Minggu, 11 Agustus 2019

Menjadi Seorang Pelari Maraton

.: Berlari di Ajang Borobudur Maraton 2018. Foto oleh Rungrapher :.

Beberapa kali ikut ajang lari kategori maraton penuh membuat saya sering ditanya tentang kesan apa yang saya rasakan setelah menjadi seorang pelari maraton. Padahal ada banyak pelari lain yang lebih berpengalaman malang-melintang di pelbagai ajang maraton baik di dalam maupun di luar negeri. Mungkin karena mereka tidak menulis seperti saya sehingga kisah-kisah heroik yang mereka alami, tidak didengar oleh pelari yang baru akan merintis pengalaman menjadi seorang pelari maraton. Pengalaman saya dalam 'belajar' berlari maraton selama ini, banyak kisah pelari maraton 'senior' yang menginspirasi.

Sebagai bentuk timbal balik, saya membuat daftar hal yang kerap ditanyakan oleh pelari pemula dalam berlari. Tentu saja, semuanya berdasarkan apa yang sudah saya alami. Saya ingin agar para pelari pemula atau mereka-mereka yang berminat untuk mulai berlari, benar-benar menyiapkan diri dan pada saat yang sama, tidak menganggap olahraga lari sebagai kegiatan yang eksklusif. Semua pernah menjadi pemula. Dan sebagaimana menjadi pemula yang bijak, sebaiknya runut mengikuti dan menikmati setiap proses yang akan dijalani.

Saya jadi ingat ajaran (mbak) Trinity, idola saya dalam dunia jalan-jalan dan perbloggeran. Merunut pada ilmu yang dia bagi, lalu dikawinkan dengan pengetahuan lari yang saya geluti, sebenarnya, seperti halnya 'ilmu' tentang jalan-jalan, berlari maraton itu seperti sekolah. Kita yang membayar race-nya (yang mahal itu), kita pula yang mengerjakan PR-PRnya.

.: Samapta saat pendidikan militer di Markas Paspampres, Lawang Gintung, Bogor :.

Kita menyisihkan sebagian tabungan untuk membeli sepatu, kaos lari, dan segala pernak-perniknya. Itupun tidak murah. Jadi, yang serius menggeluti olahraga lari, pastinya sudah siap 'korban' materi untuk menghidupi hobinya ini. Lalu, seorang pelari juga perlu menyisihkan waktu untuk berlatih, membiasakan organ tubuhnya agar siap ketika dipakai untuk berlari di ajang yang akan diikuti. 

Seperti halnya sekolah yang mempunyai jenjang dan rentang waktu, begitu juga sebaiknya yang dilakukan oleh calon pelari maraton yang baik: mengikuti (dan menikmati) setiap jenjang kategori sebagai pelari. Pertama berlari di jarak pendek terlebih dahulu. Misalnya, seseorang yang berniat menjadi pelari maraton bisa memulainya dengan berlari satu kilometer, tiga kilometer, lalu meningkat menjadi lima kilometer. Jika sudah dirasa mampu, naik lagi jaraknya menjadi delapan kilometer, lalu meningkat lagi menjadi sepuluh kilometer. Begitu seterusnya, berjenjang dan bertahap. 

Tidak masalah jika Anda 'hanya' sanggup berlari lima kilometer, namun bergaul dengan mereka yang sudah lari maraton penuh. Jika ada yang meremehkan, anggap saja sebagai angin lalu. Konsisten dan fokus saja dengan 'materi pelajaran' lari yang sedang dipelajari. Jangan sampai terpancing dengan dorongan, ceracauan, atau bahkan tantangan yang diajukan oleh teman dekat sekalipun. Untuk hal ini, saya berterima kasih untuk dua kesayangan senior yang selalu memberi masukan dan dorongan semangat untuk konsisten dalam berlatih yaitu Buk Yuli Rianastasia dan Buk Regnata Fayola Sitompul. Mereka berdua akan selalu saya ingat sebagai duo marathoner yang 'menyiapkan' mental saya untuk menjadi lebih siap saat akhirnya saya berlari di kategori maraton penuh.

.: Konsisten Berlari di Kategori 5K dan 10K selama setahun :.

Saya ingat sekali pesan keduanya. Lari ini olahraga fisik. Sekali saja seorang pelari pemula memaksakan diri berlari di kategori yang seharusnya belum dia masuki, semuanya akan sia-sia belaka saat terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Sudah banyak sekali kejadian menimpa pelari yang demikian.

