Jumat, 29 November 2019

Nostalgia dalam Sinema Bersama Trinity Traveler

.: The Naked Traveler 2 :.

Semalam saya nonton film Trinity Traveler. Film ini diangkat dari sebagian kisah di buku The Naked Traveler 2. Saya pertama kali membaca buku ini tahun 2010. Waktu itu beli karena mau ke Bali dan tidak punya buku buat bacaan di perjalanan. Saat itu, saya belum kenal Trinity, belum pernah melihat orangnya, bahkan fotonya sekalipun. Entah sudah berapa kali buku ini saya baca. Satu dasawarsa berselang, buku ini diangkat ke layar lebar.

Seperti yang pernah saya tulis di postingan ini bahwa mungkin terkesan lebay kalau dibilang buku ini mengubah hidup saya. Tapi jujur, beberapa prioritas dalam hidup saya agak sedikit bergeser setelah membaca buku dan mengikuti postingan (budhe) Trinity di blognya. Saya yang dari kecil sudah terbiasa diajak jalan-jalan sama orang tua, jadi kecanduan untuk bisa jalan-jalan terus.

Awalnya saya tidak tahu kalau film tentang jalan-jalannya Trinity ini akan dibuat dalam dua film. Begitu ada up date tentang jadwal rilis film di akun media sosialnya, saya jadi tak sabar untuk menontonnya. Jika tidak ada kesibukan yang berarti, saya selalu berusaha nonton film di hari pertama penayangannya. Dan film ini saya tunggu-tunggu karena lokasi pengambilan gambarnya sebagian besar berada di tempat-tempat yang sudah saya kunjungi. Jadi, sembari nonton film, saya ingin bernostalgia dengan momen yang pernah saya alami selama perjalanan di lokasi yang dijadikan latar film ini.

.: Mendaki Krakatau :.

Di awal-awal film, saya sudah dibuat takjub dengan kilasan gambar perjalanan Trinity ke Gunung Anak Krakatau. Gunung ini ada di Selat Sunda. Pernah menggegerkan dunia gara-gara letusannya yang maha dahsyat itu. Nah, saya pergi ke sana tahun 2014 sekalian kondangan ke tempat kawan.

Ternyata gunungnya memang tidak terlalu tinggi. Jalan santai sambil foto-foto dari pantai sampai ke titik tempat diperbolehkan mendaki kira-kira hanya setengah jam saja. Tapi kalau sudah siangan dikit, panasnya memang ampun-ampunan pasir di sini. Yang paling saya ingat dari perjalanan ini adalah tentang kelalaian saya membawa kartu memori kamera. Alhasil, saya hanya mengandalkan kamera gawai dan kamera teman saya.  

.: Berlayar di Teluk Lampung :.

Masih berlokasi di Lampung, di kesempatan lainnya saya main air di lautnya yang biru jernih. Lampung ini memang destinasi murah meriah kalau mau ke pantai cantik atau sekadar pengen nyebur ke laut yang airnya hijau toska. Lokasinya relatif dekat dari Jakarta. Suasananya masih lumayan sepi. Dan ongkosnya tidak terlalu mahal.

Dengan budget terbatas dan tidak perlu cuti, kita bisa mendapatkan suasana pantai yang sepi dengan pasir putih yang lembut. Kalau beruntung, kita juga bisa menyaksikan rombongan lumba-lumba lucu yang melintas di perairan ini. Dulu, kalau mau lihat lumba-lumba di Lampung, orang pada rombongan ke Teluk Kiluan. Berangkatnya pagi-pagi sekali. Entah sekarang masih hits atau tidak 'atraksi' ini mengingat jalan ke sana memang jelek sekali parahnya.

Satu hal bucket list yang belum kesampaian sampai sekarang berkaitan dengan jalan-jalan di Lampung yaitu memandikan gajah di Way Kambas. Beberapa kali mau ke sana selalu ditunda karena ada alasan lain.

.: Disapa Sekawanan Gajah :.

Dari perjalanan-perjalanan ini, ada beberapa hal yang membuat pandangan dan kebiasaan saya sedikit berubah. Saya merasa jadi tambah peduli dengan lingkungan. Yang paling sederhana yaitu dengan membuang sampah pada tempatnya, tidak pipis sembarangan, menghabiskan makanan yang dibeli, tidak memetik tanaman di gunung atau tempat wisata, dan tidak meninggalkan jejak merusak pada spot wisata yang didatangi.  

Selain itu, saya selalu merekomendasikan kawan-kawan untuk menikmati keunikan fauna di habitatnya langsung. Atau kalau misal harus di taman hewan, setidaknya hewan-hewan yang dilihat itu tidak dalam keadaan dikerangkeng. Mereka sama bebasnya dengan orang yang sedang tamasya menontonnya, mendapatkan pasokan makanan dan minuman yang cukup, dan tidak dijadikan objek swafoto berdasarkan antrian. 

