Jumat, 19 September 2014

Menggapai Puncak, Menjemput Asa

.: Matahari Terbit dilihat dari Puncak Gunung Gede :.
There's a sunrise and a sunset every single day, and they're absolutely free. Don't miss so many of them.” - Jo Walton.
Saya sering bertanya-tanya sendiri dalam hati, meski terjadi setiap hari, mengapa banyak orang rela meninggalkan tempat tidurnya yang nyaman, lalu menempuh perjalanan jauh, hingga harus merangkak menuju ketinggian atau merenung lama dalam keheningan di pinggir pantai, hanya demi menyaksikan momen matahari terbit. Di antara hamparan edelweiss yang mekar sempurna dengan udara kering yang mengundang gigil di Alun-Alun Suryakencana, saya kembali teringat dengan perjalanan-perjalanan yang sudah saya tempuh hanya untuk menyambut datangnya fajar di ufuk timur.

Saya akan selalu mencatatnya dalam benak sebagai sebuah momen menggurat pengalaman tak terlupakan menyaksikan sang surya lahir dari perut bumi. Setidaknya itulah yang tertangkap indera penglihatan saya. Saya pernah rela membeku di tengah laut Flores, mengendap-endap di bukit yang penuh kentang dan daun bawang di Lembah Dieng, hingga duduk diam penuh kesabaran di Pantai Sumur Tiga Pulau Weh, Aceh hanya agar tidak melewatkan fenomena alam yang bahkan terjadi hanya beberapa menit saja setiap hari. Betapa berharganya usaha tersebut untuk dikenang. Dan betapa indahnya momen-momen tersebut untuk diawetkan dalam ingatan.  

.: Puncak Gunung Gede, 2958 mdpl :.
Saya terjaga dua kali malam itu. Pertama karena terlalu bersemangat untuk segera kembali mendaki agar tidak terlalu merasa kedinginan. Yang kedua karena tidak mau terlewatkan menyaksikan matahari terbit di puncak Gunung Gede sebagaimana sudah saya idam-idamkan sejak dua bulan sebelum pendakian.

Pukul 02.30 WIB saya mulai merapikan sleeping bag dan matras, berkemas sesegera mungkin, dan bergabung dengan rombongan pendaki gelombang pertama yang baru akan pertama kalinya menyaksikan matahari terbit di puncak Gunung Gede. Sementara pendaki yang sudah pernah (bahkan sering) mendaki gunung ini sebelumnya, memilih menunda pendakian setelah adzan subuh berkumandang untuk mengemasi tenda dan peralatan logistik lainnya.

Saya merasa pendakian kali ini sungguh penuh berkah. Langit cerah merona, bulan menggantung manja menjadi penerang, dan ribuan bintang berkedip menggoda siapa saja yang mengagumi hal ihwal ciptaan Tuhan. Saya mendefinisikannya sebagai terjemahan sederhana dari istilah mestakung (semesta mendukung) seperti yang dilantunkan oleh buku-buku dan para fisikawan.

.: Selamat pagi dunia, selamat datang harapan baru :.
Jejak langkah para pendaki menjejak santun satu persatu paving batu yang ada di sepanjang jalur pendakian. Lampu senter tetap bertindak sebagai pemandu kaki agar tidak tersandung batu, menghindari menginjak kaki pendaki lain, atau sebagai aba-aba berhenti dan mulai berjalan agar anggota rombongan bisa selalu berjalan berurutan.

Berbeda dengan jalur pendakian dari pintu gerbang Gunung Putri menuju Alun-Alun Suryakencana, jalur pendakian menuju puncak ini relatif tertata. Meski tanjakannya semakin curam, banyak sekali akar pohon, bonggol batang, dan tatakan batu yang terpahat rata. Beberapa batang yang saya jadikan pegangan terlihat licin dan mengkilap, tanda jika batang tersebut sering dipakai sebagai pegangan oleh banyak pendaki. Hal itu juga sekaligus sebagai penanda bahwa jalur yang saya lalui merupakan jalur pendakian yang tepat di antara banyak sekali jalur 'ilegal' yang membuka rimbun pepohonan.

