Sabtu, 27 Juni 2015

Cerita Menara

.: Menara Menantang Mega :.

Berdiri menjulang menantang angkasa, menara-menara masjid hadir bagai mercusuar yang mengabarkan syiar ke seluruh penjuru bumi. Di puncaknya, kumandang panggilanNya bertalu-talu lima kali saban hari. Menyusuri suatu daerah baru, saya kerap terkesima dengan keberagaman bentuk menara masjid mengikuti akulturasi arsitektur daerah setempat. Keberadaan menara sering dianggap sebagai 'pelengkap', meski sebenarnya bukan merupakan unsur asli arsitektur bangunan masjid.

Mengingat kisah yang disampaikan oleh ustad di surau dekat rumah, bertahun-tahun yang lalu, disebutkan bahwa masjid Quba di Madinah yang merupakan masjid pertama yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW pun awalnya tidak mempunyai menara. Keberadaan menara juga belum tampak pada masa Islam dipimpin oleh empat serangkai khalifah Al-Rasyidin. Masjid pada masa itu masih sangat sederhana meski sudah dibuat ruang tersendiri yang posisinya agak lebih tinggi di teras masjid sebagai tempat muadzin mengumandangkan adzan.

.: Bergaya di Menara Masjid Raya Baiturrahman :.
Menara masjid baru ada saat Islam berada pada masa kekhalifahan Al-Walid dari Bani Umayyah. Awalnya, 'tradisi' membangun menara masjid mulai dilakukan saat adanya pemugaran bangunan bekas Basilika Saint John menjadi Masjid Agung Damaskus. Menara-menara yang dulunya digunakan sebagai penunjuk waktu tersebut dirombak menjadi tempat muadzin mengumandangkan adzan. Alasannya kurang lebih sama dengan saat ini: agar suara adzan dapat terdengar hingga jauh ke seluruh penjuru kota dibandingkan jika adzan dikumandangkan di dalam bangunan masjid yang luas dan berdinding beton.

Gejala ini ternyata meluas. Masjid Nabawi menjadi tempat kedua dibangunnya proyek menara. Imbasnya, dengan adanya kegiatan syiar agama, menara-menara masjid mulai dibangun di tempat-tempat yang menjadi jalur perdagangan saudagar dari Timur Tengah hingga meluas ke seluruh penjuru dunia. Bentuknya berakulturasi dengan arsitektur daerah setempat. Tak terkecuali di Indonesia. 

Sebagai seorang muslim yang belajar taat menjalankan syariat, saya hampir selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi masjid agung suatu daerah. Bukan hanya berkunjung untuk berfoto di depannya, tapi sebisa mungkin juga menikmati suasana di dalam masjid dengan sejenak mendirikan sholat. Jika diperhatikan, arsitektur menara masjid di Indonesia sungguh unik dan beragam. Meski tetap menuruti pakem bentuk sebuah menara, rasa arsitektur lokal sangat kuat mempengaruhi berdirinya sebuah masjid di bumi pertiwi ini.

.: 'Berburu' Foto Menara di Seluruh Penjuru Nusantara :.

Fungsinya juga bisa bertambah sesuai dengan kebutuhan di suatu masa. Menara masjid yang lokasinya di daerah pesisir, selain digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan, juga digunakan sebagai mercusuar dan menara pengintai akan kehadiran kapal-kapal dagang dan perang dari arah lautan.

Untuk itu, lokasi menara tidak selalu harus menempel di sisi bangunan sebuah masjid. Bisa jadi posisinya agak jauh. Seperti menara Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, posisinya ada di dekat gerbang masuk sebelah timur. Muadzin memang tidak melulu mengumandangkan adzan dari menara ini (bahkan mungkin sudah tidak digunakan lagi untuk tempat adzan karena ada pengeras suara) sehingga dahulu, menara ini juga digunakan sebagai mercusuar pengintai jika ada kapal perang yang datang ke Aceh dari arah lautan.

.: Menara Masjid Agung Banten :.

Saat ini, menara-menara masjid bermetamorfosis menjadi objek wisata. Pariwisata mengafiliasi potensi tersebut. Di waktu-waktu tertentu, menara masjid kerap dijadikan lokasi untuk menikmati lanskap suatu kota. Selain Masjid Raya Baitturahman di Banda Aceh, menara masjid yang mempunyai fungsi demikian (yang saya tahu dan pernah saya kunjungi) yaitu Masjid Raya Bandung, Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang, Masjid Agung Banten, dan Masjid Al-Akbar di Surabaya.

