Selasa, 07 Juli 2015

Menumpang Garuda Indonesia Menjelajah Negeri Sulawesi Selatan

.: Boeing 737 - 800 NG :.

Ada bentuk-bentuk kebahagiaan sederhana dalam hidup. Kadang terlewat begitu saja tanpa kita syukuri. Beberapa membentuk kenangan yang mengendap dalam memori. Perjalanan menjelajah negeri Sulawesi Selatan seorang diri merupakan satu bentuk kebahagiaan kecil yang tak akan pernah terlupakan. Maklum, negeri elok di 'kaki' sebelah barat Pulau Sulawesi ini sudah lama bertengger dalam daftar destinasi impian yang hendak saya sambangi. Meski ini bukan perjalanan pertama saya menjelajahi suatu tempat sendiri, rasa-rasanya alam begitu bersinergi dalam melancarkan dan menunjukkan banyak hal yang ingin saya lihat dan nikmati sepanjang perjalanan.

Bermula dari promo tiket pesawat Garuda Indonesia di awal tahun 2012 silam. Melihat harga yang ditawarkan, rasa-rasanya sungguh sayang jika promo menarik ini terlewat begitu saja. Bayangkan, saya mendapatkan tiket Jakarta - Makassar pergi pulang seharga satu juta rupiah saja. Harga tersebut merupakan harga termurah dari semua maskapai penerbangan dari Jakarta dengan tujuan Makassar pada hari tersebut. Setelah melalukan reservasi, saya optimis bahwa mimpi ini tinggal menghitung hari.

.: Menikmati fasilitas dengan kenyamanan kelas dunia :.
Saat hari yang dinantikan tiba, langit cerah. Saya mengartikannya sebagai tanda bahwa perjalanan ini benar-benar direstui oleh Yang Maha Kuasa. Karena penerbangan ini relatif lebih lama daripada penerbangan yang sering saya lakukan ke Surabaya, waktu yang bisa saya gunakan untuk menikmati fasilitas penerbangan kian leluasa.

Walaupun saya hanya mampu membayar tiket untuk kelas ekonomi, saya rasa informasi yang mengabarkan bahwa maskapai pelat merah ini memberikan pelayanan dan kenyamanan kelas dunia sepertinya bukan rumor belaka. Pagi itu saya sangat menikmati sarapan pagi berupa rendang dan nasi goreng yang disajikan oleh pramugarinya yang ramah. Saya juga menyempatkan diri membaca majalah inflighnya yang informatif di sela-sela mengambil gambar sayap pesawat. Saya sengaja tidak tidur sepanjang perjalanan. Untuk mengatasi kebosanan, saya menikmati fitur videonya yang menyajikan tayangan film yang belum sempat saya tonton di bioskop, mendengarkan lagu-lagu terbaru, dan klip-klip pendek tentang destinasi wisata di Indonesia.

Tak terasa, roda-roda pesawat melayang ringan. Pesawat mendarat mulus di bandara internasional Sultan Hassanuddin, Makassar. Dan petualangan saya baru akan dimulai.Untunglah mobil yang saya sewa datang tepat waktu sehingga saya bisa segera melanjutkan perjalanan tanpa perlu membuang waktu.

.: Suatu Siang di Leang-Leang :.

Siang menguar bagai menghembuskan hawa neraka. Langit biru diselimuti awan tipis. Hujan baru saja mengguyur. Dari kejauhan, kawasan karst Maros-Pangkep tampak seperti gundukan bukit yang diselimuti rimbunan lumut. Setelah didekati, gundukan tadi menjelma menjadi gugusan menara-menara batu gamping yang menjulang menantang langit.
.: Lukisan Cap Telapak Tangan Manusia Purba :.
Leang Petta Kere menjadi tujuan utama saya siang itu. Leang (gua) ini terletak di kawasan objek wisata Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros. Menuju lokasi, saya dikejutkan dengan begitu banyaknya aneka bentuk batu berwarna hitam yang tersebar di bentangan sawah penduduk yang mengering. Batu-batu ini mengingatkan saya dengan batu dari planet Kripton, tempat manusia super berasal.

Yang membuat leang ini sungguh menarik adalah keberadaan lukisan purba yang menyelimuti beberapa dinding. Saya mendapati dua buah gambar babi rusa. Pemandu saya, Pak Rahman, mengatakan kalau jumlah cap telapak tangan di Leang Petta Kere ada 27 buah. Saya tak sempat menghitungnya karena terlalu sibuk untuk mengaguminya. Selain itu, ada pula gambar mata panah dan alat serpih bilah, dua simbol yang menunjukkan aktivitas berburu dan meramu di masa silam.

Karena merasa kepanasan, setelah mengambil beberapa gambar di dalam gua, saya minta segera diantar menuju Taman Nasional Bantimurung. Awalnya saya menuju Bantimurung untuk melihat kupu-kupu. Tapi ternyata, kupu-kupu di Bantimurung sedang sulit ditemui. Kupu-kupu yang saya lihat hanyalah dalam bentuk suvenir dalam kotak kaca. Sulit menemui kupu-kupu di alam bebas dan mendapati museum kupu-kupu pun tutup, saya terhibur dengan keberadaan air terjun yang terdapat di tengah taman nasional.