Di tengah perjalanan, beberapa anggota pendaki mengaku agak susah mengatur ritme bernafas. Beberapa yang lain mulai mengalami siklus rutin 'panggilan alam' setiap pagi hendak menjelang. Akhirnya, oleh pimpinan rombongan diputuskan bahwa, beberapa pendaki dipersilakan melanjutkan perjalanan terlebih dahulu menuju puncak sembari mengangkut barang bawaan pendaki yang agak kelelahan. Karena tak terlalu merasa capai, saya memilih terus melanjutkan pendakian meski berjalannya tetap dengan prinsip yang sesantai-santainya. Alon-alon waton kelakon sampai puncak.

Dan memang benar saja, tak berapa lama setelah jalur menanjak yang curam berkelok-kelok, disertai dengan beberapa papasan dengan pendaki lain yang sedang meringkuk beristirahat, saya mendengar sayup-sayup suara pendaki yang membuat semangat dan adrenalin saya semakin meningkat.

"Puncak. Puncak. Puncaknya sudah dekat. Semangat." Begitu kira-kira pekik yang saya dengar begitu riang sekaligus lirih diterbangkan angin gunung. 

.: Menjemput Harapan, Menyambut Hari Baru :.

Ada saat-saat dalam hidup di mana saya merasa tubuh akan terasa ringan dari beban yang menumpu. Perasaan saat bebas dari lulus ujian nasional dengan nilai memuaskan dan di atas rata-rata. Lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri di jurusan pilihan pertama. Tidak ditolak saat menyatakan sayang pada perempuan yang pasti sedang hilang ingatannya saat menerima cinta saya. Dan menggapai puncak sebuah gunung menurut saya patut dimasukkan dalam deretan penyebab perasaan menyenangkan tersebut.

Saya bersama tiga orang kawan merayakannya dengan menggelar matras dan menunaikan sholat subuh bersama. Tak ada sorak-sorai berlebihan. Yang ada hanya kekaguman dalam rasa hening dan kesyukuran. Setelah selesai berdoa secukupnya, karena 'tanah lapang' yang kami gunakan untuk sholat mulai ramai oleh para pendaki yang baru sampai puncak juga, kami mulai mencari tempat paling strategis dan agak lapang untuk tempat berkumpul teman-teman pendaki yang masih ada di bawah. 

.: Kawah Gunung Gede dan siluet gemunung di kawasan Puncak :.
Sembari menunggu teman-teman mencapai puncak, saya segera saja mencari tempat terbaik untuk melihat momen magis yang sudah saya tunggu sejak dua bulan lalu, bersama dengan belasan, hingga akhirnya puluhan pendaki lain, di puncak Gunung Gede bagian timur. Durasinya sangat cepat sekali hingga saya harus berhitung cepat antara menikmatinya dengan mata telanjang selama satu menit dan mengabadikannya dalam menit-menit selanjutnya. Semburat warna jingga seolah membuncah perlahan dengan derap malu-malu.

Tak ada angin bertiup. Kicauan burung juga absen sejenak. Atmosfernya terasa seperti menyaksikan pertunjukan adu diam secara kolosal. Setidaknya ada puluhan kamera menuju fokus yang sama. Bak model papan atas, raja dunia ini memang tampak malu-malu hadir menerangi semesta. Di kejauhan, hamparan gunung menyembul di batas cakrawala, mengingatkan saya pada bukit-bukit di kawasan Plato Dieng. Sungguh magis dan mengundang decak kagum. Mungkin inilah yang dicari oleh sebagian pendaki. Kepuasan visual yang hanya dapat dinikmati hanya beberapa menit sebelum semuanya menyublim menjadi sesuatu yang terlihat biasa saja.

.: Kawah Gunung Gede dengan latar Gunung Pangrango :.
Tapi saya merasakan, setelah momen dramatis yang menggetarkan iman dan membangkitkan perasaan menjadi renik di hadapan sang Pencipta, ada satu momen lanjutan yang patut dicatat sebagai momen yang pantang untuk dilewatkan setelah matahari benar-benar hadir sempurna.

Wajah hamparan semesta yang baru saja disibak dari cengkeraman selimut malam adalah salah satu senandung yang nikmat diindera oleh mata. Kesederhanaannya seperti menyampaikan bentuk bahasa persahabatan dengan mereka-mereka yang tak pernah bosan mencintai semesta dengan segenap isinya.

Setidaknya, saya bisa mengenali beberapa gunung yang ada di kejauhan. Nun jauh di sana, parisada Papandayan seperti mengirimkan sinyal untuk disapa pada pendakian berikutnya. Di belakang saya berdiri, puncak Pangrango berkelap-kelip seolah mengirimkan larik puisi dari Lembah Mandalawangi. Dan di punggungnya, jauh di barat sana, timbul siluet mistis Gunung Salak yang selalu misterius untuk didaki. Entah kapan saya akan berkesempatan menginjaknya lagi.