Berbeda dengan masjid agung yang rata-rata ada di pusat kota, mengikuti 'mahzab' Rasulullah, semua masjid dan surau di kampung saya tidak bermenara. Muadzin mengumandangkan adzan di dekat mimbar, tempat khotib berkotbah. Dengan bantuan teknologi berupa pengeras suara, seruan panggilan adzan disebarkan melalui corong pengeras suara yang ditempelkan di bawah kubah atau ditempatkan sedemikian rupa dengan tiang dari bambu. 
Perbedaan yang semakin mencolok akhir-akhir ini berkenaan dengan keberadaan menara dalam kaitannya dengan suara toa di masjid, di kampung saya, penggunaan pengeras suara ke arah luar hanya digunakan saat mengumandangkan adzan dan menyerukan suatu pengumuman (kerja bakti, pengajian bersama, dan kematian). Sedangkan saat sholat berlangsung atau acara-acara keagamaan, pengeras suara ke arah luar dinonaktifkan demi menjaga ketenangan, kenyamanan bersama, dan menghormati hak orang-orang yang memang 'memilih' untuk tidak beribadah ke masjid. Hal tersebut rupanya masih berlaku dari dulu hingga sekarang. Setidaknya itulah yang saya lihat saat saya mudik akhir tahun lalu.

.: Corong Toa di Sebuah Surau :.
Setelah saya balik ke Jakarta, keadaan tersebut memang sedikit berbeda. Toa masjid kerap diprotes sebagai biang pengganggu ketenangan dan kenyamanan hidup di lingkungan sebuah perumahan. Masalahnya sebenarnya sederhana saja. Suara yang tidak merdu, bagaimanapun bentuknya bisa menjadi polusi yang menggangu ketenangan siapa saja. Apalagi di lingkungan perumahan yang penduduknya majemuk. Untuk itu diperlukan suatu sikap kerendahan hati dari pemegang kepentingan di lingkungan tersebut bahwa pengeras suara mungkin memang bermanfaat sebagai media penyebar pesan ke seluruh penjuru lokasi di sekitar masjid.

Namun demikian, untuk acara intern keagamaan, selain adzan dan pengumuman, sebaiknya pengeras suara hanya dipergunakan untuk kepentingan pendengaran orang-orang yang memang datang ke masjid saja. Jadi, untuk acara pengajian, sebagus apapun materi pengajian tersebut, sebaiknya cukup dapat didengar oleh peserta pengajian saja. Tidak perlu juga orang-orang yang tidak ikut pengajian, entah itu memang memilih tidak datang atau karena beda agama, 'dipaksa' ikut  mendengarkan dengan seksama materi pengajian yang sedang berlangsung. Apalagi jika di dalam pengajian tersebut diselingi dengan lagu pujian dan tetabuhan yang suaranya menggelegar melolong-lolong mengganggu pendengaran. Saya yakin, bukan hanya penduduk nonmuslim yang merasa terganggu, tetapi juga penduduk muslim.

Hal-hal di atas merupakan pernak-pernik terkait dengan keberadaan, fungsi, dan efek yang ditimbulkan oleh menara dari masa ke masa. Semegah atau sesederhana apapun bangunan sebuah menara, akan ada cerita menarik yang melekat di dalamnya. Menara-menara akan dibangun terus menerus hingga akhir zaman. Sebanyak menara akan dibangun, sebanyak itu pulalah cerita menarik yang akan bergulir, baik tentang menara itu sendiri maupun segala sesuatu yang disebarkan dari menara tersebut. []

6 komentar:

  1. waduh, kalau masalah TOA masjid emang bakal jadi kontroversi, tapi kalau bentuknya bagus kayak masjid - masjid besar sih ya nggak apa :D btw, koleksi foto menara masjidnya udah banyak :D Tapi aku cuma kenal yang disemarang karena ada payung elektrinya, sama yang udah diberi caption aja :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya di Indonesia cuma satu di Semarang itu ya? Atau ada yang lain hehehe. Fotogenic kok emang karena ada payung-payungnya itu yang mirip banget kayak Masjid Nabawi di Madinah.

      Ini awalnya aku iseng aja kok motretin menara-menara masjid tiap jalan-jalan. Eh, ternyata terkumpul banyak dan macam-macam pula bentuknya :)

      Hapus
  2. Bahkan ternyata menara itu akulturasi Islam dengan budaya barat. Jadi masjid yang ada menaranya bisa dibilang masjid yang kebarat-baratan gitu nggak sih? Hehehe.

    Tapi walaupun ada menara, nggak kebayang deh muadzin jaman dulu sekeras apa suaranya biar adzannya bisa terdengar sampai jauh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya sih kurang tepat kalau dibilang kebarat-baratan. Cuma, awalnya menara itu ada agar memudahkan suara adzan muadzin 'tersebar' ke seantero penjuru kota. Jadi bukan barat, tapi timur tengah. Maklum, rumah-rumah di Arab kan rapat-rapat. Berbeda dengan rumah-rumah di Indonesia, terutama bagian pesisir. Makanya, masjid di Indonesia, awalnya dulu memang tidak ada menaranya. Soal bentuk menaranya itu, lambat laun karena adanya akulturasi budaya barat saat zaman penjajahan, bentuk menara masjid ada nuansa arsitektur baratnya :)

      Hapus
  3. menara masjid bentuknya unik unik ya, ada yang masih asli budaya indonesia, ada yang akulturasi sama budaya barat hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali. Karena unik-unik itulah makanya saya tertarik banget buat motretin tiap kali berkunjung ke suatu daerah :)

      Hapus