Jumat, 14 Februari 2014

Ekspedisi Susur Sungai

.: Sungai yang Menantang untuk Disusuri :.

Eksotis. Itulah kata yang selalu disematkan oleh teman-teman saat mengomentari beberapa foto perjalanan saya. Kata itu hampir selalu diidentikkan dengan suatu destinasi yang tidak populer, susah untuk menjangkaunya, dan dibutuhkan biaya yang tidak murah untuk menuju ke sana. Padahal, tempat-tempat yang saya kunjungi merupakan tempat yang sangat familier bagi banyak orang, tidak terlalu susah untuk pergi ke sana jika memang diniatkan, dan untuk mendapatkan harga terjangkau, hal itu dapat disiasati dengan berbagi biaya dengan para pejalan lain.

Beberapa kali turut serta dalam tantangan menyusuri sungai berarus liar, tiba-tiba saja saya kepikiran untuk mencoba menyusuri sungai-sungai berair tenang. Sungai seperti ini biasanya berada di dekat muara, alirannya membelah hutan yang cukup lebat, dan tantangannya justru tersimpan di dalam arusnya yang santun. Sungai dengan karakter seperti yang saya sebutkan di atas, sangat mudah dijumpai di Indonesia. Beberapa sudah menjadi destinasi wisata populer, tapi masih banyak lagi yang belum tercium radar wisatawan. Dari ratusan sungai yang dikoleksi bumi pertiwi, saya susuri tiga di antaranya.    

.: Green Canyon yang Menawan :.
1. Cukang Taneuh, Green Canyon.

Bisa ditempuh dengan perjalanan darat selama sekitar 8 jam dari ibukota membuat sungai berair hijau di wilayah Ciamis ini dikepung mobil-mobil kelurga berplat B di akhir pekan. Saya datang ke sini awalnya terbius dengan tebing-tebingnya yang tinggi menjulang mengawal aliran sungai.

Meski di sepanjang daerah aliran sungainya relatif sepi, dibutuhkan kesabaran yang cukup tinggi saat Anda harus antri menumpang perahu untuk menuju ke arah canyon, spot terbaik yang menjadi incaran banyak pejalan. Destinasi wisata ini sudah populer. Saat liburan sekolah tiba, bersiaplah pulang dengan tangan hampa tanpa membawa pulang foto-foto berlatar hijau karena perahu hanya boleh diisi maksimal 5 orang dan loket penjualan tiket ditutup dulu saat tengah hari. Hal ini bagus untuk memastikan semua wisatawan yang sudah memegang tiket bisa dipastikan terangkut semuanya ke arah canyon.

Kombinasi udara sejuk khas pedesaan dan aliran sungai yang tenang dengan sesekali diselingi 'air terjun' ringan yang membelah tebing membuat tempat ini sangat nyaman digunakan untuk tempat rehat sejenak dari rutinitas sehari-hari. Bersabarlah untuk tidak berenang di air tenangnya karena dasarnya berada di kedalaman 6-8 meter. Di arus tenangnya ini sering diceritakan oleh penduduk sebagai habitat anakonda, buaya, dan biawak, meski yang sering terlihat adalah yang terakhir saja. Anda bisa menikmati segarnya air bening Cukang Taneuh dengan berenang di laguna yang ada di antara canyon, tepat di atas tempat banyak perahu sedang parkir menunggu.  

.: The Amazon of Java, Cigenter, Ujung Kulon :.
2. Sungai Cigenter, Ujung Kulon.

Jauh-jauh hari sebelum bertandang ke Taman Nasional Ujung Kulon, sudah saya benamkan secara mendalam di benak bahwa tak akan ada satupun badak Jawa yang akan saya temukan di tempat ini. Menurut survey terakhir tahun 2011, diperkirakan 55 ekor hidup di taman nasional pertama di Indonesia yang ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh Unesco ini. Tapi bagi saya, badak Jawa itu serupa mitos. Wujud fisiknya ada, tapi tak satu orangpun yang pernah melihatnya secara langsung.

Para peneliti mengidentifikasi herbivora pemalu ini melalui kamera pengintai. Penduduk sekitar dan sedikit pejalan yang beruntung, hanya dipuaskan dengan mengintip jejaknya. Selain berburu badak, aktivitas lain yang tak kalah serunya adalah berkano di Sungai Cigenter. Saya mengidentikkannya sebagai Sungai Amazonnya Pulau Jawa.

Sungai ini setidaknya dihuni oleh buaya, kepiting sungai, beberapa spesies burung, kijang, serangga, ular air, ular hijau, dan yang paling spektakuler adalah ular phyton yang biasa bertengger manis melilit batang pohon. Vegetasinya dipenuhi oleh rimbunan hutan bakau, palem, nipah, semak, dan juga rotan yang saling berebut sinar matahari. Alirannya yang jarang dijamah manusia membuat airnya berwarna hijua bening.

Tak mau rugi, saya meloncat ke dalam kano dan memilih duduk paling depan. Saya pikir, tak dapat (berjumpa) badak, paling tidak bisa menikmati pengalaman melihat satwa liar di alam bebas tanda terhalang apapun. Untuk kenyamanan maksimal, jangan lupa minum pil kina dari sejak seminggu sebelum berangkat hingga seminggu setelah selesai menjelajah serta memakai lotion anti nyamuk sepanjang perjalanan jika tak mau mendapat oleh-oleh berupa demam malaria. Sigh.     

.: In The Heart of Borneo @ Tanjung Puting National Park :.
3. Sungai Sekonyer, Tanjung Puting.

