.: Passiliran di Pohon Tarra, Kambira, Toraja :. |
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta
~ Nisan, Chairil Anwar ~
Ziarah kubur. Itulah istilah yang paling tepat untuk merangkum perjalanan saya ke Tana Toraja. Sejak mengungkapkan keinginan untuk mengunjungi Tana Toraja, saya hampir selalu mendapat komentar begini,
"Ngapain ke Toraja, mau lihat kuburan?"
Begitulah, Tana Toraja bagi sebagian orang memang identik dengan kuburan dan pesta kematian. Pendapat yang tak sepenuhnya salah. Saya datang ke Toraja salah satunya memang ingin menyambangi beberapa kuburan dan menghadiri 'perayaan' kematian dalam sebuah acara adat rambu solo'. Gambaran filosofis yang mengatakan bahwa 'hidup untuk mempersiapkan kematian' bukan hanya slogan dan isi khotbah semata di sini. Setelah mengikuti serangkaian acara mantunu di Desa Nonongan, Kecamatan Sopai, Toraja Utara, saya disarankan oleh penduduk setempat untuk mampir sejenak ke Kambira, sebuah desa di sebelah tenggara Rantepao.
.: Jalan Setapak Menuju Lokasi Pohon Tarra :. |
Siang itu desa Kambira kelihatan sepi. Tak ada keramaian berarti dan juga kerumunan wisatawan. Sebuah loket kecil berdiri gagah di ujung gang. Diawasi oleh beberapa bocah yang sepertinya baru pulang dari sekolah.
Setelah membayar tiket masuk sebagai retribusi untuk kelestarian lokasi kuburan, saya langsung berjalan menuruni beberapa anak tangga menuju tempat passiliran berada. Tempatnya sungguh rimbun dan teduh. Di kanan kirinya bertebaran pohon bambu betung yang berkeriat-keriut diterpa angin sepoi-sepoi. Mendadak bulu kuduk saya berdiri.
Alih-alih berada di sebuah tebing batu, passiliran merupakan kuburan bayi dalam sebuah pohon. Dalam kepercayaan masyarakat Toraja yang menganut ajaran Aluk to dolo, bayi yang meninggal sebelum tumbuh gigi susu dianggap masih suci sehingga tidak dikubur di dalam kubur batu. Pohon Tarra yang berdiameter cukup besar dipilih sebagai 'wahana' untuk menempatkan mayat bayi karena konon getah pohon tersebut diumpamakan sebagai pengganti air susu ibu. Dengan 'menanam' mayat bayi di batang pohon Tarra, jasad bayi tersebut seperti dikembalikan ke rahim ibunya. Hal ini dimaksudkan sebagai sebuah harapan agar bayi tersebut bisa menyelamatkan bayi-bayi lain yang akan lahir di kemudian hari.
.: Pohon Tarra :. |
Ritual penguburannya dilakukan sangat sederhana. Mayat bayi ditempatkan di sebuah ceruk di batang pohon tanpa ada pembungkus apapun. Letak ceruk diatur agak tinggi agar jauh dari jangkauan binatang liar. Setelah itu, ceruk tersebut ditutup dengan ijuk dari pohon enau. Ajaibnya, area di sekeliling pohon ini tidak bau. Saya jadi teringat dengan proses pemakaman mayat di daerah Trunyan, Kintamani, Bali. Bedanya, kalau di Bali, mayatnya diletakkan begitu saja di tanah dan ditutupi dengan kain putih serta dipagari dengan semacam anyaman bambu.
.: Ziarah Kuburan Bayi :. |
Posisi penempatan mayat bayi tetap merujuk pada strata sosial dari keluarga sang jabang bayi tersebut. Semakin tinggi posisi ceruknya menandakan semakin tinggi pula strata sosial keluarga bayi. Awalnya saya mengira kalau penempatan ceruk tersebut random saja menempati batang yang kosong meski tetap mengacu pada posisi strata sosial. Tapi, ceruk-ceruk tersebut ternyata dibuat menghadap sesuai dengan arah posisi rumah keluarga si bayi.
Masyarakat Toraja percaya bahwa mayat bayi yang ditanam di pohon Tarra akan terus 'hidup' dan menyatu dengan pohon sepanjang pohon tersebut terus tumbuh. Menebang pohon Tarra sama saja dianggap memutus kelangsungan hidup bayi yang telah meninggal tersebut. []
wah, keren banget ini ceritanya!
BalasHapuskalau begitu, pohon yang dijadikan kuburan ada banyak dong? :)
Aku gak tau pastinya beb. Yang waktu itu ditunjukkan sih cuma ini. Tapi logikanya, kalau yang dikubur ini khusus bayi yang blm tumbuh gigi susu, harusnya sih jumlahnya terbatas. Kalaupun bukan hanya ini, kayaknya masih kehitung sama jari. Cmiiw :))
HapusWeee.. Wee... Wee... baru tahu aku Die ada kebudayaan semacam ini. Nggak nyangka pula di Toraja. Aku pikir di sana cuma kubur batu saja.
BalasHapusItu pohonnya masih tetap hidup? Pohonnya besar? Cuma ada satu pohon saja yang dijadikan kuburan?
Aku beberapa kali nemu pohon-pohon berukuran gede banget di kuburan di Jawa sini. Entah kenapa selalu nemunya di kuburan. Pohon gede kalau malam saja sudah mistis, apalagi ini pohon yang ada kuburannya.
Iya, pohonnya masih hidup. Mungkin ada beberapa, tapi aku tahunya cuma ini saja. :)
HapusSerem amat mas Adie. ada kuburan bayi di pohon.
BalasHapusGak serem kok, kan udah adatnya begitu. Buktinya aku berani tuh main-main sendiri hehehe ;)
HapusTana Toraja erat banget sama tradisi pemakaman yang unik, dan kayaknya salah satu yang paling menarik deh di Indonesia, aku pengen kesana *huuaaaa*
BalasHapusBerangkaaaaaaat kak :)))
Hapuswaw , betul ya tu mas, pohon nya di jadikan kuburan, baru tau
BalasHapusIya mas, adanya di Kambira, Tana Toraja :)
HapusItu ceruknya buatan gitu ya, Mas? Kok pohonnya nggak mati, ya....
BalasHapusDan kok bisa nggak bau, ya.... *garuk-garuk kepala
Iya mas buatan. Prinsipnya mirip dengan sistem okulasi pada tumbuhan. Jadi, pohon inangnya tetap hidup selama akarnya masih menancap di tanah :))
Hapusabis Lebaran ini In sha Allah mau ke toraja om.. ntar pasti berkunjung kemari.. :D
BalasHapusWhoaaa, have fun ya, semoga lancar dan menyenangkan liburannya ;)
Hapussetelah gue baca postingan ini jadi merinding ihh
BalasHapusHehehe maaf ya, bukan maksud. Tapi, memang begitu keadaan sebenarnya :)
Hapusbrarti satu ceruk bisa banyak bayi ya?
BalasHapusEnggak bisa kayaknya. Satu ceruk cukup untuk satu bayi. Beda sama yang di kubur batu. Kalau kubur batu, satu lubang bisa untuk satu keluarga. Cmiiw :)
Hapuskeren gan pemandanganya
BalasHapusBanyak yang bilang syerem lho tapi hehehe ;)
Hapus