"Fokus saja sama kategori jarak lari yang sedang kamu latih saat ini. Gak usah hiraukan omongan orang," nasehat Buk Yul sembari mengajak berswafoto di suatu ajang lari di Jakarta.

Dari obrolan dengan beberapa kawan pelari di Indorunners, saya jadi tahu bahwa 'penyakit' yang paling umum diidap oleh kebanyakan pelari pemula hampir selalu sama. Mereka umumnya terlalu dini (too soon) beralih kategori, dari kategori jarak yang paling pendek (5K, 10K) meningkat menjadi setengah maraton (21K). Atau dari setengah maraton menuju maraton penuh. Padahal sejatinya, seorang pelari tidak harus merasakan lari maraton sejauh 42.195 km lho untuk bisa disebut sebagai seorang pelari. Namun, kadang kala, 'tuntutan' pergaulan dan dorongan panjatan sosial memaksa seseorang untuk mencoba berlari maraton penuh. Ini alasan yang sungguh receh sebenarnya. Tetapi kerap terjadi. Saya sendiri berpindah dalam setiap kategori setelah satu tahun. Saya pikir itu rentang waktu yang cukup. Tidak perlu tergesa-gesa juga. Tetap selow saja.

.: Pelari hore & pacer balalambe sehabis SMTR 10K 😋 :.

Mungkin beberapa pelari mampu menyelesaikan jarak tersebut, namun catatan waktunya kebanyakan biasa saja. Malah bahkan melebihi waktu yang ditetapkan panitia (over COT). Hal ini sungguh tidak baik tentu saja. Kita berlari bukan hanya untuk sekali dua kali race saja. Tapi kalau bisa, berlari secara berkelanjutan. Saya kerap menyampaikan batas capaian waktu maksimum yang bisa ditoleransi untuk dapat naik ke kategori selanjutnya, capaian waktunya 1:10:00 untuk 10K dan 2:30:00 untuk setengah maraton. Jika lebih dari itu, saya menyarankan untuk berlatih kembali di kategori sebelumnya. 

Nikmati saja prosesnya. Saat ingin ikut maraton penuh, saya berkomitmen untuk rajin berlatih. Saya memulainya dari hal yang paling dasar. Latihan pemanasan, ABC drill, jogging ringan, dan sebagainya. Inipun masih saya lakukan meski sudah berkali-kali ikut maraton penuh. Saya pikir, dalam upaya membentuk form lari yang lebih baik lagi daripada sebelumnya, keterampilan dalam berlari perlu diasah terus-menerus.

.: Pelatihan Dasar untuk Pelari. Foto oleh Reinhard Perkasa :.

Selain itu, saya latihan secara mandiri, berlari dalam waktu tertentu (tempo run). Saya juga berlari bersama kawan-kawan Indorunners dalam SMTR setiap Minggu pagi di Runners Avenue, SCBD. Untuk pengetahuan lain tentang berlari seperti tentang kemampuan lari tingkat lanjut, medical dan strength training, saya belajar dari para pelatih di adidas Runners Jakarta. Semuanya belajar dan berlatih sesuai dengan porsinya. Artinya, latihan yang dilakukan disesuaikan dengan gol yang ingin dituju.

'Penyakit' kedua yang kerap diidap pelari pemula yaitu adanya keinginan menggebu untuk bisa langsung lari dengan kencang (too fast). Baru berlatih lari, yang dibahas langsung tentang pace. Berapa pace yang harus dimiliki, berapa pace yang harus dilatih, dan sebagainya. Padahal pace setiap pelari itu berbeda-beda dan akan terbentuk dengan sendirinya sesuai dengan porsi latihan yang sudah dijalankan. Selow aja lagi.

.: Pelatihan Tingkat Lanjut untuk Pelari. Foto oleh Reinhard Perkasa :.

Larinya pun perlu diatur. Dibutuhkan minimal 16 minggu untuk persiapan lari maraton. Dihitung intensitasnya dan disesuaikan dengan kondisi tubuh. Saat pertama kali akan ikut maraton penuh, saya mengadopsi pola latihan yang diampu oleh kawan-kawan Indorunners di Runiversity. Pola latihannya saya modifikasi dan saya sesuaikan dengan jadwal kesibukan di kantor. Tidak harus juga setiap hari wajib lari. Saat istirahat lari, saya menggantinya dengan senam lantai, peregangan, atau melatih gerakan penguatan otot tubuh (strength training).