.: Menikmati Kesegaran Air Terjun Bantimurung :.

Pantang melewatkan kesempatan mandi di air terjun, saya segera bergabung dengan sekelompok pengunjung yang sudah datang lebih dulu. Dihalau dengan bebatuan raksasa, aliran airnya yang merambat terasa deras mengucur ke bawah karena kemiringannya yang cukup curam. Keadaan ini dimanfaatkan oleh para remaja dan anak-anak untuk bermain perosotan dengan ban dalam mobil. Menyaksikan kecerian sederhana ini, saya pikir air terjun Bantimurung tak ubahnya seperti air terjun Sedudo di Nganjuk, tempat berlibur murah meriah bagi warga kota di sekitarnya.

Setelah merasa segar kembali setelah kegerahan udara Makassar sepagian, saya beranjak menuju hulu sungai aliran air terjun Bantimurung. Melalui jalan setapak, di bagian hulu terdapat hutan rimbun, gua-gua tua yang dihuni kelelawar, makam kuno yang dikeramatkan, dan sebuah telaga. Disebutnya telaga tapi airnya mengalir. Kelihatannya seperti sebuah kedung dalam istilah bahasa Jawa, tapi airnya bening bergradasi hijau toska dan putih jernih. Penduduk setempat menyebutnya Telaga Kassi Kebo.

Yang paling spektakuler adalah petualangan hari berikutnya saat saya menjelajah Tana Toraja, tanah di mana tradisi dan nilai-nilai luhur yang bersumber pada aturan adat masih disakralkan dan dipegang teguh. Beruntung, kunjungan singkat saya ke Tana Toraja bertepatan dengan upacara perayaan kematian yang digelar sangat meriah yaitu upacara Rambu Solo. Saat saya datang, sedang dilangsungkan prosesi mantunu, atau hari pengorbanan kerbau.

.: Bergaya di Tengah Rante, Sesaat Sebelum Upacara Rambu Solo' Dimulai :

Dalam tatanan masyarakat Toraja, di hari berlangsungnya prosesi mantunu inilah semua kesedihan boleh ditumpahkan untuk terakhir kali. Karena, saat keranda sudah ditandu menuju makam, para pengantar wajib bersuka cita. Pak Andriana, pemandu saya, mengatakan, budaya masyarakat Toraja mengajarkan untuk senantiasa memuliakan orang yang meninggal dengan syukur kebahagiaan. Seperti halnya proses kremasi dalam masyarakat Hindu Bali saat melarung abu jenazah ke laut, jenazah yang sudah diantarkan ke makam dengan prosesi Rambu Solo', hal itu menandakan hidupnya sudah sempurna.

.: Mampir Sejenak di Kete Kesu :.

Selain mengikuti acara rambu solo', saya juga menyempatkan diri mengunjungi makam-makam batu yang berisi peti-peti mati di Londa dan Lemo dengan rangkaian tau-tau yang berjejer rapi di mulut gua, serta makam bayi yang ditanam di sebuah pohon di Kambira, dan bertamu di rumah adat tongkonan di Buntu Pune dan Kete Kesu. Rasanya, senang sekali bisa melihat langsung deretan rumah adat tongkonan secara langsung. Maklum, selama ini saya melihat tongkonan hanya yang ada di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) saja.

Terinspirasi dengan bentuk atap rumah adat tongkonan yang mirip perahu dan hasrat untuk mengenal lebih dekat proses pembuatan perahu phinisi kebanggaan negeri, saya putar haluan. Setelah kembali ke Makassar hari berikutnya, saya menempuh jarak sekitar 7 jam perjalanan darat naik angkutan umum menuju Tana Beru, Bulukumba untuk menengok 'bengkel' pembuatan perahu phinisi.

.: Deretan Perahu Phinisi di Pantai Tanaberu, Bulukumba, Sulawesi Selatan :.

Tempat ini dibangun melalui sejarah panjang para tukang perahu yang tersohor sampai penjuru dunia. Kisah-kisahnya ditakuti oleh para pelaut Inggris sehingga muncul istilah boogie-man. Para pelaut Bugis memang ahlinya membuat perahu. Di sepanjang pantainya yang sepi dihuni deretan perahu-perahu phinisi bernilai milyaran rupiah pesanan para pelaut asing dan pengusaha perhotelan yang hendak melakukan ekspansi dalam bisnis jelajah bahari. Bersebelahan dengan Bulukumba, pantai Tanjung Bira menjadi tempat terakhir menikmati senja sebelum keesokan paginya saya bertolak kembali ke Makassar.

Benteng Ford Rotterdam menjadi objek pertama yang saya kunjungi di Kota Makassar. Mungkin, saya merupakan pengunjung pertama pagi itu selain petugas yang membuka pintu gerbang. Saya penasaran ingin mengunjungi benteng ini karena ingin melihat museum I La Galigo yang ada di dalam bangunan benteng. Selain Ford Rotterdam, selama berada di kota Makassar saya melewatkan satu hari penuh menyambangi Pantai Losari, main-main di Karebosi yang ternyata sebuah mal di bawah lapangan (yang mengingatkan saya dengan mal di kawasan Blok M), mencicipi coto Makassar dan es pisang ijo yang melegenda itu, serta berziarah ke makam Pangeran Diponegoro. Banyak orang tidak mengetahui bahwa Pangeran Diponegoro dimakamkan di Makassar, termasuk saya yang baru tahu saat diberikan informasi tersebut oleh seseorang di Masjid Agung Makassar.  

Bergaya di Bandara Internasional Hasanuddin, Makassar
Hingga tiba akhirnya saat berada di dalam pesawat untuk kembali ke Jakarta, tak henti-hentinya saya diingatkan akan betapa menariknya sebuah cerita akan perjalanan yang sudah saya lakukan seakan berkonspirasi membangkitkan kembali kenangan agar tak mengendap percuma dalam memori.

Sesaat setelah pesawat tinggal landas, sembari menunggu menu makan malam disajikan, seperti kebiasaan dalam penerbangan-penerbangan sebelumnya, saya mulai memanfaatkan fasilitas multimedia yang disediakan. Majalah maskapai untuk sementara saya abaikan. Rasa capai melakukan perjalanan semimarathon selama empat hari mendorong saya untuk santai saja menonton video pendek tentang liputan di Taman Sari, Yogyakarta. Liputan yang sungguh menarik dan membangkitkan inspirasi untuk kembali melakukan perjalanan.

"Silakan Pak, makan malamnya. Selamat menikmati.", kata pramugari saat mengangsurkan menu makan malam sekaligus mengingatkan kembali bahwa saya sedang berada di atas pesawat, bukan di kompleks Taman Sari.

.: Menu Makan Malam di Pesawat. Hmm ... Yummy :.
Kenangan akan perjalanan ke Taman Sari kembali menyublim dalam tayangan video. Saya tak tahu kapan lagi punya kesempatan untuk berkunjung ke sana lagi. Mendapati diri baru saja menuntaskan perjalanan yang diimpikan menjelajahi Sulawesi Selatan sungguh merupakan sebuah memorable experience. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pramugari, saya melemparkan pandangan ke luar jendela pesawat.

Langit di luar pekat sekali. Sesekali ditaburi gemintang dan kerlip lampu kota di kejauhan. Saya kembali tepekur, mengendapkan kenangan yang muncul pada perjalanan sebelumnya, sembari terus belajar bersyukur untuk menikmati setiap kebahagiaan sederhana dalam setiap perjalanan yang saya lakukan. Dan saya pikir, menu makan malam yang disajikan oleh maskapai pelat merah kebanggaan nusantara ini merupakan sebentuk kebahagiaan kecil yang pantang untuk dilewatkan begitu saja. Seperti halnya dengan setiap rencana perjalanan berikutnya, saya tak sabar untuk segera menikmatinya. []  

12 komentar:

  1. Air terjunnya bnr2 bisa diluncurin pake ban dalam gitu yaaa ^o^.. aghhhhh seruu bgttt... anak2 pasti suka ya..akupun pgn juga mas meluncur di situ :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak bisa itu. Monggo langsung cuz ke Maros. Lokasinya gak jauh kok dari bandara Hassanuddin :)

      Hapus
  2. Aku gagal ke batimurung coz rame banget jd ngak nyaman.Padahal dah nyiapin kencut seksih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha mas Cum takut diarak keliling kampung sama warga ya wkwkwk :P

      Hapus
  3. belum pernah ke Makassar huhuhuuu... semoga suatu saat bisa ngebolang kesana naik penerbangan pelat merah kebanggan negeri :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin mbak, semoga disegerakan ya. Manfaatkan program tiket promo biar bisa segera ke sana ;)

      Hapus
  4. Penasaran dengan cap tangan manusia purbanya, itu dulu semacam walk of fame atau cuma sekelompok anak muda yang melakukan aksi vandalisme atau gimana ya? hehehe
    Kak, saran date publishmu diedit donk, jadi bingung nih cari tulisan barumu kok ternyata udah "berbulan-bulan lalu" hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha kayaknya sih semacam 'tanda' saat upacara adat gitu yang menggambarkan aktivitas berburu dan meramu, cmiiw.

      Ini memang ditulisnya udah bulan Juli kemarin, tapi baru dishare setelah lebaran. Aku sibuk mudik mas di Nganjuk. Maafin aku ya mas hehehe ;)

      Hapus
  5. wiiih seru ya jalan-jalannya.
    Jadi kepingin jalan juga :D nabung dulu ah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe nabung yang banyak ya, biar segera keturutan. Aamiin ;)

      Hapus
  6. mau juga ke bandara hasanuddin .. mau di foto di depannya :d biar ootd kekinian gitu terus upload instagram deh :D (anak masakini)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha yuk mari langsung booking tiketnya biar bisa segera eksis foto di depan Bandara Hasanuddin ;)

      Hapus