.: Negeri di Atas Awan :.

Berada di puncak gunung seperti ini pikiran saya selalu berpacu dengan segenap rencana dan harapan-harapan baru. Ada semacam perhitungan singkat yang berlangsung di kepala tentang hal-hal yang mendadak harus dilakukan selepas kegiatan mendaki. Ingatan tentang segala rencana yang pernah disusun membeludak mengambil porsi yang signifikan untuk segera direalisasikan. Ada juga pesona yang perlu untuk diungkap dalam gambar dan aksara selepas menjejak kota. Dan turut pula datang godaan untuk mendaki dan menggapai puncak-puncak yang menyembul dan seolah melambai-lambai, mengundang untuk bertandang dari gunung-gunung yang terhidang di depan mata.

.: Lestari Alamku, Lestari Negeriku :.
Inilah mungkin yang dimaksud dengan candu alami. Keinginan kuat dalam meraih sesuatu akan melahirkan pemikiran dan keinginan yang lebih besar untuk menggapai dan menaklukkan sesuatu yang lebih menantang. Fitrah manusia yang berusaha mendekatkan diri dengan alam sepertinya memang ditakdirkan untuk tak pernah berpuas diri dalam menaklukkan diri sendiri saat bergumul dengan petualangan.

Mungkin saya termasuk pendaki atau pejalan yang kurang romantis dalam memaknai perjalanan atau pendakian yang saya lakukan. Saya tidak perlu merasa terlahir kembali atau bahkan menemukan jati diri saat melakukan migrasi komunal seperti ini. Alih-alih merasa asing dalam kesendirian, saya justru berjumpa dengan banyak kawan sependakian.

Maksudnya begini. Dalam sebuah obrolan hangat pada sebuah reuni dengan kawan lama atau saudara jauh, saya kerap ditanya sembari dipandang dengan tatapan heran karena sering melakukan perjalanan seorang diri. Biasanya tatapan tersebut sering dibumbui dengan nada suara kekhawatiran perihal keamanan dan kesepian. Mungkin itulah suasana kebanyakan orang yang selalu terkungkung dan hanya terbiasa bergumul dengan kehangatan keluarga di rumah.

Padahal, ada banyak sekali pejalan yang dengan tangan terbuka menjadi kawan atau bahkan keluarga dekat saat berada di perjalanan. Mereka dengan tulus mau berbagi, bertukar senyum dan sapa, atau sekadar menawarkan bantuan untuk mengambil gambar atau berbagi seteguk air. Dan di tempat-tempat yang jauh dari rumah seperti inilah kadang kala saya merasa bahwa memiliki orang tua dan sahabat yang hangat, teman-teman yang tulus, serta bertemu dengan banyak pejalan yang rendah hati adalah sebentuk rezeki yang kadang luput diakumulasi sebagai bentuk kekayaan yang hakiki.   

Saya mengambil banyak sekali gambar yang akan membuat saya kangen berat mendaki gunung ini. Keriaan yang sama sepertinya tertangkap juga dari wajah-wajah ceria kawan pendaki yang sedari tadi sudah sampai puncak dan sibuk mengabadikan diri di penanda ketinggian gunung. Mungkin menggapai puncak gunung ibarat semacam sebuah tahap pencapaian. Ada usaha, kerja keras, dan pengorbanan untuk meraihnya. Ada harapan-harapan baru yang terbit bersama tersibaknya awan putih tipis sehingga membuat biru langit menghampar sebuah cakrawala luas.

.: [Turun Gunung] Menuju Pulang via Jalur Cibodas :.
Meskipun demikian, seperti halnya mimpi yang akan berhenti hanya sebatas angan-angan, sebuah rencana besar dan tugas berat yang membentang di depan mata seolah akan menguap begitu saja jika tidak ada aksi untuk mengeksekusinya menjadi sebuah kenyataan.

