Selasa, 25 Agustus 2015

Memori Mercusuar

.: Penanda KM 0 Jalan Raya Pos, Anyer - Panarukan :.

Dikepung oleh bangunan hotel dan aneka jenis penginapan, Anyer tetap memukau sebagai destinasi primadona Provinsi Banten. Bersaing ketat dengan Ujung Kulon dan Tanjung Lesung, pantai-pantai di Anyer dianggap masih layak dijadikan lahan untuk berburu momen tenggelamnya matahari. Lokasinya dapat ditempuh sekitar dua jam berkendara dari Jakarta. Saat akhir pekan tiba, pantai-pantainya seakan diinfasi oleh turis-turis domestik yang haus akan keberadaan pasir putih dan pantai panjang yang landai.

Untuk mendapatkan kenyamanan paripurna, saya memilih untuk menyelinap di salah satu pantainya saat Anyer sedang lengang. Tak banyak lalu lalang kendaraan. Sepanjang jalan steril dari kemacetan. Apalagi yang tak patut disyukuri selain keheningan suasana pantai dengan angin sepoi-sepoi tanpa perlu berebut untuk mendapatkan foto diri di titik-titik yang menarik.

.: Titik Nol Jalan Anyer Panarukan :.
Titik Nol Jalan Raya Anyer - Panarukan

Terselip di antara hamparan pantai landai dan rimbunan penginapan nyaman, Anyer menyembunyikan dengan rapi satu penanda penting dalam khasanah sejarah nusantara. Sebuah tugu mungil berdiri tegak dalam sepetak tanah bekas mercusuar lama pantai Anyer. Tugu tersebut merupakan titik pertama jalan legendaris yang membentang di sepanjang pantai utara Jawa. Orang mengenalnya sebagai Jalan Raya Pos atau Jalan Raya Deandels. Namun sejarah mencatatnya sebagai jalan darah dan air mata. 

Jalan Raya Pos mulai dibangun tahun 1908 dan menjadi semacam karya monumental tangan besi Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36, Herman Willem Deandels. Proyek ini merupakan salah satu langkah taktis yang diambil oleh Deandels untuk mempertahankan tanah Jawa dari invasi pasukan militer Inggris. Dengan dibangunnya jalan ini, Deandels berpendapat bahwa mobilisasi pasukan saat perang dapat berlangsung dengan cepat sehingga jika perhitungannya tidak meleset, maka sangat mungkin tanah Jawa dapat dipertahankan.

Namun demikian, jika memperhatikan titah yang diterbitkan Deandels pada 05 Mei 1808 dalam membangun jalan ini, motif ekonomi justru lebih mengemuka. Pasal tersebut berisi "Bahwa selama musim kering harus dibangun jalan besar dari Buitenzorg (Bogor) sampai ke Karang Sembung melalui Cipanas, Cianjur, Bandung, Parakumancang, dan Sumedang supaya ketika warga penduduk memanen kopi, bahkan juga ketika mengirim padi, tidak lagi harus lewat jalan yang buruk dan sulit dilalui."

.: Metamorfosis Tugu :.

Isi titah tersebut sepertinya cocok dengan dugaan beberapa ahli sejarah yang berpendapat bahwa Jalan Raya Pos tidak dibangun seluruhnya oleh Deandels. Jalan antara pantai Anyer hingga Batavia sudah ada sebelum Deandels menginjak Jawadwipa. Pelabuhan Anyer sudah menjadi pusat perdagangan Eropa di Asia, sedangkan Batavia merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda sebelum dipindahkan ke Buitenzorg oleh Deandels dua tahun paska kedatangannya.

Dari situ saya jadi berpikir bahwa sebenarnya tugu yang menjadi penanda titik nol Anyer - Panarukan ini bisa dijadi hanya digunakan sebagai titik awal Deandels mendarat di Jawa sehingga dijadikan semacam pengingat bahwa misinya membangun Jalan Raya Pos ini diukur dari ujung barat pulau Jawa hingga ujung timur tempat Deandels akan meninjau kesiapan mobilisasi pasukan perang dan hasil bumi tanah Jawa.

Jacobus anne Van Der (1831-1905) dalam karyanya het Plakaatboek van Nederlandsch Indie Jilid 14 menyebutkan bahwa Deandels 'hanya' membangun Jalan Raya Pos ini mulai dari Buitenzorg menuju Cisarua hingga ke Sumedang. Sedangkan jalan selanjutnya yang membentang hingga Panarukan, Jawa Timur, Deandels memanfaatkan pengaruhnya pada para raja Jawa untuk mengerjakan proyek tersebut melalui sistem kerja wajib bagi para pribumi.

.: Pintu Masuk Mercusuar Z.M. Willem III :.
Mercusuar Z.M. Willem III

Berdiri menjulang menantang angkasa, mercusuar Anyer menjadi satu-satunya bangunan ikonik di kawasan Pantai Anyer, Serang, Banten. Bangunan ini didaulat sebagai titik awal Jalan Raya Pos yang membentang di tanah Jawa dari Anyer hingga Panarukan.

Catatan sejarah menyebutkan bahwa mercusuar ini merupakan mercusuar kedua yang digunakan sebagai penanda titik nol Jalan Raya Pos di Anyer. Posisi mercusuar pertama berada tepat di bibir pantai. Lokasinya tak lebih dari 50 meter dari mercusuar ini. Pondasinya masih jelas terlihat. Berbentuk lingkaran sempurna dari batu bata merah. Mercusuar pertama tersebut lenyap setelah disapu gelombang tsunami saat Krakatau murka pada tahun 1883.  

Dihujani terik siang hari, saya mengamati penanda titik nol dari dekat. Bentuknya sudah mengalami rekonstruksi dan dibuat lebih modern. Tugu sederhana yang terlihat seperti semen dicor sudah diganti dengan sebuah tugu mungil dari keramik. Lantai yang dulunya hanya berupa tanah berumput sudah berubah menjadi tegel cantik berkilat. Yang disayangkan, rekonstruksi bangunan cagar budaya seperti ini dilakukan dengan mengubah konstruksi awal yang mengandung nilai sejarah. Jejak pondasi batu bata merah yang menjadi kaki penopang mercusuar seakan lenyap bersama mercusuar yang disangganya bertahun-tahun lampau. 

Saya menyeberang taman. Berusaha menjangkau bangunan mercusuar baru yang menjulang dengan warna putih pucat. Bangunan ini sedang tidak dibuka untuk umum. Beberapa bulan terakhir, sepertinya pemerintah sedang giat-giatnya membuat penanda titik nol di seluruh negeri terlihat lebih menarik dari wajah aslinya. Selain tugu kilometer nol nusantara di Sabang, Aceh, penanda titik nol di Anyer ini juga sedang dipugar. Namun, berhubung saya sudah berkali-kali datang ke tempat ini tapi selalu melewatkan kesempatan untuk naik ke atas mercusuar, dengan alasan meninjau proyek pembangunan, saya minta izin petugas untuk melihat bagian atas mercusuar.

.: Bagian Dalam Mercusuar :.

Begitu masuk ruangan, bau cat basah langsung menguar. Dindingnya yang melingkar mengingatkan saya pada ruangan atraksi tong setan. Peta dan petunjuk lokasi mercusuar di seluruh penjuru nusantara menggantung rapi. Dengan ketebalan lebih dari 10 cm dan terbuat dari baja pilihan, tak heran jika mercusuar yang dibangunan tahun 1885 pada masa pemerintahan Z.M. Willem III ini masih kokoh hingga sekarang.  

Suara bor meraung-raung di lantai atas. Dituntun suara bising tersebut, saya meniti anak tangga dengan penuh rasa penasaran. Ruangan yang tak berpendingin membuat peluh bercucuran di kening. Menurut informasi dari tukang yang ada di lantai satu, beberapa jendela memang sudah susah dibuka karena dimakan usia. Saya bergegas untuk sampai di ruangan yang jendelanya bisa dibuka agar bisa merasakan sedikit hembusan angin sepoi-sepoi. Kombinasi bau cat yang belum kering dan sirkulasi udara yang tidak sempurna sungguh berpotensi membuat gerah dan tidak nyaman sebuah kunjungan.

.: Kawasan Titik 0 Dilihat dari Mercusuar :.
Setelah meniti 286 anak tangga, sampailah saya di puncak mercusuar pada lantai 18. Angin kencang menghantam muka dengan gesitnya. Peluh dan pengap menguap seketika. Di ruangan ini terdapat sebuah lampu yang digunakan sebagai penunjuk daratan bagi kapal-kapal di lautan. Lampu tersebut masih berfungsi hingga sekarang. Seorang penjaga secara rutin menyalakan lampu tersebut pada pukul 18.00 WIB petang dan mematikannya dua belas jam kemudian. Jika berkesempatan untuk menginap di salah satu hotel kawasan pantai Anyer, saya kerap menunggu di pantai untuk menyaksikan lampu tersebut beroperasi.

Meski sebenarnya sedikit takut akan ketinggian, saya memberanikan diri untuk keluar ruangan di puncak mercusuar. Pemandangan selat Sunda membentang di depan mata. Sesekali kapal nelayan melintas. Saat cuaca cerah, kita sebenarnya bisa melihat Gunung Anak Krakatau mengapung di lautan sembari mengepulkan asap putihnya secara periodik. Lingkaran pondasi bekas mercusuar yang menjadi titik nol Jalan Raya Pos terlihat jelas dari sini. Sebuah dermaga beton juga membentang menuju tengah laut untuk tempat bersandar kapal. Namun saat ini, dermaga tersebut lebih banyak dimanfaatkan warga untuk memancing ikan.

Saya berjalan dengan tetap berpegangan pada pagar pembatas. Tak mudah memang menjaga keseimbangan saat tubuh dihempas angin kencang di atas titian mungil. Pemandangan yang tersaji sungguh memukau. Hamparan kebun kelapa yang membentang di kawasan pantai Anyer menyuguhkan panorama hijau yang menawan. Melalui invasi modal kolosal, beberapa kebun kelapa tadi sudah menyublim menjadi penginapan dan hotel mewah.

