Kamis, 21 Juni 2012

Mesjid Merdeka di Taman Wilhelmina

Istiqlal dari ketinggian
Saat sedang antri 'mendaki' puncak Monumen Nasional (Monas), daripada tua gak jelas dalam antrian yang mengular, saya iseng jeprat-jepret dan memainkan kamera digital. Sampai suatu ketika, saya menyadari bahwa keberadaan Masjid Istiqlal yang berada di sebelah timur laut Monas ini sangat mencolok di antara gedung-gedung bertingkat lainnya. Saya pun berjanji dalam hati, kalau sudah sampai puncak nanti, Masjid Istiqlal adalah salah satu objek bidikan kamera yang wajib diabadikan selain lanskap kota Jakarta.

Tak dapat dipungkiri, masjid terbesar di Asia Tenggara yang dibangun pada era Presiden Soekarno tersebut seolah menjadi ikon kota Jakarta layaknya Monas dan Bundaran Hotel Indonesia. Ide awal pembangunan masjid ini digagas oleh KH Wachid Hasyim dan H. Anwar Tjokroaminoto, yang disambut baik oleh Presiden Soekarno yang saat itu sedang 'gencar' melaksanakan 'proyek mercusuar' agar bangsa Indonesia dipandang oleh bangsa-bangsa lain di dunia, sekaligus mengisi kekosongan karya rancang bangun di bumi nusantara setelah pembangunan Candi Prambanan dan Candi Borobudur akibat penjajahan yang berkepanjangan.

jalan-jalan minggu ;)
Masjid ini dibangun sebagai wujud syukur bangsa Indonesia yang memperoleh kemerdekaannya sehingga diberi nama Istiqlal yang berarti merdeka. Pertama kali mengunjungi Istiqlal saat saya masih kelas 4 SD. Itupun tidak sampai masuk ke dalam karena pintu masuk yang sedang dibuka letaknya agak jauh dari pemberhentian bus pariwisata yang saya tumpangi. Jadi, saya hanya transit sebentar untuk selanjutnya menuju Monas. Menapak tilas perjalanan waktu SD, saya main-main ke Istiqlal justru setelah jalan-jalan ke Monas. Rute favorit saya adalah jalan-jalan ke Monas sampai naik ke puncaknya, setelah itu makan es krim Ragusa yang legendaris di Jalan Veteran, barulah melipir ke Istiqlal sekalian melepas lelah.

Memasuki area masjid melalui gerbang utara (yang dekat dengan stasiun Juanda), saya harus berputar dulu karena pintu yang dibuka saat hari 'biasa' seperti ini hanya pintu utama yang menghadap Gereja Katedral Jakarta yaitu Pintu Al-Fattah. Ya, masjid ini terletak persis di depan gereja. Masjid terbesar di Asia Tenggara berhadap-hadapan dengan gereja Katolik terbesar di Indonesia. Sebuah 'pesan' dalam potret toleransi kehidupan beragama yang disematkan para pendiri bangsa dulu agar bangsa Indonesia yang berbhineka ini senantiasa rukun dan damai. Bukankah kita seharusnya bisa becermin dari simbol-simbol kerukunan beragama tersebut untuk menciptakan perdamaian di masa-masa yang akan datang?

Istiqlal yang penuh dengan 'simbol' keIslaman ;)
Bangsa Indonesia memang menyukai simbol-simbol. Masjid ini pun tak luput dari hal-hal yang dilekatkan dengan simbol. Hampir semua detil bangunan masjid Istiqlal mengandung simbol ajaran agama Islam seperti lantainya berjumlah lima yang melambangkan rukun Islam. Kubah masjid berbentuk setengah bola raksasa berdiameter 45 meter merupakan simbol penghormatan dan rasa syukur atas Kemerdekaan Bangsa Indonesia tahun 1945. Kubah tersebut ditopang oleh 12 pilar raksasa yang melambangkan tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Rabiul Awal. Menara masjid yang tinggi menjulang memiliki tinggi 96,66 meter dengan komposisi tubuh menara setinggi 66,66 meter yang melambangkan jumlah ayat dalam Al-Qur'an dan tinggi puncaknya 30 meter yang menunjukkan jumlah juz dalam Al-Qur'an.

