Kamis, 30 Juli 2015

Saba Desa: Sugihwaras dan Kenangan Masa Silam

.: Jalan Menuju Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngluyu, Kabupaten Nganjuk :.

Setiap kali mudik lebaran, saya selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi satu objek wisata yang ada di kampung halaman. Tahun ini sebenarnya saya ingin mengunjungi Air Terjun Sedudo lagi. Tapi, berhubung dapat kabar kalau kawasan Sedudo longsor dan ditutup untuk umum sampai jangka waktu yang belum ditentukan, saya memutuskan untuk 'menemukan' keberadaan Air Terjun Ngebleng yang konon sedang menjadi buah bibir para pejalan di Nganjuk.

Hari terakhir cuti sebelum balik lagi ke Jakarta, saya kepikiran untuk mengunjungi satu tempat lagi. Sebenarnya lebih kepada ingin 'temu kangen' dengan sebuah tempat yang sudah agak lama tidak saya kunjungi. Terakhir ke sana sekitar tiga tahun yang lalu. Tempat tersebut adalah Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngluyu, Kabupaten Nganjuk, sebuah desa yang terletak di balik Pegunungan Kapur Tengah yang wilayahnya dikungkung oleh pegunungan. Sebenarnya tak ada yang istimewa dari desa ini. Tapi, demi bisa melihat sawah menghijau, air jernih mengalir, merasakan udara sejuk khas pegunungan, dan kesederhanaan masyarakat desa, saya rela memacu roda sepeda untuk melintasi tanjakan gunung seorang diri.

.: Watu Gandul (Batu Bergantung) :.
Saya memulainya sehabis jogging pagi. Namanya juga hutan dan saya bersepeda seorang diri, maka tak banyak yang bisa saya temui selain para pencari kayu bakar, petani yang sedang berladang, serta petugas perhutani yang sedang berkeliling melakukan kontrol dan pengawasan hutan.

Saya baru menyadari. Ternyata hutan di kawasan ini sudah banyak berubah. Pepohonannya sudah baru semua. Hasil penanaman kembali. Beberapa bagian hutan juga sudah bermetamorfosis menjadi ladang. Bukit-bukit yang dulunya rimbun, kini sudah gersang dan berubah menjadi hamparan jagung dan palawija lainnya. Sungai-sungai tampak kering. Entahlah. Mungkin saya datang saat musim kemarau sedang berkuasa.

Yang membuat acara bersepeda ke hutan ini tetap menarik adalah keberadaan burung-burung yang masih bisa saya temui. Prenjak, burung bubut, derkuku, dan sri bombok sesekali melintas. Meloncat dari dahan-dahan rendah seolah mengajak bercengkerama. Seekor tupai melintas di jalan beraspal. Dulu, saya sering melihat alap-alap di pucuk-pucuk pohon di hutan ini. Sekarang sudah tidak lagi. Wajah hutan yang berubah sepertinya mendorong minat sang raja burung bermigrasi ke hutan lain yang lebih nyaman untuk ditinggali.

Sepeda saya kayuh perlahan karena jalan menurun yang curam. Saat sampai di bagian jalan paling bawah, saya berhenti sejenak untuk mendongak ke atas. Di atas puncak gunung ini terdapat sebuah batu besar yang menggantung di ujung tebing dan ditahan oleh semacam akar pohon. Penduduk setempat menyebutnya dengan watu gandul (batu yang menggantung). Konon, kalau batu ini jatuh ke sungai yang ada di bawahnya, maka seluruh desa Ngluyu akan tenggelam. Saya kira mitos tersebut sangat masuk akal. Pasalnya, jika sampai batu tersebut jatuh dari tebing, maka dipastikan tidak ada pohon-pohon yang akarnya mencengkeram erat menopang batu. Ancaman tersebut bisa datang dari kegiatan pembalakan yang kian masif dan terang-terangan. Mitos tersebut seolah menjadi semacam contoh bagaimana kearifan lokal mengajarkan manusia cara mencintai dan merawat alam.

.: Desa Ngluyu, Mirip dengan Desa Panglipuran di Bali :.

Tak jauh dari lokasi watu gandul, Desa Sugihwaras membentang indah. Penduduknya ternyata menggembalakan kerbau di hutan. Ditinggal begitu saja di antara rimbun pepohonan. Saat memasuki wilayah desa, saya memerhatikan ada sebuah gang yang deretan rumah-rumahnya mengingatkan saya pada desa Panglipuran di Bali. Sepertinya halnya desa-desa lain yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, pagi di Desa Sugihwaras tampak sepi. Orang-orang berkerumun secara komunal di pematang sawah untuk sarapan dan memulai hari.

Mata saya sungguh dimanjakan dengan bentangan alam desa. Rumah-rumah berdiri tak jauh dari sawah. Gemericik air mengalir di pinggir jalan. Alih-alih dipagari mahoni, deretan pohon pisang membentuk perisai mengawal di kanan kiri sepanjang jalan aspal. Saya sungguh takjub dengan betapa suburnya desa ini. Padi ditanam sepanjang tahun. Sesekali diselingi dengan jagung, kedelai, atau bahkan tembakau. Pasokan air yang melimpah dari sumber di kaki gunung membuat pertanian di sini seperti tak terpengaruh oleh musim. Ke sumber air itulah sepeda saya kayuh.

.: Palawija di Kaki Gunung (1) :.

.: Palawija di Kaki Gunung (2) :.

Hampir semua teman sepermainan saya mengetahui keberadaan sumber air Umbul Argomulyo. Mereka kerap menyebutnya sebagai sumber air Ubalan. Tak seperti keadaan saat saya masih kecil dulu, Ubalan saat ini sudah dipetakan menjadi salah satu objek wisata andalan Kabupaten Nganjuk. Di sebelahnya terdapat Gua Margotresno yang dihuni ratusan kelelawar. Untuk bisa masuk harus bayar karcis retribusi. Untuk menikmati gua, sekarang wajib ditemani oleh seorang pemandu berseragam. Yang menjadi daya tarik utama objek wisata ini, konon jika ada pasangan muda-mudi yang mengunjungi gua tersebut, kisah cintanya akan abadi. Saya tentu tidak percaya. Selain tidak logis, saya hampir selalu datang sendirian saat berkunjung di gua ini. 

.: Pamandian di Ubalan :.
Tak terlalu tertarik dengan wisata gua, saya memilih bermain di kawasan sumber air saja. Dulu, pengunjung masih bisa nyemplung di kolam yang ada sumber airnya. Sekarang sudah dipisah. Kolam sumber air terlarang untuk mandi dan mencuci kaki. Jika ingin menikmati segarnya sumber air pegunungan, dibangunlah fasilitas kolam renang, lengkap dengan fasilitas kamar mandi dan sewa ban untuk mereka yang tidak bisa berenang. Kolam renangnya juga terdiri dari dua macam yaitu untuk anak-anak dan dewasa.

Saya sering sekali menjadi pengunjung pertama di kolam renang ini. Saat hari masih terhitung pagi, mandi di air pegunungan sungguh membuat tubuh segar bugar. Saya paling suka latihan menahan napas saat berendam di air. Terkadang, karena keasyikan berada di dalam air, tubuh saya sampai menggigil kedinginan. Untuk itu, saya menyiasatinya dengan melakukan senam lantai ringan seperti push up dan sit up.

Saya menyudahi kegiatan main air di kolam saat beberapa pengunjung sudah mulai berdatangan. Untuk menyesuaikan napas dan melemaskan otot kaki, saya duduk-duduk santai di bawah pohon rindang. Kembali saya disadarkan akan satu hal. Di sekeliling kawasan ini, pepohonan dijaga tetap asri dan rindang. Dari kejauhan pun bukit yang menaunginya sungguh rimbun dan kelihatan hijau. Itulah salah satu penyebab sumber air tak pernah kering yang menjadikan sawah di Cabean, Sugihwaras sebagai satu-satunya kawasan persawahan yang bisa panen padi sepanjang tahun. 

.: Pintu Gerbang Gua Lawa :.
Matahari sudah mulai meninggi. Terik sudah mulai terasa. Saya meninggalkan kawasan Umbul Argomulyo dengan semangat yang kembali terisi dan badan yang bebas dari keringat. Saat menyusuri jalanan Desa Sugihwaras, saya berpapasan dengan petani yang berangkat ke sawah, menggiring bebek atau kambing peliharaannya. Saya merasakan aura desa ini begitu tenang. Masyarakatnya kelihatan makmur dan berkecupuan. Mungkin pengaruh dari nama desanya mendatangkan aura positif bagi masyarakat di sini. Aura yang juga saya rasakan saat berada di kampung halaman. []

4 komentar:

  1. Wah enak itu, nyepeda ujung2nya main air. Malah bikin betah, nggak pingin balik, (padahal rumah masih jauh) hahaha :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih, paling seneng main sepeda ke hutan, lalu lanjut main air di sendang. Seger banget rasanya :))

      Hapus
  2. luar biasa pemandangannya

    jadi kangen kampung gampeng ngluyu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Monggo mas, disempatkan mudik. Kampung Gampeng, Ngluyu emang ngangeni. Pemandangannya menarik sekali buat cuci mata ;)

      Hapus