.: Jalan Raya Pos, Anyer di Masa Kini :.
Namun demikian, di antara rimbun bangunan hotel yang membuat Anyer makin riuh, selarit jalan berwarna kelabu melintang meliuk-liuk bagai ular yang melata. Manifestasi karya Deandels 200 tahun silam yang diklaim sebagai biang genosida terbesar sejagat raya pada masanya, di sisi lain mampu berperan sebagai katalis dalam mengangkat ekonomi warganya.

Di atas ketinggian, saya sejenak tercenung. Apa yang terjadi jika pembangunan jalan ini tidak pernah ada? Seperti apa jadinya wajah Anyer saat ini? Saya pikir, terkadang, kita sering tidak sadar bagaimana sesuatu di sekitar kita mula-mula terbentuk. Jika kita tak mampu menjadi kelompok yang sanggup membangun atau menjadi pelopor suatu pembaruan, setidaknya juga bukan merupakan bagian dari kelompok yang turut andil dalam membuat kerusakan serta rajin mencela.

Mengenal latar cerita suatu tempat setidaknya bisa menjadi pengingat untuk kita perhatikan di masa mendatang, bahwa merawat sesuatu jauh lebih sulit dibanding menciptakan yang baru. Setidaknya, sederet penanda yang bercokol di kawasan pantai Anyer ini sanggup merangkum dan menyampaikan pesan penting tersebut untuk senantiasa merawat benda dan bangunan cagar budaya. Bukan hanya untuk kelestarian benda dan bangunan saja, melainkan juga demi membuat manusia-manusia yang berkorban menjadi bagian dari sejarah genosida tersebut tidak mati sia-sia. [] 

24 komentar:

  1. Kupikir ini isinya kumpulan mercusuar yg udah pernah disambangi, ternyata cuma yg Anyer hehehe. Kak Adie udah pernah ke Willem III yang di Madura?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum e yang di Madura. Iya, begitu lihat foto-foto dan informasi yang ada di mercusuar ini, jadi kepikiran untuk menyambangi semua mercusuar yang ada di Indonesia :)

      *tengok dompet*

      Hapus
    2. Lohh belum to? Ini kuiming-imingi dulu http://jejak-bocahilang.com/2014/06/10/mercusuar-z-m-willem-iii/ hahaha. Penasaran ama Mercusuar yang di Semarang ama Surabaya, jar e salah satu yg tertua di Jawa

      Hapus
    3. Lho, baru tahu juga di Semarang sama Surabaya ada juga. Aku kemarin gak tuntas sih baca informasi di dinding mercusuarnya gara-gara sebenernya kawasan titik nol ini masih direnovasi. Tapi aku izin tukangnya aja hehehe :)

      Hapus
  2. Beberapa kali ke anyer... Dan hanya lewat mercusuar ini kirain ngga bisa dimasuki umum.. Rupanya bisa ya.. Seru juga kalau sudah sampe puncak mercusuar :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa mas, baru dibuka lagi sepertinya setelah direnovasi. Mampir saja kalau pas lewat Anyer. Iya, seru banget pas di puncak mercusuarnya :)

      Hapus
  3. keren yaaa. Aku udah 8 tahun di Jakarta tapi belum pernah sampe ke Anyer :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, masa? Segera gih main-main ke Anyer. Sekarang udah rapi dan bersih. Bagus buat foto-foto keceh nan menawan ;)

      Hapus
  4. suka banget sama bangunan satu ini. meskipun naiknya penuh perjuangan tapi entah kenapa selalu rindu mengunjunginya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang kompleks bangunannya sudah direnovasi dan diatur ulang mbak. Jadi bersih dan photogenic banget pokoknya ;)

      Hapus
  5. asyikkk banget bisa naik ke atas mercusuar ... tidak semua orang bisa naik ...
    mesti pakai jurusnya mas adie nih ... tapi apa saya ada tampang untuk ngaku2 .... kalau saya bilang mau lihat jalur sepeda bisa tidak ... #ngaco

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha enggak juga sih bro. Sebenarnya semua orang juga punya kesempatan yang sama untuk naik ke atas mercusuar ini asalkan pas lagi jam buka. Ini kebetulan pas lagi direnovasi, saya iseng-iseng izin main ke dalam. Eh, sama tukangnya dibolehin lihat sampai atas. Yaudah, rezeki anak sholeh emang gak ke mana kan? Hehehe ;)

      Hapus
  6. Mengamati pmandangan dari mercusuar kyknya beda y

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bedanya? Hehehe. Tapi minimal pernah ke sini lah ya. Kalau belum sempat, disegerakan saja ;)

      Hapus
  7. nah yang di pulau aceh juga ada tuh mercusuar yang ada nama williem2 nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bang, udah tahu infonya, tapi belum sempat saja waktu itu pas main ke Aceh :)

      Hapus