Jumat, 14 September 2012

Galau di Pulau

.: Tapal batu Pulau Bidadari :.
Lebaran baru saja usai. Libur lebaran yang menyenangkan pasti akan meninggalkan banyak cerita. Mulai cerita mudik, bertemu keluarga, jalan-jalan di kampung halaman, bertemu dengan teman-teman, dan lain-lain. Tapi, ada juga yang tidak terlalu suka dengan libur lebaran karena saat itulah berondongan pertanyaan kepo tentang pacarnya siapa, kapan menikah, kapan punya anak, dan semua pertanyaan sejenis dilontarkan.

Awalnya sih sebenarnya cuma pertanyaan basa-basi, tapi kalau ditanggapi dan itu ditanyakan secara rutin tiap lebaran tiba, sesuatu yang tadinya basi-basi akan jadi semakin basi dan sangat mengganggu. Lagian, emang kalau orang tersebut menikah atau punya anak, efek signifikansinya dengan orang-orang yang selalu tanya itu apaan coba? Kecuali kalau yang tanya itu adalah orang Jawa yang mau segera menikah, sementara saudara tuanya belum menikah, itu sih masih reasonable karena meski diperbolehkan tapi biasanya dianggap nglangkahi saudara tua.

Kalau saya sih, daripada pusing menanggapi pertanyaan-pertanyaan gengges gak jelas juntrungannya seperti itu mending ngabur duluan biar gak kepikiran dan bikin stres. Dan tempat favorit saya untuk ngabur dari rutinitas adalah pantai. Jakarta yang penuh dengan hingar bingar kendaraan dan gedung-gedung pencakar langit seolah menutup potensi wisata pantai yang biasanya banyak diburu penduduknya ke luar Pulau Jawa.

The art of doing nothing. No more galau, bray ;)
Padahal, 20 menit naik perahu dari bibir pantai utara Jakarta, kita sebenarnya juga sudah bisa disebut sedang melancong ke luar Jawa lho. Pulau Bidadari di Kepulauan Seribu yang menjadi tujuan jalan-jalan saya kali ini. Saya mengenal Pulau Bidadari di Indonesia ada 3 buah yaitu Gili Bidadari di Lombok Timur, Pulau Bidadari di Selat Sape, Taman Nasional Komodo yang konon dimiliki oleh orang Inggris, dan Pulau Bidadari yang berjarak sepelemparan kolor ini dari Jakarta. Meski menurut saya pantainya paling kacrut di antara dua pulau bernama sama lainnya, saya toh nyebur juga ke pantai Pulau Bidadari Jakarta ini saking sakaunya pengen mandi air laut dan buang penat gara-gara masih jomblo. #eaaa

Sebenarnya, saya lebih tertarik dengan wisata sejarahnya daripada menikmati pantainya jika berada di sini. Pulau Bidadari merupakan satu dari empat pulau yang menjadi basis pertama pendudukan pemerintah kolonial Belanda di bumi nusantara selain Pulau Unrust, Pulau Kuipir (Pulau Cipir atau Pulau Kahyangan), dan Pulau Kherkhof (Pulau Kelor atau Pulau Kuburan). Pada abad ke-17, orang-orang Belanda menyebut pulau ini sebagai Pulau Purmerend. Nama yang diadopsi dari salah satu kota di Belanda bagian utara. Jauh dari kampung halamannya yang berada di belahan bumi lainnya membuat pemerintah kolonial Belanda gemar menamai tempat-tempat di Batavia demi mengobati kerinduan dengan daerah asal. Bahkan, nama Batavia sendiri disematkan oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen setahun setelah pendudukan VOC di Jayakarta.

'Mendarat' di Pulau Bidadari, tampak Pulau Unrust dan Pulau Kuipert
Pulau Bidadari juga pernah dijuluki sebagai Pulau Sakit (Sick Island) karena pernah menjadi tempat karantina bagi penderita penyakit kusta pada abad 17. Sedangkan nama Bidadari sendiri diberikan untuk pulau ini sebagai bentuk penghormatan bahwa pulau ini pernah dihuni oleh penderita kusta (leprosarium). Pulau Bidadari juga dikenal sebagai habitat alami bagi biawak.
Merapat di dermaganya, kita akan disambut dengan beberapa meriam peninggalan Belanda pada abad 18. Karena berangkatnya naik gethek dari Muara Kamal, saya mendarat di pulau ini dari dermaga sebelah barat (nasib backpacker, hiks). Karena lapar dan lupa bawa bekal, sebelum keliling-keliling, saya melipir di warung-warung kecil di dekat lapangan voli untuk ngemil pisang goreng dulu setelah bayar permit untuk ijin masuk pulau ini. Setelah kenyang dan punya banyak tenaga, saya menuju ke hutan-hutan kecil di tengah pulau. Highlight dari pulau ini sebenarnya adalah keberadaan benteng Martello.