Kerajaan orangutan terbesar di dunia ini sudah lama mengganggu pikiran saya seperti menari-nari di kepala, mengundang untuk disambangi. Taman Nasional Tanjung Puting merupakan aset berharga bangsa Indonesia, juga dunia, yang menyimpan benteng pertahanan bagi kelestarian orangutan. Di taman nasional ini, koloninya terpusat di tiga titik yaitu di Tanjung Harapan, Pondok Tanggui, dan Camp Leakey. Sungai Sekonyer adalah satu-satunya akses untuk menembusnya.

Meski alamnya terbilang cukup liar, perjalanan menuju ke episentrum kawanan orangutan di taman nasional ini sudah diatur cukup rapi melalui beberapa agen perjalanan wisata. Peminatnya kebanyakan turis asing. Saya termasuk minoritas di sini. Bersama para peneliti asing yang senantiasa antusias bertanya banyak hal dan selalu berpenampilan layaknya Indiana Jones, serta beberapa pengajar dari International School di Jakarta, saya menyusuri sungainya yang berwarna hitam dalam kelompok-kelompok kecil kelotok.

Meski orangutan adalah maskotnya, bertemu orangutan di sepanjang daerah aliran Sungai Sekonyer bisa disebut sebuah keberuntungan karena kawanannya biasa bergelantungan jauh di dalam hutan. Namun demikian, atraksi yang disuguhkan alam di kawasan ini boleh dibilang sangat spektakuler. Burung-burung endemik rimba Borneo bisa tiba-tiba berseliweran. Di antara yang saya temui adalah rangkong, bubud, dan sindang lawe. Buaya sinyong supit (Tomistoma schlegel) dan buaya muara (Crocodilus porosus) tak jarang menyapa, menyembulkan bagian kepalanya ke permukaan. Kalau boleh disebut sebuah keberuntungan, saya berhasil menangkapnya barang seekor. Biawak, ular hijau, dan ular air juga tak ketinggalan. Jika dirasa kurang semarak, parade bekantan dan monyet dalam jumlah kolosal membuat saya menyadari satu hal, bukan saya yang menonton mereka, melainkan sayalah yang menjadi tontonan bagi marga satwa tersebut.

Kalau atraksi di atas dirasa kurang menantang, meski tidak disarankan, mandi air sungai yang kaya humus ini sangat segar dan menenangkan pikiran. Sungguh sebuah pengalaman yang sanggup membuat muda usia.

Berhasil menyusuri tiga sungai berarus tenang yang tak kalah mendulang adrenalin di atas, saya jadi tertarik untuk mencoba menyusuri sungai-sungai lain yang tersebar di penjuru nusantara yang letaknya lebih pelosok, lebih dekat ke dalam habitat satwa endemik, dan tentu saja lebih menantang untuk disusuri. Belum semua pedalaman Kalimantan saya jamah, apalagi bumi Papua yang sepertinya banyak menawarkan pengalaman tak terlupakan. Semoga suatu saat mendapat satu kesempatan yang menyenangkan. Meski kelihatannya lokasi-lokasi tersebut sangat susah dijangkau, saya pikir, tak akan pernah ada yang namanya surga tersembunyi atau tempat eksotis selama segala informasi secara gamblang dijabarkan dalam kitab suci Lonely Planet. Jadi, sudah siap untuk menyusuri sungai dan merambah alam liar? Selamat mencoba :)

10 komentar:

  1. waaa... kok foto2nya cuma nampilin punggu ente doang Bang? Pingin lihat foto pemandangan sepanjang sungainya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, nanti akan diposting dengan lebih detail tentang masing-masing lokasi susur sungainya itu. Tunggu update-annya ya :D

      Hapus
  2. wow keren punggungnya eh sungainya maksudnya :D
    dari 3 tempat di atas baru green canyon aja yang sempat saya singgahi..
    tapi masa sih mas di sana sering terlihat biawak, waktu saya rafting di sana ko cuman liat ikan sama kepiting doank #kepo
    btw, blognya bagus.. salam kenal ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, terima kasih ya, iya, sungai merupakan habitat biawak juga. Saya kebetulan sering bertemu biawak saat menyusuri 3 sungai di atas. Salam kenal juga :D

      Hapus
  3. wow, keren2 ya sungainya. aku belum pernah sekalipun kesana. tapi tadi abis baca postingan temen juga, di maros juga ada sungai yang biasa dilewati untuk menuju ke desa. harus pake perahu motor ke sananya, tapi penduduk asli pake perahu yang didayung sendiri, kebayang gimana mereka mendapatkan bahan2 kebutuhan hidupnya ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, di kawasan karst Maros ada satu desa namanya Rammang-Rammang, desa asri yang damai sampai-sampai kalau ke sana maunya gak mau pulang hehehe. Tahun 2012 saya ke sana. Tapi belum ditulis. Biasa (sok) sibuk. Btw, nabung dulu ya Ila, nanti kalau ada kesempatan, kamu bisa juga kok jalan-jalan ke situ :)

      Hapus
  4. Foto-foto sungainya ada kak..? :D
    Hati-hati kak biasanya dibalik air yang tenang selalu tersembunyi sebuah buaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Adaaa, tunggu ya postingannya di blog ini. Akan ditulis segera. Hehehe, iya, sesuai kata pepatah, sungai yang tenang berbuaya. Tapi, kebetulan saya bawa pawangnya kok, jadi insya Allah aman hehehe :)

      Hapus
  5. Di cigenter cuman nemu ular gede banget tp ngak nemu buaya, coz buaya darat nya ada di perahu hehehe.

    Sumpah jd kangen ujung kulon. Btw kmrn aku dah vomment kok ilang yaaa ???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, masa sih, gw gak pernah kok hapus komen kecuali yang keterlaluan atau mengandung SARA.

      Kalau tentang buaya darat, gw no comment ah, itu udah lo banget soalnya yang pinter ngenali karakternya hahaha :D

      Hapus