Berhubung menjadi buruh milenial, saya biasa lari lima hingga tujuh kilometer saja saat hari kerja. Tapi dilakukan dengan disiplin. Saat akhir pekan, saya baru lari dengan jarak agak jauh. Minimal sepuluh kilometer. Setiap Senin dan Kamis, saya libur tidak berlari. Hal ini saya lakukan agar tubuh kita ada jeda untuk istirahat. Saya tidak ingin memaksakan diri dan tentu saja, tak ingin mengidap 'penyakit' ketiga yang umum dilakukan pelari pemula yaitu terlalu banyak berlari melebihi porsi latihan yang sanggup dilakukan oleh tubuh (too much). Dengarkan kondisi tubuh masing-masing. Yang paling mengerti tentang hal ini tentu saja hanyalah diri kita sendiri.

Pengetahuan dasar ini wajib dipahami oleh seorang pelari yang akan ikut ajang maraton penuh. Tak ada kerennya sama sekali jika kita abai dengan tubuh kita sendiri. Apalagi alasannya hanya karena ingin memuaskan ego pribadi atau bernafsu ingin diakui oleh lingkungan pergaulannya bahwa sudah mampu berlari maraton penuh. Perlu disadari di awal ya, meski bisa dikatakan sebagai capaian pribadi yang heroik, menjadi penamat kategori maraton penuh itu sebenarnya ya biasa saja. Tidak istimewa sama sekali. Jadi, sangat disayangkan apabila hal yang tidak istimewa ini harus dibayar dengan sangat mahal, baik berupa cedera, apalagi sampai dibayar dengan nyawa.  

.: Berlatih Membentuk Pola Lari yang Tepat bagi Tubuh. Foto oleh Reinhard Perkasa :.

Selain latihan mandiri, karena sadar akan kemampuan yang terbatas dan waktu yang tidak terlalu fleksibel untuk berlatih bersama kawan-kawan lari di Jakarta, saya menambalnya dengan mencari informasi melalui buku dan internet. Saya pikir, berlari maraton itu tidak hanya tentang lari saja, tetapi juga tentang hal-hal lain yang berkaitan dengan lari itu sendiri. Nutrisi misalnya.

Untungnya, saya seorang omnivora. Saya makan nasi sebagai sumber utama penambah tenaga. Biar tidak melulu nasi, sesekali saya mengombinasikannya dengan singkong rebus, kentang, atau ubi. Saya juga kerap mengonsumsi roti gandum dengan selai. Saya tidak suka mengonsumsi energi gel saat berlari. Entah mengapa, saya merasa tidak perlu saja. Sebagai gantinya, saya rajin mengonsumsi madu setiap pagi dan sore. Selain itu, saya juga rutin minum cairan elektrolit. Semua porsi dan intensitasnya akan bertambah dua kali lipat menjelang ajang maraton dilakukan, terutama nasi. Biasanya seminggu sebelum race berlangsung.

.: Pelatihan Medis dalam Berlari. Foto oleh Reinhard Perkasa :.

Mengingat massa otot saya mudah sekali 'menyusut', saya menggantinya dengan mengonsumsi putih telur dan minum susu berprotein. Saya juga banyak makan sayur dan buah. Saya menghindari untuk makan atau minum makanan instan. Segala bentuk multivitamin juga sebisa mungkin saya hindari. Inginnya yang alami saja. Saya pikir, jika enak makan dan menikmati tidur cukup, performa lari kita tetap akan terjaga selama proses latihan hingga ajang lari berlangsung.  

Biar fokus dalam mempersiapkan performa saat maraton, (dulu) saya mengurangi (atau bahkan menghindari) ikut race lain sepanjang masa latihan berlangsung. Bukan apa-apa, hanya biar fokus saja. Kalau sekarang sih, hajar saja hehehe. Jangan dicontoh ya. 🙈. Apalagi saat ini, biaya pendaftaran ajang lari semakin mahal. Tidak seperti dua atau tiga tahun lalu. Sisi komersialnya memang lebih terasa. Saran saya sih, pilih saja race yang memang sudah punya nama, baik dari penyelenggaranya, maupun reputasi race itu sendiri.    

.: Lari Jarak Jauh di Hari Minggu Ceria. Foto oleh FathurMotret :.

Lalu, mendaftarlah ajang lari dengan jujur. Sportivitas itu dimulai bukan pada saat pistol tanda mulai lari dilontarkan ke angkasa. Sportivitas itu justru dimulai pada saat kita mendaftar ajang lari. Isi semua data sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Capaian waktu terbaik dan waktu tempuh yang sedianya ingin dicapai ini wajib diisi dengan jujur dan penuh integritas. Ini bagian dari etiket dalam mengikuti ajang lari di manapun di seluruh dunia. 

Catatan yang kita input akan menjadi dasar bagi panitia untuk menentukan pen atau posisi seorang pelari saat akan mulai berlari. Pelari yang lebih cepat, diatur posisinya agar menempati lokasi di belakang garis start. Lalu diikuti oleh pelari yang kecepatannya di bawahnya. Hal ini dilakukan selain untuk memberi keleluasaan bagi pelari kencang untuk berlari lebih dahulu, melainkan juga menghindari adanya 'korban' yang tidak perlu akibat tertabrak oleh pelari kencang yang ada di belakangnya.

Coba tanyakan kepada diri sendiri, apakah Anda termasuk dalam kategori pelari yang sportif sejak saat mendaftar ajang lari? Jika belum, segera ikuti aturan. Tidak ada kerennya sama sekali bisa terlihat start paling depan bersama atlet yang memang larinya sudah kencang, namun Anda justru 'mengganggu' dan membahayakan, baik diri sendiri maupun pelari lain di belakangnya, di beberapa kilometer awal jalur lari hanya karena kecerobohan yang tidak perlu. Sangat disayangkan jika hal-hal tersebut sampai terjadi.  

.: Awal Mula: Berlari Maraton Penuh untuk Pertama Kalinya di Kuala Lumpur Maraton 2018 :.

Sebagaimana yang saya sampaikan di atas, menjadi penamat lari jarak maraton penuh itu kesannya ya biasa saja. Tidak ada yang istimewa sama sekali. Namun, saat kita menikmati setiap prosesnya secara bertahap, merasakan perih dan pegalnya setiap jengkal tubuh saat berlatih, dan menyadari betapa berharganya waktu dan biaya yang sudah dikorbankan selama ini, begitu melewati garis finish setelah berlari maraton penuh itu kerap menyeret seorang pelari ke dalam momen magis yang sulit untuk diterjemahkan dengan kata-kata.

Ada rasa haru. Ada perasaan bahagia yang terbit di dalamnya. Ada kebanggaan yang menghangatkan hati dan menjalar ke seluruh saraf. Inilah yang saya sebut sebagai momen heroik yang tidak akan pernah bisa dimengerti oleh mereka yang tidak menggeluti olahraga lari. Mereka yang kerap kesulitan mencerna logika, mengapa ada manusia yang rela membayar mahal untuk capai-capai berlari, meski tidak mendapatkan imbalan apapun kecuali sekeping medali dan selembar kaos penamat saja.

.: Finish tampan di Amazing Thailand Marathon Bangkok 2019 :.

Mereka tidak akan pernah bisa memahami hingga ikut mencoba merasakan sendiri pengalaman menjadi seorang pelari. Bahwa semua hal yang baru saja dilakukan hingga melewati gerbang garis finish, sejatinya merupakan sebuah perayaan atas semua rangkaian latihan dan pengorbanan. Dan karena alasan itulah, seorang pelari maraton boleh bangga sejenak atas dirinya sendiri karena telah menjadi juara dalam mengalahkan ego dan nafsu dalam dirinya, karena telah konsisten berlatih dan berlari, dan karena telah berhasil menjawab tantangan atas kemampuan diri.

Bahagia tak terkira rasanya saat kita bisa mencapai sesuatu yang selama ini menjadi kekhawatiran pikiran dan kerap diragukan keberhasilan dalam mencapainya oleh orang lain. Dan setelah semua rangkaian tersebut dilewati, saya tetap konsisten bilang bahwa menjadi seorang pelari maraton itu kesannya sungguh biasa saja. Tidak istimewa sama sekali. Oleh karena itu, sangat disayangkan kalau sampai dibayar dengan nyawa. Yang membuatnya istimewa justru bagaimana seorang pelari bisa merawat kesinambungan semangat untuk terus berlatih dan berlari. Itu saja. Makanya, jangan kasih kendooor!!! 👊 []

Baca juga: 17 Hal yang Sering Ditanyakan kepada adie DOES tentang Berlari    

13 komentar:

  1. kereeeen banget siiihhhh terharu akuh… selamat yaaa runner binaan akuh..:xoxo

    BalasHapus
  2. I agree with you 3000!

    Sedikit pesen, don't be a great runner... Be a smart runner ��

    BalasHapus
  3. Whoaa.. gue banget tuh!! 4 bulan lari langsung Full Marathon ��
    ��, bukan Peer pressure sih. Waktu gue mulai lari temen2 gue gak ada yg suka lari, gak punya komunitas pula. Tapi gue emang ambitious orangnya, nunggu satu tahuntiap category? whoaa keburu 40an gue, will be under women master atau veteran dong. Bagi gue sih 'setting a goal & challenge', kayak di kerjaan, kadang gue ngerjain project yg gue sendiri nggak yakin gue sanggup apa enggak, tapi pas it’s done, that makes me feel alive or reborn. Kalau Marathon, gue suka long journey karena-gue a loner, gue suka sendiri di keramaian. Semakin jauh jalannya - semakin panjang waktu gue tuk merenung, kalau amateur begini - goal gue hanya finish, toh bukan elite runner juga yg memperebutkan podium. Maybe setelah beberapa tahun baru mikirin podium haha.

    IMHO, gak perlu nunggu setahun tuk ganti kategori, kalau gue sih.- yg ada Finisher tee biasaaaanya HM atau 10km, mayan!! Gak perlu beli kaus lari. Yah, kembali ke diri masing2. Gue berani daftar HM padahal baru 2 bulan lari, Karena waktu lari yg ke 3 gue bisa lari 13km meski lama tapi selamat dan gak cedera apa2, itu mungkin pertadda your body is quite ready. Mungkin Karena gue sempat kemana2 pake sepeda selama 3 tahun, meski obesity kelas 1 saat itu.. was not bad lah!!

    Tapi, kalau this novice runner ini gak pernah olah raga, gak pernah jalan kaki (kalau Hidup di Jakarta kaki naik Ojek), mungkin ini akan susah. Saran gue sih, buat Pemula tapi mau ganti kategori dalam hitungan bulan - tuk ngindari cedera, jangan lari kenceng. Pace yg nyaman aja. Alon alon asal kelakon dan finish before COT.

    Tapi gue bikin kesalahan, waktu Zoo Run 12 km bulan February, gue gak nyangka terrainnya up and down, Dan gue kena cedera di sana.. kalau Kayak gini harus Rest dulu hasilnya gue gendut Lagi. Yg penting lagi, (kesalahan gue nih) warm up dan cool down, pemula Kayak gue banyak gak tau a proper warm up. Gue baru tau setelah stelah lari sama running team. Better late than never

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu dia, knowing and listening to your body. Safety first ya pokoknya :)

      Hapus
  4. Bagian ke 2: (LOL ..kayanya gue harus ngeblog nih)
    Sejak April gue punya grup lari, I learn something new everyday. Si A; Larinya cepet banget, pace 4. Tapi.. dia bilang gak pernah ikut lari Marathon. Hanya 5 dan 10Km, gue setuju sama statement diatas, runner gak harus lari 42Km. Tubuh orang beda2, ada yg sanggup lari cepat banget, tapi spesialis nya di jarak pendek dan menengah. Si B; gaya larinya kayak amateur, tapi... pace nya cepat banget, dan dia kalau lari gak pake applikasi apa2, gak tau apa itu Garmin. Dia lari aja tanpa punya data apa2, tapi masyaalloh cepet banget, pace 5. Cowok semua.. dan gak pernah ikut race. Dan yg gue sukai dalam ikutan race, kita banyak menemu berbagai karakter, ada yg lari berpasangan, ada yg ala model, ada pelari gerombolan yg mirip pacer, 'pelari'yg brisk walking HM tapi kelar berore COT, --- favorit gue, pelari tua yg larinya steady pace dari awal sampai akhir - karakter ini gue jadiin motivasi, duh Rahma gak boleh kalah sama engkong2 ubanan.. ayo lari, kejar..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha itu dia. Race itu perayaan atas semua rangkaian latihan yang sudah dilakukan. Makanya, saat race, bersenang-senanglah :P

      Hapus
  5. Baru mulai lari nih Kak, boleh tanya satu aja, sepatu merk apa sih yang awet gitu buat lari 5 km minimal..?

    Kadang beli branded ya kalah juga...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tentukan jenis kakinya kayaknya gimana, apakah lebar atau kecil, telapak kakinya datar-datar aja atau ada cekungan. Lalu coba-coba aja pilih sepatu yang nyaman di kaki dan sesuai dengan dana yang dimiliki.

      Saya sendiri sepatunya ada beberapa brand dan gak ada yang mahal, maksudnya, saya belum pernah beli sepasang sepatu dengan harga di atas 500 ribu. Saat ini saya pakai adidas (dikasih orang), New Balance (beli di Sport Station pas ada diskon), Diadora (beli di Ramayana, pas ada diskon juga). Untuk full marathon, saya pakai diadora.

      Kata pelatih saya, bukan sepatunya yang bikin kenceng larinya, tapi latihan yang bener dan disiplin. Selamat belanja dan berlari :)

      Hapus