Saya pikir, seperti halnya banyak jalan menuju Roma seharusnya juga banyak jalan keluar dari Roma. Logika yang sama saya ambil untuk mengidentikkan eksekusi mimpi menjadi bukan hanya sekadar asa. Pasti ada banyak jalan juga untuk meraihnya. Dan untuk pendakian kali ini, karena jalur Gunung Putri pasti akan sangat sibuk dengan riuhnya peserta Lomba Kebut Gunung 2014, saya mulai bergerak turun melalui jalur Cibodas dengan harapan untuk mencari jalan dan kemungkinan lain yang lebih tidak membosankan. Saya yakin akan ada banyak sekali kejutan dan hiburan yang pantang untuk dilewatkan. [] 

16 komentar:

  1. Waah, seru mas ceritanya....

    Aku belum pernah naik gunung, tapi rasanya kapan-kapan pengen juga deh. Sebenarnya sudah lama sih kepengennya, tapi masih belum terealisasi. Semoga kapan-kapan bisa mewujudkannya, hehe....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kapan-kapan itu artinya tidak akan pernah kejadian lho hehehe. Mending diniatkan saja kalau memang pengen banget. Naik gunung itu menyenangkan banget :)

      Hapus
  2. Daru judulnya macam perpaduan ikutan kontes AFI Menuju puncak dikombinasi sama acara realityshow Merajut Asa... ternyata ini kisah kesendirian om Adie menikmati alam... Semoga cepet dapet gandengan yang bisa dibawa kemana-mana ya kaka #salahtangkap #ngacirrr ^__^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha dasar nih ya Koh Halim. Nanti mau bikin ah postingan galau pas naik gunung wkwkwk :D :P

      Hapus
  3. Ah, jadi kangen naik gunung...walau baru sekali dan itupun gak sampe puncak :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Naik gunung mana emangnya mas? Naik gunung emang nyandu mas, sensasinya luar biasa kalau sampai puncak :)

      Hapus
  4. Enak banget.. udara pegunungan pagi pasti seger banget
    . Hehhehe selalu pingin naik gunung.. kalo skv paling banter ke dieng.. dan itu gak masuk naik gunung. Hehehhe
    Btw foto2nya keren

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget, udaranya segar sekali pas pagi hari. Setidaknya, sebagai Anak Gaul Jakarta, udara segar begini sesuatu banget. Dieng termasuk pegunungan, jadi gak ada salahnya kok main-main ke sana. Bukit Sikunir dan Gunung Prau bisa jadi pilihan. Asal mendakinya jangan bedol desa ya biar gak terlalu riuh di puncaknya. Btw, terima kasih untuk apresiasinya. Salam lestari :)

      Hapus
  5. Seseorang berani meninggalkan kenyaman di tempat tidur dan melakukuan hal-hal ekstrem, dalam hal ini naik gunung, diving, atau apapun itu, pasti akan mendapatkan suatu kepuasaan yang tidak didapat jika hanya berdiam dan mengurung diri di kamar. Dan untuk bisa seperti mas yang telah banyak lakukan banyak hal dengan beperjalanan, saya masih blm mampu melakukannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe suatu saat kamu juga bisa. Jangan berhenti bermimpi dan terus berusaha. Man jadda wa jadda. Salam :)

      Hapus
  6. Kepuasan seorang petualang sejati ya gitu.. menikmati dan menggagumi Ciptaan-Nya. Subhanalloh... pencak gunung gede memang indah banget. Ingin kembali mendaki Gunung Gede.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, mungkin karena cuacanya cerah banget ya, jadi saya bisa dapet gambar yang lumayan begini. Naik gunung memang nyandu ternyata mas hehehe :)

      Hapus
  7. Pemandangan sunrise di atas gunung selalu menakjubkan. Sekilas baca judulnya, tak kira sampeyan mau ikutan audisi ajang mencari bakat di Indosiar Mas. Hehehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakakakak, udah dua orang (yang aku kenal sih) ngomong begitu. Padahal itu kan efek lihat matahari terbit, jadi muncul harapan untuk meraih cita-cita dan pencapaian yang lebih tinggi lagi. Halah, bahasaku kayak Mario Teguh aja hahaha :)

      Hapus
  8. Salah satu keinginan yg belum tercapai nih memuncak Gede. Kalo ke Puncak doang mah sering #eh

    Btw seriously bisa lihat Papandayan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha keinginan akan berhenti hanya menjadi sebatas keinginan kalau tidak segera dilaksanakan lho mas :D

      Wah, aku sebenernya gak tau gunung apa itu, tapi kata temen-temen pendaki yang ada di situ pas sama-sama motret sunrise bilang kalau itu Papandayan. Di kejauhan banget sih, tapi aku bisa melihatnya :)

      Hapus