Yang lebih ekstrim, saya juga menghindari nonton atraksi topeng monyet dan sebisa mungkin berusaha mendorong agar pemimpin daerah setempat mengeluarkan aturan pelarangan pertunjukan topeng monyet. Saya urung ikut atraksi naik gajah. Gajah ternyata punya 'konstruksi' tulang punggung yang memang tidak digunakan untuk menopang beban berat. Kalau ada scene dalam film Trinity Traveler yang kurang saya sukai mungkin di adegan waktu naik gajah. 

.: The Legend of Komodo Dragon :.

Kesenangan dalam berinteraksi dengan flora dan fauna di alam liar menyeret saya ke dalam pelukan taman-taman nasional di nusantara. Yang paling hits tentu saja Taman Nasional Komodo, tempat bermukimnya naga nusantara. Saya main ke sini pertama kali tahun 2010. Taman Nasional Komodo belum masuk dalam daftar The New Seven Wonders of Nature. Ke sananya naik perahu nelayan sederhana. Trip ini bertajuk sailing trip. Paket yang ditawarkan berupa paket lengkap berlayar selama empat hari tiga malam dari Mataram ke Labuan Bajo atau arah sebaliknya. 

Aktivitasnya didominasi dengan trekking ke dalam hutan, nyebur ke laut, dan leyeh-leyeh di pantai. Highlight-nya tentu saja mengunjungi komodo di habitatnya langsung. Makanan sudah termasuk di dalamnya. Karena capek trekking dan berenang seharian, setiap sore semua orang sudah pada posisinya masing-masing di geladak atas untuk tidur-tiduran karena ombak tinggi dan pemandangan sekitar gelap gulita.

.: Gili Lawa yang bikin nganga :.

Pulau Padar yang jadi latar film belum menjadi spot wisata populer seperti sekarang. Dulu, untuk menikmati keindahan Taman Nasional Komodo dari ketinggian, pengunjung diajak trekking di Gili Lawa. Landskapnya memang spektakuler. Dengan lengkung pantai berpasir putih dan laut dengan air bergradasi warna hijau biru membuat setiap foto jadi tampak instagramable. Kemiringan bukitnya bisa mencapai 60 derajat dan tidak ada tangga. Orang yang tidak biasa mendaki bisa megeh-megeh begitu sampai atas. Sahabat saya saja tidak sampai puncak dan memilih duduk-duduk di pertengahan jalur mendaki demi menunggu saya.

Hampir semingguan terombang-ambing di tengah laut, begitu mendarat di Labuan Bajo, jalan rasanya bisa goyang-goyang sendiri. Tapi itulah seninya. Saya mencoba untuk menikmati desa nelayan ini dengan mencicipi masakan laut dan jalan-jalan di sepanjang pantainya. Pusat keramaiannya hanya ada di jalan utama saja. Bandaranya juga masih sederhana. Sampai akhirnya masuk dalam salah satu destinasi unggulan pariwisata Indonesia, saya kembali lagi tahun 2015 dan melihat perubahan yang sungguh luar biasa. 

.: Magical Labuan Bajo :.

Hotel tumbuh bak cendawan. Bandara jadi semakin bagus dan modern. Jalan beraspal semakin panjang dan pilihan makanan lebih bervariasi. Alamnya masih sama indahnya. Apalagi saat matahari terbenam. Sungguh magical rasanya. Hanya saja, rumor-rumor tidak sedap yang mengatakan bahwa tempat ini akan dijadikan destinasi wisata premium dan sebagainya menurut saya yang agak mengganggu.

Selesai dengan latar nusantara, saya teringat dengan kunjungan saya ke Manila yang jadi latar juga di film Trinity Traveler. Memang sih, dibandingkan dengan Singapura atau Malaysia, Filipina belum menjadi tujuan kebanyakan turis asal Indonesia. Mungkin karena pilihan maskapainya tidak sebanyak kalau ke negara jiran Singapura dan Malaysia. Padahal, alamnya tidak kalah indah dengan Indonesia karena bentuk negara berupa kepulauan juga.

Saya sampai menebak-nebak lokasi syutingnya di sebelah mana saat nonton film. Beberapa ternyata sudah saya sambangi. Lokasi di keramaian itu kalau tidak salah berada di kawasan Quiapo, daerah muslim Manila. Sepuluh menit jalan kaki dari situ saya waktu itu menuju Intramuros. Area ini merupakan kompleks 'kota tua' Manila yang dijejali dengan bangunan cagar budaya seperti gereja, benteng, rumah-rumah kuno, dan kastil. Salah satunya dan menjadi latar dalam film adalah Casa Manila.

.: Mabuhai Manila :.

Museum ini merupakan duplikasi dari rumah San Nicolas yang berlokasi di Calle Jaboneros. Dibangun tahun 1850-an. Sebenarnya saya tidak memerhatikan kalau ini merupakan museum. Saya hanya tertarik dengan pintu masuknya yang seperti sebuah gerbang istana. Jadi, saya masuk aja dan foto-foto. Eh, ternyata tidak diperkenankan mengambil foto di dalam. Akhirnya saya beranjak keluar museum dan menuju gereja Santo Agustinus yang ada di sebelahnya.

Kembali ke film Trinity Traveler, secara umum saya sebenarnya selalu suka dengan kisah perjalanan. Tapi berhubung hampir tidak pernah memasukkan unsur 'main hati' dalam perjalanan selama ini, saya agak kurang sreg saja dengan kisah cinta di dalam film ini. 😐

Namun, satu hal yang menghangatkan hati adalah pesan ikhlas dalam menolong orang lain dalam perjalanan tanpa mengharap imbalan apapun seperti yang dilakukan oleh Trinity kepada Mr. X. Saya selalu percaya pada karma baik dan berusaha terus menerus untuk menanamnya. Karena kita tidak pernah tahu, melalui tangan yang mana pertolongan Tuhan akan datang saat kita benar-benar membutuhkannya. Dan setelah keluar dari bioskop, rasanya seperti saat saya baru saja tiba di bandara Soekarno Hatta Jakarta sepulang jalan-jalan. Duh, saya jadi pengen jalan-jalan lagi. []

Baca Juga: Saya dan (Budhe) Trinity, The Naked Traveler 🌻🌺🍁 

14 komentar:

  1. Balasan
    1. Hehehe betul. Sekadar untuk melemaskan otot-otot tangan dan pikiran agak lebih lancar lagi dalam menulis :)

      Hapus
  2. gillaaakkk, bikin ngileeerrrr gili lawanya sm labuan bajoooo.. huhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berangkaaat. NTT emang keceh buat foto-foto. Ini juga kangen banget buat ke sana lagi :)

      Hapus
    2. Racuuunnn emg ya anda. Wkwkwk
      Masuk wishlist tahun depan ah, semoga ada kesempatan buat ke NTT

      Hapus
    3. Aamiin, semoga sehat, rezeki lancar, dan punya banyak cuti :)

      Hapus
  3. Wahhh keren banget mas. Kami masih belum menonton film Trinity yang terbaru tapi setidaknya perjalanannya begitu mempesona.


    Salam kenal dari kami Travel Blogger Ibadah Mimpi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe semoga bisa segera nonton kalau masih ada di bioskop. Semangat nabung dan jalan-jalan :)

      Hapus
  4. Berkat buku kedua ini pula aku akhirnya bisa jumpa dengan Mbak T, setelah sebelumnya khatamin semua tulisannya di blog dan di buku pertama.

    Jadi pingin ke Manila, cuma karena mau napak tilas tempat2 yang disebutkan di buku. Aminnya mana? hehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Banyak tiket murce hauce kok dari Jakarta ke Manila. Tapi gak tau Palembang - Jakartanya gmn hehehe.

      Filipina itu hidden gems Asia Tenggara, soalnya banyak banget bekas bangunan Spanyol dan budayanya. Keren deh :)

      Hapus
  5. Mantap mas.. dikit lagi akan setenar bude Trinity lo... sukses terus

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe setiap pejalan punya keunikannya sendiri mas. Cuz jalan-jalan lagi :)

      Hapus
  6. iya sih,, kalau nonton film trs latarnya itu tempat-tempat yang pernah kita kunjungi,, duuh langsung mendadak nostalgia :)

    wah 2010 udah ke komodo aja mas.. saya ke komodo pertama kali tahun 2012 itu pun masih jaraaaang bgt wisatawan indo..

    -Traveler Paruh Waktu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, tahun-tahun itu sepertinya memang masih gencar-gencarnya promosi. Sebenarnya malah agak kurang suka, karena mass tourism selalu gak asyik endingnya. Entah jadi alamnya rusak atau malah banyak atribut-atribut yang mengganggu pemandangan macam gapura, papan nama, atau apalah yang menandai suatu tempat. Tulisan Iamsterdam di Belanda itu memang unik. Tapi begitu semua tempat di Indonesia jadi latah bikin tulisan serupa, rasanya kok ya enggak banget. Malah cenderung 'merusak' keindahan itu sendiri :(

      Hapus