sekawanan kuda melintas. Di baliknya, gerumbul pilar-pilar batu tampak menonjol bagai cendawan di atas gurun.

Lanskap unik ini terbentuk akibat dari letusan tiga gunung yaitu Erciyes, Hasandag, dan Melendiz jutaan tahun silam. Ditempa cuaca selama ribuan tahun, formasi unik layaknya cerobong asap rumah peri ini pun terbentuk hingga sering disebut sebagai Fairy Chimneys. Karena keunikannya tersebut, kawasan ini didaulat dalam daftar elit Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1985. 

Fasadnya dihiasi dengan pahatan lubang-lubang bekas tempat tinggal atau lokasi persembunyian. 

Wilayah ini memang sudah dihuni oleh manusia sejak ribuan tahun silam. Kaum Hittites yang berasal dari Asia Minor (wilayah Suriah saat ini) menjadi pionir yang mendiami kawasan Cappadocia pada tahun 2000-2500 sebelum Masehi.

Selanjutnya, bangsa Assiria menguasai wilayah ini sekitar tahun 1250 sebelum Masehi sampai kemudian diakuisisi oleh bangsa Persia Kuno sejak abad ke-6 sebelum Masehi hingga sekitar tahun 334 sebelum Masehi. Beberapa abad sesudahnya, Imperium Romawi dengan prajuritnya yang jumawa menjadikan wilayah ini sebagai daerah kekuasaannya. 

.: Rumah-Rumah Gua pada Sekumpulan Bukit di Cappadocia 🌳🌲🍂 :.

Menurut kisah yang masih bisa dilihat jejaknya hingga saat ini, penganut Kristen zaman awal menjadikan kawasan Cappadocia sebagai tempat persembunyian mereka. Bebatuan ini memang tampak kokoh. Namun mudah dipahat sehingga kerap dijadikan gua untuk basis pertahanan, tempat persembunyian, rumah, gereja, dan bahkan tempat pemakaman.  

Penganut Kristen zaman awal harus bersembunyi di lokasi demikian karena saat itu kekaisaran Romawi masih menganut kepercayaan pagan dengan konsep banyak dewa sehingga orang-orang Kristen yang mengusung keyakinan akan satu Tuhan dianggap sesat dan harus dibasmi. Itulah mengapa nama Cappadocia ada di dalam kitab Injil Perjanjian Baru karena merupakan bagian dalam perjalanan syiar agama Kristen di masa lalu.

Saya mendaki beberapa bongkah gundukan batu yang membentuk cerobong asap peri di dekat jalan raya. Bentuknya memang seperti rumah Flinstone, tokoh kartun yang tinggal di gua. Film kartun tersebut suka diputar di televisi saat saya kecil dulu. Ruangannya memang sempit tapi jumlahnya banyak.

Dalam satu menara batu tersebut bisa dipahat menjadi sekitar tiga hingga lima ruangan. Informasi dari guide yang saya dengarkan saat menjelaskan kepada rombongan turis yang saya lewati, konon masih ada sekitar 50-an kepala keluarga yang masih bertahan tinggal di rumah batu di seluruh penjuru Cappadocia. Jumlah ini tidak termasuk bongkahan batu yang sudah disulap menjadi kamar hotel di Desa Goreme.

.: Workshop Gerabah di Desa Goreme, Cappadocia 🍂⌛ :.

Jejak lain tentang kebudayaan masa lalu yang masih bisa dilacak hingga kini selain keberadaan rumah-rumah gua di penjuru Cappadocia adalah masih lestarinya aktivitas pembuatan tembikar. Posisinya yang begitu strategis di lintasan Jalur Sutera menjadikan Cappadocia tak hanya mewarisi sistem perdagangan, perekonomian, tata kota yang modern, tetapi juga sentra kerajinan warisan masa lalu. Salah satunya adalah tembikar.

Beberapa workshop pembuatan tembikar masih tersebar di beberapa tempat di pinggir jalan Desa Goreme. Bentuk hasil kerajinannya masih mengadopsi bentuk-bentuk tembikar lama yang kerap ditemukan sebagai artefak kuno peninggalan sejarah masa lalu. Berhubung sudah sore, saya hanya mampir sebentar di sana, melewatkan pembuatan tembikar, dan melayani begitu banyak pengunjung yang tiba-tiba ingin berfoto dengan saya, seorang Indonesia yang jalan-jalan sendirian di Cappadocia. []  

20 komentar:

  1. Postingan ini bikin kangen Cappadocia...Yang saya kangenin tentu saja sunrisenya yang memorable. tempat paling indah di dunia.

    btw mantap sekali mas jalan jauh tapi belum reservasi sebelumnya,, juarak. Kalau saya sendiri belum cukup nyali hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe iya, sunrise di Cappadocia emang amazing.

      Saya beberapa kali jalan tanpa reservasi hotel sebelumnya. Lebih menantang aja sih. Pakai acara nawar segala hehehe. Seringnya emang dapat yang lebih murah dan jam yang flexible :)

      Hapus
  2. keren banget sih.. tapi kenapa ya tempat2 di luar negeri itu kelihatan lebih indah dati pada di dalam negeri kita sendiri, padahal sebenernya juga sama :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau lebih indah kok gw kurang setuju ya. Tempat paling indah di dunia itu justru di Indonesia lho. Orang sini aja pada pengen punya kesempatan jalan-jalan ke Indonesia.

      Survey-survey tentang trip juga menempatkan Jawa sebagai pulau paling indah di dunia. Keduanya Bali. Gak kalah kok negeri kita sama negara lain hehehe :)

      Hapus
  3. Seru sekali ceritanya. Saya bisa membayangkan betapa serunya perjalanan darat dari Istanbul sampai ke Cappadocia. Ternyata Cappadocia lebih dari sekadar balon udara.

    Omong-omong, salah satu momen paling seru waktu melancong bagi saya adalah ketika saya tiba di malam hari di suatu tempat, entah di bandara, stasiun kereta, atau terminal bus, dan moda transportasi menuju tempat selanjutnya sudah lewat waktu operasi. Lebih sering saya menginap di sana sambil menunggu angkutan paling pagi. Dengan begitu saya juga berkesempatan melihat sisi lain dari tempat itu. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe pengalaman seru bisa datang kapan saja. Nikmati saja setiap momen dalam perjalanan tersebut :)

      Hapus
  4. kalau dilihat tempatnya bersih sekali dari sampah ya mas, semoga masyarakat kita juga banyak yang semakin sadar akan sampah sehingga tempat tempat didalam negri kita bisa bersaing dengan yang diluar negri :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sampah selalu saja ada di mana-mana. Hanya cara mengelolanya saja yang berbeda :)

      Hapus
  5. Great adventure!
    Gerome indah banget, pastoral di Cappadocia sepertinya sejak zaman dulu sebelum Masehi ya.
    Warna-warna gerabahnya juga menarik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you. Iya, pastoral di Cappodia sudah ada sejak zaman Kristen awal :)

      Hapus
  6. masya allah, semangat banget bacanya sampai merinding dibagian desa Goreme, ya Tuhaaan beneran kaya foto walpaper bawaan laptop, huhuh
    keren juga ada workshop gerabah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masa sih sampai merinding? Yakin dibaca beneran sampai habis? Hehehe :)

      Hapus
  7. Balasan
    1. Hanya yang terlihat di foto saja. Namanya alam luas pasti ada saja bagian yang kotor. Namun kan tidak ditampakkan di sini. Makanya, jangan percaya pada visualisasi saja. Baca juga ceritanya :)

      Hapus
  8. Biasanya kalau orang menulis tentang Cappadocia rata-rata berkaitan dengan balon udara. Kamu menulis sudut beda. Bahkan foto gerabah yang di bawah pitu awalnya kukira balon udara akakkakakakak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe semua akan membahas balon udara di Cappadocia pada akhirnya. Karena itu yang menjadi atraksi utama di sini.

      Tapi memang, selain itu ada banyak penggalan kisah menarik yang sayang untuk dilewatkan. Biasanya kepingan informasi begini harus ditanyakan kepada penduduk setempat atau pemandu wisata. Nah, itulah yang berusaha aku tampilkan di sini :)

      Hapus
  9. Lama nggak mampir, tampilan blog ini ternyata nggak berubah :)

    Aku belum berani traveling ke luar negeri, apalagi negara baru dan jauh, tanpa itinerary. Kalo gak ada itinerary, berarti aku cuma mau santai menjelajah kota secara random.

    Belajar bahasa Turki di mana, mas? Turki ini salah satu wishlist-ku juga, apalagi bangsanya memang dikenal ramah sama orang Indonesia :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, tampilan blog ini sepertinya tidak akan diubah sampai nanti memang merasa perlu untuk diubah.

      Dicoba saja. Pengalamannya tentu saja berbeda. Bisa jadi random. Bisa jadi malah terasa adventurous macam trip ke Turki ini. Berkesan sekali.

      Belajar bahasa Turki secara autodidak saja. Cuma bisa beberapa kalimat dan kosa kata sederhana saja kok. Selebihnya, akan ngajak ngobrol dalam bahasa Inggris saja :)

      Hapus
  10. Aku baru tahu kalo Sultan Nganjuk bisa bicara Turki mueheheh. Dari sekian ngetripku yang impulsif tanpa booking apapun waktu ke Myanmar 4 tahun lalu. Lah gimana, apa-apa susah informasinya. Sekarang Myanmar jauh berbeda.

    Kupikir semua orang akan ramah jika ketemu pelanggan ahaha. Orang Indonesia juga ramah terhadap turis ya karena akan menghasilkan uang. Atau yang gak mata duitan, minimal bisa atau pernah ketemu bule.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe cuma bisa beberapa kalimat dan kosa kata sederhana saja kok. Itu sudah cukup membantu banget waktu main ke Turki kemarin. Tapi kalau ada orang Turki yang ngecipris ya cuma bisa bengong aja.

      Btw, penduduk Turki ini hangat kok, apalagi sama orang Indonesia yang dianggapnya sebagai saudara sesama muslim. Bukan karena ada transaksi atau mendapatkan keuntungan materi, tapi murni ramah. Beda dengan keramahan artifisial resepsionis hotel atau pramugari. Beda banget :)

      Hapus