Sabtu, 03 Agustus 2019

Pocari Sweat Run Bandung 2019: Perjuangan Meraih Sub Empat Maraton Penuh

.: Merayakan latihan di ajang Pocari Sweat Run Bandung 2019 😻 Foto oleh Cerita Lari :.

Setelah mendapatkan catatan waktu terbaik 4:18:38 untuk maraton penuh di ajang bergengsi Bank Jateng Borobudur Marathon 2018 silam, saya mulai menghitung ulang kemampuan diri, mengatur strategi latihan, dan berusaha untuk mendapatkan catatan waktu terbaik sub empat jam di ajang maraton penuh lain yang akan saya ikuti di tahun 2019. Terlihat ambisius memang. Tapi, sepertinya ini menjadi semacam siklus alami bagi seorang pelari: selalu ingin mendapatkan catatan waktu terbaik di ajang maraton berikutnya. Konsekuensinya, selama empat bulan setelahnya, saya harus menjalani latihan yang cukup.

Saya kembali berlatih lari tingkat dasar. Saya pikir, semuanya harus dimulai lagi dari awal. Mungkin inilah cara sederhana yang saya lakukan agar tidak terperangkap dalam belenggu kesombongan. Mendapatkan catatan waktu terbaik di ajang maraton penuh yang jalurnya sangat menantang, acapkali menyeret seorang pelari untuk bersikap jumawa, gampang meremehkan orang lain, dan kerap mengabaikan hal-hal mendasar dalam kegiatan berlari yang ditekuninya. Hal-hal tidak perlu inilah yang berusaha saya hindari.

Sebelum memulai kembali semuanya, saya menyisipkan kegiatan jalan-jalan dan wisata kuliner. Ini saya lakukan agar dalam pelaksanaan latihan nanti, pikiran saya lebih fokus dan rileks, seolah tanpa beban apapun. Setelah itu, saya rutin ikut sesi yang diadakan oleh adidas Runners Jakarta.

Saya belajar latihan dasar dan lanjutan dalam berlari di bawah bimbingan Coach Dodit dan menambah pengetahuan tentang medical dengan Coach Matias Ibo. Selain itu, saya menambah mileage lari dengan berlatih secara mandiri. Sebagai buruh milenial yang dibatasi dengan jam kerja, saya hanya bisa lari jauh saat akhir pekan saja. Saat hari kerja, saya isi dengan lari santai paling jauh lima hingga tujuh kilometer saja. 

.: Advance Running Workshop with Coach Dodit 👊 Foto oleh Reinhard Perkasa :.

Empat bulan berselang, saya mengadu peruntungan untuk meraih sub empat jam di ajang Amazing Thailand Marathon Bangkok 2019. Semuanya berjalan baik. Cuaca baik. Kondisi udara Bangkok yang sebelumnya dikabarkan tidak kondusif, berangsur-angsur normal saat ajang berlangsung. Jalur lari sangat steril. Saya menikmati lari di Bangkok hingga berani pasang badan kalau inilah ajang lari (yang pernah saya ikuti) yang paling sesuai dengan tagline acaranya: The Unforgetable Marathon, karena memang memberikan kesan yang berarti bagi pesertanya. Setidaknya, itulah yang saya rasakan.

Namun demikian, sub empat yang saya idam-idamkan ternyata belum dapat saya raih. Semuanya baik-baik saja. Catatan waktu saya pun sesuai dengan perkiraan sampai dengan km 30. Menginjak km 31.5, kaki saya kram. Di luar 'gangguan' bahwa makanan Thailand sungguh uenak bukan main (dan melimpah porsinya di setiap water station), saya harus menyeret kaki hingga km akhir 'hanya' dengan pace 6. Meski mencetak catatan waktu terbaik yang baru, saya harus puas saat menyelesaikan maraton penuh dalam waktu 4:14:25

Sepulang dari Bangkok, saya kembali mengevaluasi diri. Mungkin benar, saya terlalu ambisius. Memangkas 18 menit waktu ternyata tidak semudah itu. Saya harus bersabar dulu. Mungkin masih banyak yang harus saya pelajari untuk bisa sampai ke tahap tersebut. Di sesi-sesi medical workshop berikutnya, saya kerap memberondong coach Matias Ibo dengan banyak pertanyaan. Terutama untuk mencari jawaban yang memuaskan tentang penyebab kram yang saya alami di km 31.5. Sebenarnya, saya cukup 'beruntung', baru merasakan kram di km 31.5. Bulan Desember silam, saat ikut Standard Chartered Singapore Marathon 2019, saya mengalami kram dua kali yaitu di km 17 dan km 27. Sungguh mimpi buruk yang saya harap tidak akan pernah saya alami lagi.

.: Medical Workshop with Coach Matias Ibo 👃 Foto oleh Reinhard Perkasa :.

Selain masih rutin mengikuti sesi latihan lari tingkat lanjut yang diasuh coach Dodit, saya mulai membuat catatan-catatan atas analisis dan diagnosa yang disampaikan oleh coach Matias Ibo, mengulang-ulang gerakan sederhana untuk melatih otot kaki, dan ikut sesi latihan penguatan tubuh bersama coach Eckie Akbar untuk melengkapi rangkaian latihan ini. Mungkin inilah yang belum banyak saya lakukan. Latihan penguatan inti tubuh. Jujur, setiap sesi Strength Training berlangsung, saya kerap absen karena sedang berada di luar negeri atau sedang ada acara di luar daerah. Pelan-pelan, saya berlatih penguatan inti tubuh baik di sesi latihan bersama pelatih maupun latihan mandiri di rumah.

Gol saya masih sama: sub empat jam maraton penuh. Tapi di mana?

Sebenarnya, setelah maraton di Bangkok, saya sudah ikut Jogja Maraton. Catatan waktunya tidak banyak berubah dibandingkan dengan Bangkok. Saya memang tidak banyak melakukan persiapan berarti. Apalagi saat itu, saya baru pulang dari Eropa dan masih jet lag tapi sudah pengen banget merasakan euforia bersama kawan-kawan pelari, sehingga maraton di Jogja saya anggap sebagai latihan lari jauh saja.   

.: Strength training with Coach Eckie Akbar 💪 Foto oleh Andri C.S. :.

Bandung Siap Digoyang? 😋

Berhubung sudah pernah ikut ajang maraton penuh di Bandung tahun sebelumnya, ajang tahun ini saya jadikan semacam remidi maraton. Tahun lalu catatan waktu saya 04:31:35. Hasil itu masih lebih bagus daripada catatan virgin maraton penuh di Standard Chartered Kuala Lumpur Marathon 2018 selang dua bulan sebelumnya yaitu 04:51:21.  

Catatan waktu seperti ini saya simpan untuk bahan evaluasi dalam menetapkan target berikutnya. Saya tidak mau gegabah menetapkan suatu target yang terlalu muluk tanpa memperhitungkan kemampuan diri. Nah, di ajang Pocari Sweat Run Bandung 2019 ini saya pikir akan menjadi ajang yang pas untuk meraih sub empat maraton penuh.

Setidaknya, dengan hitung-hitungan catatan waktu 10K 49:04 dan setengah maraton 01:52:00, dengan bantuan gelang paceband sebagai panduan, saya yakin bisa sub empat.

.: Siap menggoyang Bumi Parahyangan 💋 :.

Saya belajar pelan-pelan. Semua catatan saya pelajari dan praktekkan. Saya ingat-ingat kembali materi yang disampaikan oleh para pelatih. Saya latihan intensif, mulai gerakan lari yang efisien, menikmati sesi carbo loading sejak seminggu sebelum race, dan istirahat yang cukup. Ini penting sekali. Berkaca pada pengalaman saat ikut ajang BNI-UI Half Marathon 2019 dalam keadaan kurang fit karena kelelahan dan kurang tidur, meski bisa selesai sub dua, tapi stamina saya drop di km 15. Padahal biasanya lari setangah maraton ya biasa saja. Saya harap hal seperti ini akan bisa saya antisipasi sebelumnya.

Saya 'menabung' tenaga dengan tidur lebih awal setiap hari dan makan nasi lebih banyak daripada porsi biasanya, serta mengurangi porsi latihan. Hidup rasanya ingin seperti koala saja: makan dan tidur sepanjang hari, sampai hari sebelum race.

Berhubung ada tugas ke luar kota sebelum race, saya tiba di Bandung hari Sabtu siang. Mengambil perlengkapan lari di Festival Citylink, makan siang di tempat yang sama bersama kawan-kawan kesayangan, dan langsung ke hotel untuk tidur. Sedianya ingin lari 5K di Gasibu pada sore hari, namun saya lewatkan dengan memilih menjadi koala saja di tempat tidur. Hidup rasanya memang menyenangkan kalau sedang liburan tanpa harus lelarian. 😐

.: Kejar terus mz ... kejar akoooh 😰 Foto oleh Telaumbanua :.

Saya tidur nyenyak malam itu. Tidak seperti malam-malam lain saat akan mengikuti maraton penuh, kali ini saya tidur nyenyak sekali. Bangun jam 03.00 tepat sesuai jadwal yang saya tetapkan, lalu bersiap. Saya sempatkan dulu untuk salat malam agar hati ini lebih 'tenang'. Entah mengapa, energi religius seperti ini kerap sekali muncul saat saya harus menempuh jarak lari yang lumayan jauh.

Saya keluar hotel pukul 04.00 dan di jalanan sudah ramai dengan rombongan pelari menuju Gedung Sate, tempat ajang ini berlangsung. Sampai venue pun semua antrian sudah mengular. Saya perlu menitipkan tas untuk tempat minum dan segala sesuatu keperluan saya sehabis lari. Untunglah saya bertemu Putra Trijee, sahabat julid yang ingin menitipkan tas juga. Berhubung dia ikut kategori setengah maraton, waktu startnya masih lebih longgar. Sementara saya harus salat subuh dulu sebelum lari. Jaraknya mepet pula. Karena tidak membawa sarung sendiri, saya harus menunggu giliran. Harus sabar dua kali saat tahu Sang Imam salat harus membaca ayat lumayan panjang. Tidak mengapa. Hati harus tetap tenang. Lari itu duniawi. Masih akan ada lagi ajang yang sama di lain waktu. Akhirat lebih penting. Alhasil, saya mulai lari telat dua menit dari waktu lari resmi dimulai.

.: Mengorbankan segala kehenseman hqq demi sub 4 🙈 Foto oleh Ourstories :.

Seperti lazimnya kalau telat lari dalam race dengan jumlah peserta ribuan, saya memulai lari dengan langkah zig-zag. Ini sebenarnya sangat tidak efisien untuk endurance. Saya melipir ke sisi sebelah kanan dan menerobos sedikit cone pembatas jalan untuk mendahului pelari yang ada di depan. Motor, angkot, dan kendaraan lainnya berderam-deram mengepulkan asapnya, menunggu rombongan pelari melintas.

Saya berlari dengan pace stabil. Saya tidak ingin terpancing untuk meningkatkan pace seperti yang saya lakukan di maraton sebelum-sebelumnya. Perhitungan saya, jika sebelumnya saya bisa mencapai pace rata-rata enam dengan catatan waktu 04:12:00, seharusnya saya bisa selesai dalam waktu empat jam dengan pace rata-rata 5:20 sampai dengan 5:30. Untuk melakukan ini, saya berlatih tempo run dan belajar mengatur pace setelah membaca catatan lari milik Mas Hafiz Ramadhan, kawan lari dari DJP Runners yang endurance-nya bagus sekali sehingga pace-nya bisa rata dari sejak mulai lari, hingga selesai.

Rasanya ajaib bisa mengikuti pola yang ritmis seperti itu. Di km 7, saya didahului oleh Oom Yayan Mulyana dari BSD Running Buddies. Ternyata Oom Yayan telat mulai juga karena harus salat subuh dulu. Panutan. Saya mencoba mengikuti langkah Oom Yayan dari belakang, namun agak jauh. Paling tidak, jangan sampai punggung Oom Yayan tidak terlihat lagi dari pandangan mata saya. Dengan perhitungan tersebut, saya yakin bisa selesai sub empat jam.

.: Anak hensem sejagad raya melewati Jalan Braga 😊 Foto oleh ? 🙈:.

Kontur jalur lari di Bandung yang naik turun sebenarnya sudah saya antisipasi. Di Bangkok, jalurnya lebih ekstrem lagi karena harus naik turun jalan tol. Yang menantang justru karena harus bertemu dengan rombongan pelari di kategori 5K. Apalagi yang bagian belakang kategori ini isinya kebanyakan pejalan rekreasional yang jalannya memblok jalur. Entah perlu berapa tahun lagi untuk mengedukasi para pelari (hore dan pemula) agar berlari sesuai pace dan minggir ke bagian kiri jika ingin hanya berjalan santai.

Lebih menantang dua kali karena melewati banyak perempatan. Entah mengapa, pagi itu sepertinya banyak sekali warga Bandung yang buru-buru menuju suatu tempat sehingga banyak yang tidak sabaran dan menerobos jalur pelari. Sangat disayangkan memang. Mengingat ajang ini menjadi ajang tahunan bagi kota Bandung dan diklaim oleh Bapak Gubernur (dalam iklannya) dapat menghidupkan roda perekonomian. Jika dibilang mengganggu jalan, ajang lari ini hanya berlangsung sampai pukul 12 siang. Itupun hanya khusus jalur maraton penuh saja dan hanya terjadi setahun sekali. Semoga ada pemakluman yang lebih manusiawi lagi jika tahun depan masih diadakan di Kota Kembang ini. 

.: Jalan Asia Afrika, salah satu jalur lari favorit saya di Bandung 😍 Foto oleh Pic2go Indonesia :.

Kilometer demi kilometer saya lalui dengan aman. Tanjakan halus Jalan Dago pun mulus dilalui dengan lancar. Matahari bersinar hangat. Udara masih sejuk. Saya menyempatkan diri mengguyur kepala di beberapa pos water station, terutama di pos Bandrek Runners. Entah mengapa, untuk kali ini saya tidak merasa kelaparan. Saya masih ingat, setahun berselang saya menikmati sekali buah apel yang dibagikan panitia di km 27 dan km 35 (mohon dikoreksi kalau kurang tepat) karena memang lapar. Didahului oleh kawan pelari dari DJP Runners Mbak Karina pun tahun lalu saya tenang saja. Bersyukur, dengan pola carbo loading dan hidrasi yang saya lakukan, tahun ini tidak merasa kelaparan di km akhir. Namun, saya tetap menikmati sepotong semangka yang dibagikan warga di km 39. Rasanya memang seperti oase di tengah padang gurun. Menyegarkan.

Menjelang km akhir, saya meningkatkan pace. Ini saya lakukan karena jalurnya sudah sepi dan cukup teduh. Banyak pepohonan rindang di kanan kiri jalan. Rombongan peserta setengah maraton juga tidak banyak. Malah, saya berpapasan dengan beberapa peserta 5K dan 10K yang sudah beranjak pulang. Rasanya, saya seperti lari biasa di Minggu pagi ceria. Tidak ada yang menyemangati. Tidak tampak pula ada keriuhan yang menunjukkan kalau sedang berlangsung ajang maraton. Mungkin karena pelari di depan saya sudah melesat di depan, sementara pelari di belakang saya masih jauh tertinggal di belakang. Bahkan, punggung Oom Yayan yang saya jadikan patokan waktu pun sudah tidak terlihat lagi. 

.: Dukungan Penuh Semangat 😍 Foto oleh Vivo Tjung :.

Sampai akhirnya saya memasuki kilometer terakhir di Jalan Diponegoro. Rasanya senang sekali. Sorak sorai membahana. Teriakan semangat berkumandang. Rupa-rupa kaos lari dari berbagai komunitas semarak mewarnai jalanan. Namun justru bagian inilah yang paling kurang saya sukai dari lari di ajang Pocari Sweat Run Bandung 2019.

Cheering itu memang menarik. Gaungnya seperti dapat menyuntikkan energi semangat bagi seorang pelari. Saya menitikkan air mata saat diteriaki, "Semangat, satu kilometer lagi finish," saat berlari maraton penuh untuk pertama kalinya di Kuala Lumpur, Malaysia. Saya begitu terharu disemangati oleh masyarakat sekitar Borobudur saat sedang lelah-lelahnya berlari. Saking terharunya, saya masih mengingatnya hingga sekarang sebagai ajang maraton yang warganya paling hangat sejauh ini. Bahkan, di Bangkok, yang bahasa orang-orangnya tidak saya mengerti, semangat itu seperti melesap begitu dalam saat terdengar sayup-sayup di telinga.

Namun, tiga kali mengikuti ajang lari yang sama di Bandung, saya agak terganggu dengan segala cheering yang dilakukan oleh banyak anggota komunitas lari di kilometer akhir menjelang garis finish. Itu terjadi karena mereka melakukannya di jalur pelari, bukan di pinggir jalan. Jalur lari itu harus steril. Hal ini biar sejalan dengan hal yang sering digaungkan dan dikeluhkan oleh pelari selama ini. Tidak boleh ada seorang pun yang bukan peserta atau peserta namun sudah menyelesaikan larinya, menerobos jalur lari, berdiri memblok jalan, membuat sempit jalur lari, atau bahkan mengiringi langkah pelari yang belum finish menuju garis finish dengan alasan apapun.

.: Setelah lepas dari kerumunan netijen 😂 Foto oleh Ardi :.

Melakukan toss secara berendengan itu dapat memperlambat langkah pelari. Apalagi berdiri mengerucut membuat sempit jalan. Sungguh mengganggu sekali. Jujur, saya merasa sangat bahagia saat ada yang memberi semangat ketika sedang berlari maraton. Dan saya sungguh berterima kasih untuk itu. Tapi itu jika dilakukan di pinggir jalan. Di pinggir jalur lari. Bukan di tengah jalur lari. Tidak mengganggu langkah saya dalam berlari dan tidak memperlambat langkah saya menuju garis finish. Kan mau sub empat ceritanya. 🙈

Tiga tahun ini saya melihat kebiasaan tersebut tidak berubah. Tidak ada kesan heroik sama sekali. Justru malah kesan heroik tersebut, secara tidak sadar, direduksi secara massal. Hal serupa juga terjadi di ajang Jogja Maraton. Momen heroik dalam lari maraton itu ialah saat kita bisa menyelesaikan seluruh rangkaian lari sepanjang 42.195 km. Puncaknya ada di kilometer terakhir sebelum gerbang finish. Itulah mengapa ada pagar pembatas yang agak panjang sebelum garis finish. Itu dilakukan agar jalur lari menjadi steril. Nah, di detik-detik terakhir sebelum COT jam 12 siang, bahkan rombongan cheering ini ada yang mencoba mengiringi langkah pelari sampai ke garis finish. Entah apa yang ada di benak mereka saat itu? Mungkin saja khilaf karena gemuruh euforia. Untung saja dibubarkan oleh MC dengan meminta agar hanya pelari yang belum finish saja yang boleh masuk gerbang finish.

Saya harap hal-hal seperti ini tidak akan terjadi lagi di ajang maraton manapun di negeri ini. Semoga, jika membaca tulisan ini, para kapten komunitas memasukkan hal-hal seperti ini dalam amanat untuk membangun etiket pelari di ajang perlombaan lari kepada para anggotanya. Bukan untuk siapa-siapa, tetapi demi kenyamanan bersama. Demi kenyamanan para pelari. Seperti yang selalu didengungkan selama ini: jalur lari harus steril.     

Saya melewati rombongan cheering dengan muka agak cemas. Hal itu terjadi karena waktu sudah mepet sekali menuju batas empat jam sesuai dengan target yang sudah saya tetapkan. Gerbang finish sudah terlihat di depan mata. Saya mendengar dengan tenang semua keriuhan teriakan semangat. Namun, mata saya fokus ke dapan. 

.: Finish dengan ketampanan tiada tara 😱 Foto oleh Asen - LDR :.

Saya terus berlari. Sesekali menengok jam di tangan. Masih cukup waktu. Baru kali ini saya berlari tidak memerhatikan fotografer sama sekali. Fokus dengan gerbang finish. Langkah kaki saya semakin cepat. Namun di saat yang sama, langkahnya mulai mengendur. Saya memasuki gerbang finish dengan roman ceria. Setidaknya itu yang saya rasakan. Saya finish dengan catatan waktu 03:57:45. Waktu official di chip BIB saya mencatat 03:59:37.  Selisih dua menit karena saya harus salat subuh dulu dan terlambat memulai lari.

Alhamdulillah. Badan saya rasanya rileks sekali. Lega. Rasanya latihan yang saya lakukan selama ini terbayar lunas. Meski mepet sekali, setidaknya bisa sub empat seperti yang saya targetkan. Masih banyak hal, tentu saja, yang harus saya perbaiki dari maraton kali ini. Tapi, saya ingin sejenak menikmati catatan waktu ini. Karena pada hakikatnya, ajang perlombaan maraton tak ubahnya merupakan sebuah perayaan akan serangkaian latihan yang sudah kita lakukan. Saya melangkah ringan menuju tempat istirahat, kembali menjadi manusia bebal seperti biasa, yang bilang kapok ikut maraton penuh, tapi begitu bandel ingin ikut ajang maraton berikutnya. Semoga saya siap dengan energi baru yang menggelora sembari terus berharap tidak mengalami cedera. []

8 komentar:

  1. Apakah mas adi mengalami cedera ketika sub 4 itu, bagaimana kalo dibandingkan dengan lari-lari sebelumnya apakah sama cedera juga atau berkurang cederanya? karena mas adi udah ikut training dari coach mathias ibo?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saat lari di Bangkok, saya mengalami kram di km 31.5. Hal itu yang menjadi penyebab saya belum dapat sub empat. Saya berusaha 'mengoreksi' kesalahan itu di Pocari Bandung ini. Alhamdulillah sehat walafiat tanpa cedera :)

      Hapus