Mortello tak utuh lagi ;'(
Benteng ini merupakan salah satu benteng pertahanan Belanda yang dibangun tahun 1850 selain yang ada di Pulau Kherkof dan Pulau Unrust. Karena terbuat dari batu bata, benteng ini hanya mampu beroperasi sampai dengan tahun 1878 dan setelahnya hanya digunakan sebagai gudang mesiu. Keberadaannya mulai rusak berat setelah terjadi gempa dan tsunami akibat meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883 dan tidak digunakan lagi sejak tahun 1908 selain sebagai tempat untuk penelitian sejarah dan foto-foto narsis untuk orang ganteng seperti saya. #eaaa. Meski keberadaannya sudah tak utuh lagi, benteng ini merupakan salah dua benteng Mortello di Indonesia yang masih dapat diidentifikasi selain yang ada di Pulau Kherkof. Bahkan, benteng serupa di Pulau Unrust pun sudah tidak terlihat bekasnya.

Pohon Jodoh aka Pohon Kepuh berusan ratusan tahun
Selain pantai pasir putih, meriam-meriam kuno, dan benteng, Pulau Bidadari disebut-sebut sebagai pulau yang cocok banget untuk liburan bagi mereka yang masih jomblo atau yang belum menikah. Hal itu karena keberadaan pohon jodoh. Menurut pemandu yang ada di situ, jika kita berfoto di bawah pohon tersebut, yang jomblo akan segera dapat jodoh dan yang sudah punya pacar akan segera menikah. Sebenarnya pohon ini bukan pohon istimewa, tapi 'hanya' pohon Kepuh yang konon usianya sudah lebih dari 200 tahun. Karena dulu ada beberapa orang yang menggunakannya sebagai background foto prewednya, maka muncullah mitos pohon jodoh tersebut. Duh, jualan banget gak sih? Saya sih percaya gak percaya urusan beginian, tapi menurut saya urusan jodoh itu sudah diatur oleh Tuhan. And I think, love is just like a surprise. Nah kan, niatnya mau ngabur buat refreshing, jadi galau lagi gara-gara diskripsi sang pemandu soal (pohon) jodoh.   

Yah, daripada galau tak berkesudahan, mending main air di pantai. Air laut di sini sih tidak biru bening seperti misalnya di Pulau Tidung, tapi cukup jernih untuk dipakai berenang secara gedung-gedung beton di Jakarta saja masih kelihatan. Mungkin air laut di pantainya sebelah timur dan utara pulaulah yang lebih layak dijamah karena tak terlalu 'lengket' tercampur oli dari Jakarta. Tapi, beberapa bule dan anak-anaknya cuek aja tuh mandi di pantai sebelah selatan. Mungkin stok bedak gatal sama lotionnya banyak kali ya? :D

Panggung gembiran untuk berpesta di weekend ceria ;P
Selain berenang-renang, di pulau ini juga disediakan fasilitas permainan seperti banana boat dan jet sky. Tadinya, yang mau mandi bareng lumba-lumba juga bisa di sini, tapi sekarang lumba-lumbanya hanya khusus untuk terapi autis saja. Kalau beruntung sih bisa ketemu lumba-lumba langsung di laut lepas karena kolam (kecil) yang ada lumba-lumbanya ditutup tirai. Capek main air, kalau lapar bisa langsung ke restorasinya yang ada di dekat pantai bagian selatan. Kalau mau gaul sampai malam, biasanya setiap weekend, ada live musik dan barbeque. Dan jika ingin menginap, dapat menyewa cottage baik yang ada di dekat hutan, maupun yang terapung-apung seperti cottage yang ada di Derawan, Kalimantan Timur.

Over all, puaslah ngabur di tempat ini seharian hingga menikmati sunsetnya yang indah dari dermaga. Setidaknya, galau gara-gara pertanyaan kapan menikah sedikit terlupakan sejenak sebelum beberapa biawak keluar dari sarangnya dan membuat saya sadar bahwa sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut tak perlu membuat galau dan harus dihadapi dengan kepala mendongak seberani mengusir biawak-biawak tersebut kembali ke sarangnya. No more galau!!! :P

2 komentar: