Jumat, 02 Januari 2015

Berburu Badak Jawa di Ujung Kulon

.: Selamat Datang di Taman Nasional Ujung Kulon :.

Jangan pernah berharap banyak jika ada yang mengajak melihat badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) di Ujung Kulon. Tak ada garansi pasti kita dapat menjumpai satwa pemalu ini semudah menemui satwa liar lainnya semacam komodo atau orangutan. Jauh-jauh hari sebelum bertandang ke Taman Nasional Ujung Kulon, sudah saya benamkan secara mendalam di benak bahwa tak akan ada satupun badak Jawa yang akan saya temukan di tempat ini. Menurut survey terakhir tahun 2011 saja, diperkirakan hanya 55 ekor badak yang hidup di taman nasional pertama di Indonesia yang ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh Unesco ini.

Bagi saya sendiri, badak Jawa itu serupa mitos. Banyak orang diam-diam mengimani kalau wujud fisiknya ada, tapi tak satupun yang pernah melihatnya secara langsung selain melalui kamera tersembunyi atau (jika beruntung) berhasil melihat jejaknya jauh di tengah hutan di ujung barat Jawa. Namun demikian, seantero Kabupaten Pandeglang, Banten sepakat menjadikan satwa ini sebagai simbol daerahnya.

.: Monyet-Monyet Liar di Pulau Handeuleum :.
Berangkat dari keinginan untuk melihat jejak yang ditinggalkan sang primadona, saya menuju Ujung Kulon dengan persiapan ekstra. Taman Nasional Ujung Kulon yang dikenal berhutan lebat konon dipercaya juga sebagai daerah endemik malaria. Saya minum pil kina seminggu sebelum berangkat. Dan setelah terombang-ambing selama 8 jam dari Jakarta di jalanannya yang hancur, saya merapat di Desa Sumur, desa terakhir untuk mencapai kawasan taman nasional.

Pagi itu pelabuhan rakyat di Desa Sumur sudah ramai oleh nelayan yang bongkar muat perahu. Saya dan beberapa orang teman meloncat ke salah satu perahu dan segera bertolak ke Pulau Handeuleum. Tujuannya hanya satu: mengantar Pak Banteng untuk mengambil kano.

Pulau Handeuleum ini sepi. Tak ada pengunjung yang datang selain kami. Sebuah bangunan penginapan dibangun sebagai sarana bagi pengunjung (atau jaga-jaga jika ada pejabat daerah yang datang) yang berniat bermalam. Kawasan pesisirnya dibangun oleh rerimbunan bakau. Konon, buaya mutiara, ular sanca, dan ular cincin emas berbagi habitat di pulau ini. Namun yang terlihat hanyalah beberapa ekor monyet yang tampak berlarian masuk ke dalam hutan saat saya datang. 

Setelah menambatkan kano-kano di buritan perahu dan memastikannya terpatri kukuh, perjalanan dilanjutkan menuju kawasan sungai Amazonnya tanah Jawa: Sungai Cigenter. Saya sengaja memilih posisi paling depan di kano biar bisa melihat dan menikmati alam Ujung Kulon tanpa terhalang oleh apapun. Mengikuti aba-aba dari Pak Benteng, saya mulai mengayuh kano perlahan-lahan menuju ke dalam hutan.

.: Sungai Cigenter, Amazonnya Pulau Jawa :.

Sungai Cigenter merupakan habitat bagi buaya, kepiting sungai, beberapa spesies burung, kijang, serangga, ular air, ular hijau, dan yang paling spektakuler adalah ular phyton yang biasa bertengger manis melilit batang pohon. Vegetasinya dipenuhi oleh rimbunan hutan bakau, palem, nipah, semak, dan juga rotan yang saling berebut sinar matahari. Alirannya yang jarang dijamah manusia membuat airnya berwarna hijau bening.

.: Canoing di Sungai Cigenter :.
Di antara riak sungai yang tenang, kano yang saya tumpangi melintas persis di bawah dahan pohon yang menyangga ular phyton. Dengan berbisik, Pak Benteng memberi tahu para penumpang kano agar tidak berisik, takut mengganggu ketenangan sang ular yang sedang nyenyak tidur siang.

Di sebuah pucuk pohon palem yang telah kering, seekor elang terbang melintas, mengamati mangsa dari atas. Dan di sebuah pinggir sungai tempat batang pohon tumbang, seekor ular air bersiap untuk menyeberang, melintasi air sungai yang berwarna hijau.

Potongan fragmen tersebut seolah bergerak bergantian, menyajikan pemandangan apik yang berfusi dengan bunyi tong geret, seolah mencoba menghibur dengan sederhana bagi para 'pemburu badak'.

Setelah jauh menembus hutan melalui sungai dan tak seekor badak pun yang melintas atau menampakkan bayangannya, diputuskan untuk melanjutkan perjalanan ke padang penggembalaan Cidaon. Dari muara Sungai Cigenter, padang penggembalaan Cidaon dapat ditempuh selama dua jam dengan perahu motor. 

.: Sepenggal Afrika di Ujung Barat Jawa :.

Sama seperti di Cigenter, pengunjung tidak boleh berisik di sini. Padang penggembalaan Cidaon merupakan wahana tempat banteng liar melakukan sosialisasi sehingga pengunjung hanya diperbolehkan untuk memerhatikan dari kejauhan. Sebuah menara pandang dibangun tak jauh dari dermaga untuk mengamati perilaku satwa liar yang berbagi tempat di padang sabana ini. Jika beruntung, kawanan ayam hutan dan burung merak kerap menampakkan diri, menggoda siapa saja yang melihatnya untuk mengabadikan dalam lensa kamera maupun ponselnya.

.: Akar Berpilin Pohon Kiara di Ujung Kulon :.
Untuk menghemat waktu, perjalanan dilanjutkan ke  Tanjung Layar sebelum bermalam di Pulau Peucang. Dari padang penggembalaan Cidaon, dermaga untuk menuju kawasan Tanjung Layar ditempuh sekitar 20 menit. Dari situ, pengunjung kembali disuguhi jalur trekking masuk ke dalam hutan dengan medan yang tak kalah menantang.

Kawasan Cibom yang menjadi pintu masuk menuju Tanjung Layar merupakan hutan hujan tropis yang kerap diselimuti kabut saat pagi hari. Dari kejauhan, kawasan ini terlihat seolah tak terjamah sehingga cocok jika di kedalamannya merupakan habitat sempurna bagi badak Jawa. Pohon-pohon tinggi menjulang berebut sinar matahari. Kawasannya bertanah basah meski sedang tidak hujan. Dalam perjalanan menuju kawasan Tanjung Layar, tak jarang kita temui banyak sekali Pohon Kiara dengan akarnya yang merambat, berpilin membentuk jalinan yang saling berlindan serupa benteng alami yang menghadang jalur trekking.

Dengan jalur trekking yang berupa tanah basah menuntuh para pengunjung untuk senantiasa hati-hati agar tidak terpeleset. Meski suasananya cenderung sunyi sepanjang perjalanan, sesekali pengunjung dihibur dengan kedatangan yang begitu tiba-tiba sekawanan kijang yang tanpa takut, tetap berada di tempat semula saat sekelompok manusia melintas.

.: Jejak Banteng Liar :.

Bunyi ayam hutan dan merak juga kerap terdengar, seolah memberi bukti bahwa kawasan ini masih alami dan tak menuntut sebuah modernisasi bernama pembangunan. Saya melanjutkan perjalanan dalam diam. Dan di saat meniti tanah basah, mata saya terpaku pada keberadaan jejak hewan liar yang melintas di jalur yang sama beberapa saat sebelum kita melintas. Awalnya saya sudah keburu senang itu adalah jejak badak. Namun Pak Benteng mengonfirmasi bahwa jejak itu merupakan jejak banteng liar. Sekali lagi saya disadarkan bahwa tak ada garansi untuk bertemu dengan badak Jawa, tidak pula dengan jejaknya.

.: Ujung Barat Pulau Jawa :.
Setelah berjalan sekitar 20 menit dari dermaga Cibom, kawasan Tanjung Layar membentang di depan mata. Kawasan inilah yang menjadi ujung paling barat pulau Jawa.

Di salah satu bibir pantainya terdapat mercusuar yang konon dibangun pemerintah kolonial tahun 1808 silam untuk mengatur lalu lintas kapal yang akan melintasi Selat Sunda. Sebuah reruntuhan benteng juga menjadi saksi bahwa di masa lalu, kawasan ini pernah akan dijadikan sebagai pelabuhan laut. Namun urung karena satu persatu para pekerjanya meninggal terkena serangan malaria. Sejak itulah seolah-olah Ujung Kulon menjadi kawasan yang jauh, tak tersentuh, dan terkesan ekslusif. []

12 komentar:

  1. Mana badaknya manaaaa? *pembaca menuntut ada bacusa*

    Aku malah belum sampai sana, Di. Kemarin mau ikut open trip gagal terus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Badaknya malu mz mau dipotret, kayak aku yang pemalu ini. Ooooh, kirain waktu itu jadi lho. Klo ke Ujung Kulon jangan lupa minum pil kina sama pakai lotion anti nyamuk. Buat jaga-jaga aja daripada pulang dari sono kena malaria :'(

      Hapus
    2. Pake rexocin aja lebih cepet dan ngak ribet macam kina.
      Gw 4x bolak balik ujung kulon blm perna ketemu badak, kalo cuman sekali sech yaaa ..... #lanjutin hahaha

      Hapus
    3. Rexocin itu bentuknya pil atau apa Cum? Baru tau gw :)

      Hapus
  2. kayaknya bisa liat badak itu mirip sama memenangkan undian 1 milyar, hahaha :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ralat, bisa lihat badak di Taman Nasional Ujung Kulon, bukan di taman safari atau kebon binatang hahaha :)

      Hapus
  3. Yang bikin males ke ujung kulon ini perjalanan darat dari jakarta nya, memakan waktu lebih dari 8 jam trus waktu masuk desa sumur, jalanan ancur total #kacau

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yoi banget, jalanannya hancur total. Tapi gak tau kalau sekarang. Denger-denger sejak penguasanya ketangkep KPK, pembangunan di Banten jadi agak merata. Semoga sih jalan Ujung Kulon termasuk salah satu yang jadi lebih baik ya hehehe :)

      Hapus
  4. Sepertinya butuh eksplorasi berhari-hari untuk bisa bertemu dengan Badak, si tuan rumah. Terlalu pemalu! Semoga di petualangan selanjutnya (kalau balik ke Ujung Kulon) bisa ketemu dengan si Badak :hehe.
    Pingin lihat soal The Fourth Point of Java dan Java's Head yang luluh lantak akibat Krakatau, ada ceritanyakah? Kalau ada, saya tunggu :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ke Ujung Kulon lagi, pengennya cuma mau leyeh-leyeh di Pulau Peucang aja, gak mau trekking lagi hehehe. Soal bencana akibat Krakatau, coba cek aja link ini, siapa tau membantu: http://adiedoes.blogspot.com/2014/10/kelana-krakatau.html?m=0

      Soal bencana yang meluluhlantakkan itu, mungkin akan ada sedikit di postingan selanjutnya tentang Pulau Peucang. Just stay tune ya :)

      Hapus
  5. Terus ketemu badaknya? Kok gak difoto :P jejaknya aja tuh ^^ btw, kesini kapan? Asik nih, bisa adventure disini :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Badaknya kan pemalu mz, kayak aku hehehe. Ini sebenarnya trip udah agak lama, cuma baru sempet aja ditulisnya :)

      Hapus