Dengan banyaknya simbol yang dilekatkan dalam bangunan, kemegahan konstruksi yang mengundang decak kagum, hamparan karpet merah sumbangan Sheikh Esmail Abu Daut dari Arab Saudi, dan (ini yang penting) kenyataan bahwa arsitek yang membangun masjid Istiqlal, Frederick Silaban, adalah seorang Kristen Protestan, hendaknya tidak membuat lupa bagi jemaahnya bahwa hakikat pembangunan tempat ibadah ini merupakan sarana pengingat untuk senantiasa ikhlas dalam penghambaan kepada Tuhan sekaligus menjaga hubungan manusia baik umat seagama maupun antaragama tanpa menonjolkan benih-benih pertentangan yang tidak perlu.

wisata masjid: ibadah sholat ashar bareng adik-adik
Beberapa hal yang masyarakat luas perlu tahu bahwa selain sebagai tempat ibadah, masjid Istiqlal juga merupakan salah satu objek wisata di Jakarta yang patut dikunjungi. Warga non-muslim pun boleh masuk untuk sekadar melihat-lihat dengan didampingi oleh petugas setelah sebelumnya dibekali tentang informasi mengenai Islam dan masjid Istiqlal. Biasanya, turis-turis non-muslim tersebut akan dipinjami baju batik seperti kimono untuk menutup aurat sebelum masuk ke beberapa bagian tertentu yang diijinkan untuk dimasuki. Jadi, jangan heran kalau tiba-tiba bertemu dengan orang-orang yang kelihatan seperti mau ke spa di dalam masjid Istiqlal.

Saat akhir pekan tiba, masjid ini ramai sekali. Ada yang menggunakannya sebagai tempat akad nikah, ada pula yang menggunakannya sebagai tempat melepas lelah sekalian sholat. Banyak juga pengunjung yang masuk areal masjid hanya sekadar transit untuk makan bekal yang mereka bawa sembari menggelar tikar di pelataran yang teduh. Keadaan ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan saat masa pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19. Tak banyak orang yang tahu bahwa area yang sekarang berdiri masjid Istiqlal ini dulunya adalah Taman Wilhelmina, taman terluas di bumi Batavia dan bahkan saat itu sempat menjadi taman modern terbesar di Asia.

'bekas' Taman Wilhelmina dan benteng Prins Frederick Hendrik
Taman ini juga digunakan untuk tempat jalan-jalan para pembesar pemerintah Belanda, para tuan tanah, dan orang-orang kaya yang menetap di Batavia bertralala trilili saat akhir pekan tiba. Sebuah benteng bernama benteng (Citadel) Prins Frederick Hendrik pernah berdiri di taman ini yang konon di bawahnya terdapat terowongan yang langsung menembus gudang tua milik VOC Belanda (sekarang museum Bahari) yang ada di pinggir Pelabuhan Sunda Kelapa.

Selain itu, di area bekas Taman Wilhelmina ini pernah berdiri sebuah monumen "Waterloo" untuk mengenang tewasnya para serdadu Belanda dalam perang di Aceh. Satu hal yang sering terlupa adalah bahwa sebuah patung Hermes seperti yang tersimpan di Museum Fatahillah dan jembatan Harmoni, pernah bertengger di depan pintu gerbang masjid yang berhadapan dengan gereja Katedral, yang sekarang sudah tak terekam lagi jejaknya. Saya tak berani mendebat kalau alasan hilangnya patung atau monumen tersebut karena ajaran agama. Tapi, jika memang harus dihilangkan dari area yang melingkupi masjid, seyogyanya patung atau monumen tersebut dapat dipindahkan ke tempat lain yang sekiranya tidak mengganggu. Paling tidak, keberadaanya dapat digunakan untuk mempercantik taman jalan atau menambah koleksi museum. Eh, tapi orang kita juga tak banyak kan ya yang memerhatikan kalau di seantero Jakarta ini jalanannya penuh dengan patung dan monumen? Begitu pula, tak banyak kan ya yang sering berkunjung ke museum? Au ah gelap, lebih baik saya segera ambil air wudhu dan segera sholat. 

4 komentar: