Minggu, 12 Januari 2020

Bertamu ke Rumah Flintstones

.: Welcome Home 🍁🍂 :.

Di antara rimbunan pilar aneh yang membentuk kawasan Cappadocia, kompleks gua di Göreme Open Air Museum disusun oleh batu-batu dengan lanskap yang paling menarik. Lokasinya ada di pinggir jalan raya antara Urgup dan Göreme. Jika tidak ikut tur, kompleks gua kuno ini bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik sepeda dari Desa Göreme.

Di suatu sore yang cerah, dalam perjalanan mengunjungi Taman Nasional Göreme, saya menyempatkan diri untuk mampir ke museum ini. Sekilas, fasadnya memang sama saja dengan gua-gua batu yang tersebar di seluruh Cappadocia. Tapi di sini, gua-guanya sudah rapi, lebih terawat, dan beberapa jalannya dibuat jalur berundak supaya lebih mudah dilalui.

Yang membuatnya istimewa, Göreme Open Air Museum merupakan bekas kompleks biara dengan gereja-gereja kuno yang dipahat di dalam perutnya. Saya melangkah masuk diliputi keheningan. Angin bertiup sepoi, menerpa dahan-dahan kering yang melambai. Seekor anjing berlarian ke sana ke mari, asyik bermain untuk menarik perhatian pengunjung yang berbicara dengan berbisik.

Rupanya, sebagian aturan memasuki rumah ibadah berlaku juga untuk tempat ini. Saya pun dengan tertib mengikutinya. 

.: Desa Göreme dilihat dari ketinggian :.

Sebelum memasuki gua-gua, saya terpikir untuk mengikuti langkah anjing tadi. Maklum, sepertinya tak ada yang memerhatikan tingkah anjing tadi selain saya dan seorang perempuan dari Jepang. Anjing ini berlari ke arah semak-semak, seperti akan terjun ke arah jurang. Saya ikuti langkahnya dan saya terhenti di suatu titik. Saya melihat dari kejauhan. Terlihat Desa Göreme membentang layaknya dikepung bebatuan runcing. Sungguh memukau dan mengundang decak kagum.   

Setelah dibantu untuk mengambilkan gambar dengan latar Desa Göreme oleh turis Jepang, saya kembali menyusuri jalur tur ke gua.  

Ceruk-ceruk yang membetuk gua di kompleks Göreme Open Air Museum mengingatkan saya akan tokoh kartun Flinstones. Meski sekarang sudah tidak dihuni lagi, zaman dulu gua-gua ini merupakan sebuah kompleks biara lengkap dengan gereja, kamar, dapur, gudang, dan tempat pemakaman para santo.

Berhubung jalan sendiri, mencuri dengar penjelasan dari pemandu yang membawa rombongan tur dari Eropa, saya seperti belajar kembali sejarah dengan cara yang lebih menyenangkan. Di abad ke-4 Masehi, tiga teolog terkenal yaitu Saint Basil The Great, Saint Gregory of Nysaa, dan Saint Gregory of Nazianzus menyebarkan ajaran Kristiani di kawasan Cappadocia. Itulah mengapa nama Cappadocia ada di kitab Injil Perjanjian Baru karena kawasan ini merupakan wilayah penyebaran agama Kristen masa awal.

.: Serasa di Negeri Dongeng :.

Ada lebih dari sepuluh gereja yang tersebar di dalam kompleks Göreme Open Air Museum. Di antaranya yaitu Saint Barbara Church, Apple Church (Elmali), Snake Church (Yilanli), Dark Church (Karanlic Kiriche), Carikli (Sandal) Church, dan Buckle (Tokali) Church. Gereja-gereja tersebut dibangun sekitar tahun 900-1200 Masehi.

Seperti halnya saat berkunjung ke wisata gua di Indonesia, cara paling mudah untuk 'menikmati' dan mengagumi keunikan setiap gereja yang ada di sini adalah dengan mengikuti petunjuk arah yang disebar di setiap sudut jalur tur. Jalannya sudah dipaving blok, jadi lumayan nyaman untuk jalan kaki.

.: Jalan Menuju ke 'Lubang' Gereja Eumali :.

Ukuran gereja dalam gua di Göreme Open Air Museum terbilang sempit mengikuti besaran pilar yang dipahat. Meski tidak ada pendingin udara, memasuki dalam gereja rasanya sejuk sekali. Sirkulasi udara diatur sedemian rupa sehingga penghuni di dalamnya tidak merasa pengap. Saya membayangkan dan mendapatkan secercah jawaban mengapa zaman dahulu orang-orang ini bisa bertahan lama bersembunyi di tempat yang sering ditempa perubahan suhu dan cuaca yang ekstrim seperti di Cappadocia.

Yang tak membuat bosan, interior gereja di dalam gua-gua ini dilukis dengan fresco berupa mozaik bernuansa ajaran Kristiani. Ada mozaik Yesus Pantokrator, Bunda Maria, dan santo yang menjadi pengikut Yesus. Mozaik ini merupakan beberapa peninggalan gaya Byzantium yang masih terawat hingga sekarang.

Namun, saya perhatikan mozaik-mozaik unik yang menempel di langit gereja ini kehilangan mata. Hampir semuanya demikian. Ternyata, bukan saya saja yang merasakan kejanggalan tersebut.

.: Mozaik Yesus Pantokrator :.

"Dulu, masih ada warga lokal yang percaya dengan takhayul. Mereka berusaha menghapus bagian mata setiap mozaik tersebut karena dianggap sebagai simbol 'mata setan' yang kerap membawa sial," kata Pemandu yang menjawab keheranan seorang peserta tur.

"Tapi, tenang saja. Nanti di dalam The Dark Church, kita dapat menikmati mozaik seperti ini dengan kondisi masih utuh. Mozaik di sana bisa selamat dan terawat hingga sekarang karena sempat tertutup sarang dan kotoran burung. Sungguh, cara Tuhan yang sangat ajaib bukan untuk menjaga salah satu ciptaannya," lanjut Sang Pemandu memberikan penjelasan dengan terperinci.

Memang tidak semua gereja dilukis sosok suci dalam ajaran Kristiani. Di beberapa dinding, lukisannya hanya berupa simbol salib saja. Saya baru tahu bahwa pemahaman ini mengikuti ajaran dalam agama Islam yang menghindari (atau bahkan melarang) menggambarkan makhluk hidup di dalam rumah ibadah.

Pemahaman tersebut berkembang pada tahun 725-845 Masehi atau dikenal dengan periode ikonoklastik. Setelah periode tersebut usai, mozaik orang-orang suci mulai menghiasi kembali langit-langit gereja. Bahkan dengan warna yang lebih meriah.   

.: Pintu-Pintu 'Gua' di Dalam Batu :.

Melihat betapa indahnya mozaik-mozaik ini dan begitu terawatnya hingga sekarang, saya tak kuasa untuk mengabadikannya sebagai kenang-kenangan. Sebenarnya, pengunjung tidak diperbolehkan untuk mengambil gambar bagian dalam gereja. Apalagi mozaik yang ada di langit-langitnya.

"Lampu blitz bisa merusak kelestarian dari mozaik-mozaik itu," kata Pemandu memberi penjelasan dengan sabar.

Berhubung alasannya karena itu, saya sempatkan mengambil satu-dua foto saja dengan memakai kamera ponsel. Tentu tanpa lampu blitz. 🙈🙏 (Jangan dicontoh!). Meski pemandunya diam saja, tetap saja saya merasa bersalah.

Saya berjalan lagi mengikuti alur jalur tur. Gua-gua ini sebenarnya menampilkan hal-hal yang kurang lebih sama. Saya tidak tahu dulunya seperti apa. Dengan banyaknya jumlah gereja di lokasi yang sangat berdekatan, saya asumsikan kompleks ini sebagai kompleks perumahan dengan mushala-mushala yang jemaahnya berasal dari gua-gua yang ada di dekatnya.

.: Makam di Salah Satu Gereja Bawah Tanah :.

Di salah satu ruangan bawah tanah sebuah gereja, saya melihat ada beberapa liang lahat yang berisi kerangka para santo di masa lalu. Tulang-belulang tersebut dibiarkan seperti aslinya dan dilapisi sebuah kaca dengan penerangan cukup agar tetap terlindungi sekaligus mudah untuk diamati oleh pengunjung. 

Beberapa gua saya jangkau dengan meniti anak tangga. Bahkan, secara bergantian dengan pengunjung lain, saya antri tertib untuk memasuki salah satu ruangan gua paling atas. Meski kemiringan saat mendaki dan turunnya sangat curam, tapi begitu sampai di atas, panorama yang disajikan memang sungguh spektakuler. Desa Göreme membentang indah di kejauhan.

Saya membayangkan, sebelum ada tangga ini, manusia penghuni gua ini pastilah orang-orang tangguh yang sudah ditempa untuk menjelajah alam. Untuk bisa istirahat dan terlindung saja mereka harus membutuhkan tenaga dan usaha yang keras. Makanya, saya selalu terbayang dengan kehidupan serupa Flinstones saat menyaksikan sendiri keadaan gua-gua di sini. 

.: Gua Paling Atas dengan Panorama Desa Göreme :.

Dalam perjalanan kembali ke pintu keluar, saya menyaksikan lagi panorama yang sungguh asing dan aneh. Antara berada di bulan atau di padang gurun Ababwa dalam kisah Aladdin. Jalan yang berliku bersisian manis dengan gua-gua yang bermuara di kaki sebuah bongkahan batu. Bentuknya seperti dalam latar sebuah film fantasi atau negeri dongeng para peri. Saya berjalan pelan menyusurinya untuk menuju pintu keluar.

Matahari senja telah bergelayut teduh. Angin tak lagi berhembus sepoi. Di pintu keluar kompleks Göreme Open Air Museum terdapat sebuah toko suvenir. Pengunjung bisa membeli cenderamata berupa kartu pos, magnet kulkas, gantungan kunci, dan sebagainya. Saya melewatkan belanja di toko ini karena ingin belanja oleh-oleh di Desa Göreme saja yang harganya tentu jauh lebih murah.

Saya justru buru-buru keluar kompleks ini karena ada satu gereja yang lokasinya berada di luar kompleks Göreme Open Air Museum tapi masih dalam satu kesatuan. Pengunjung cukup menunjukkan tiket masuk Göreme Open Air Museum saja. Lokasinya sekitar 300-an meter sebelah kiri pintu keluar.

.: Göreme Open Air Museum dari ketinggian. Seperti Latar sebuah Dongeng :.

Gereja ini bernama Tokali Kilise, gereja paling besar di kompleks Göreme Open Air Museum. Dibangun pada abad 9 Masehi dan menurut saya merupakan gereja paling indah di kompleks museum. Ruangannya terbagi menjadi empat yaitu The Old Church, The Larger New Church, The Paracclesion, dan The Lower Church. Ruangan-ruangan tersebut dibangun dalam rentang waktu yang berbeda. Dari papan informasi, sesuai namanya, ruangan The Old Church merupakan ruangan pertama yang dibangun yaitu pada abad ke-9.

Yang membuatnya sangat istimewa, dindingnya dilukis dengan mozaik perjalanan Yesus sejak masa kelahiran hingga kebangkitannya. Gereja ini pernah direstorasi tahun 1980-an sehingga keadaannya paling terawat. Sayang sekali pengunjung tidak diperbolehkan sama sekali mengambil gambar di dalam gereja. Kali ini saya pun patuh dan tidak mencuri-curi kesempatan. Saya hanya sanggup merekamnya dalam ingatan.

.: Toko Cenderamata di Kompleks Göreme Open Air Museum :.

Saya melangkah keluar dari gereja dan kembali menuju Desa Göreme. Jalan sempit di depannya tampak ramai dengan kendaraan pribadi dan bus yang mengangkut wisatawan. Debu dan angin kering mengepul ke udara. Matahari semakin condong ke barat, menimpa warna keemasan pada pilar-pilar gua batu Cappadocia. Saya merasa kembali menjejak bumi setelah seharian seperti diseret melewati lubang waktu menuju negeri dongeng tempat bersemayamnya para peri. [] 

26 komentar:

  1. Kalau liat foto-foto Cappadocia di dunia maya keingetnya ada kayak dari ketinggian trus makan gitu. Gak ke sana mas?

    Cappadocia ini wajib didatangi kalau ke Turki ya. Pengen juga naik balon udara walaupun errr mahal hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ada. Itu roof top hotel-hotel mehong yang ada di Desa Göreme. Aku gak nginep di situ. Wong cuma sehari aja. Cari yang murce hauce aja.

      Cappadocia emang destinasi wajib kunjung kalau ke Turki. Tapi kalau naik balon udaranya bisa opsional aja. Mahal emang. Nanti aku tulis di postingan selanjutnya aja ya hehehe :)

      Hapus
  2. Salut sama interest travel-mu, mas. Aku aja kalo ke Turki kayaknya nggak akan ke sini. Semoga semakin banyak ya orang-orang berpikiran terbuka seperti mas Adi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe terima kasih. Kebanyakan turis Indonesia sebenernya main juga ke tempat ini kalau ke Cappadocia. Lokasinya dekat banget kok sama pusat desa. Tapi memang kembali ke ketertarikan pribadi sih. Soalnya bentuk batuannya paling unik di antara batuan yang lainnya :)

      Hapus
  3. Saya dulu waktu kecil suka banget menonton Flintstones hehe tapi nggak pernah kebayang akan ada bentukan aslinya :D

    Waktu ke Turkey juga nggak ada pikiran mampir ke tempat seperti ini, jadi betul-betul cerita baru banget setelah baca detail yang mas jabarkan di atas :3

    By the way, seram juga ya ada jasad di kaca area gua bawah tanah begitu. Huhu. Saya paling nggak bisa masuk ke gue, entah kenapa rasanya seperti tercekik jadi nggak bisa napas hahaha. That's why paling saya hindari. Tapi dari cerita mas jadi tau dalamnya seperti apa :O

    Happy travelling ya mas, and keep sharing!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe terima kasih. Tapi, gua-gua di sini tidak dalam kok lubangnya. Ukuran guanya seluas pilar batu yang bisa dilubangi.

      Seru deh. Cobain nanti kalau ada kesempatan main lagi ke Cappadocia :)

      Hapus
  4. Wih keren liat gunung-gunung batu dipahat jadi bangunan.. Sementara puasin dulu baca dan mantengin blog dulu moga2 one day bisa sampai ke luar negeri

    BalasHapus
  5. waahhh, beneran mirip kediapan the Flintstones kwwkwkw

    Coba kalau disana ada penyewaan kostum dan pentungannya juga ya
    PAsti keren banget berfoto dengan latar rumah mereka menggunakan kostum mereka hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe penyewaan kostum tidak ada. Karena memang lokasi ini dulunya adalah kompleks gereja.

      Tapi, di tempat-tempat lain semisal di Istanbul, ada penyewaan kostum yang bisa digunakan untuk berpose ala ala sultan :)

      Hapus
  6. Cuma bisa mengagumi saja keindahan gambarnya, soalnya kayaknya ga bisa ke turki untuk lihat goa nya secara langsung.😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berdoa saja yang kenceng. Terus nabung. Kerja yang ulet. Meski terdengar klise, tapi emang begitu lho aku dulunya :)

      Hapus
  7. wah, kalau dibuat untuk konten youtube pasti mantap tu mas, soalnya indah sekali pemandangannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe iya. Sayang sekali saya bukan yutuber dan belum minat untuk memvideokan perjalanan. Mungkin sudah banyak juga yang bikin konten yutub di sini. Dicari aja :)

      Hapus
  8. Harus balik sih ke Cappadocia ini. Aku paling sukaaaa banget liat bangunan2 bersejarah gini mas. Apalagi kalo diceritain historynya. Lgs kyak ngebayangin masa lalu, pas masa lagi kata2nya :D. Semoga bisa ksana dlm wkt dekat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Semoga segera terwujud mbak. Tapi jangan waktu dekat-dekat ini. Saat ini Cappadocia lagi ada salju tipis-tipis. Gak asyik buat jalan-jalan manja. :)

      Hapus
  9. pada saya binaannya sangat2 berseni dan mahal... orang sekarang belum tentu mahu membina rumah sedemikian kecuali di Da Lat (ada Crazy House) hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tempat-tempat ini memang sengaja dibangun sebagai tempat bersembunyi. Dalam keadaan terdesak dan ingin berkembang dalam menyebarkan ajaran Kristiani, mereka bertahan hidup dengan membangun gua-gua ini sebagai tempat persembunyian :)

      Hapus
  10. Lewat blogpost kakak, aku jadi ngerasa lagi tour ke tempat-tempat bersejarah! Hahaha. Sepertinya seru kalau ke tempat-tempat bersejarah gitu ya, suka kebayang suasananya pada jaman dahulu seperti apa.

    Nice post, kak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga suatu saat bisa kesampaian merasakan sendiri suasana tempat bersejarah di Goreme ya. Aamiin :)

      Hapus
    2. Meski terdengar klise, saran paling logis yang sering kusampaikan ke netijen yaitu menabunglah dari sekarang ;)

      Hapus