Sabtu, 21 Januari 2017

Naik Gunung di Era Kekinian

.: Sensasi di Ketinggian Bumi :.

Awal tahun seringkali dilabeli sebagai masa 'reses' bagi para pendaki. Cuaca sering berubah. Alam kerap kurang bersahabat. Hujan turun kelewat kerap. Hal ini diantisipasi dengan dikeluarkannya surat penutupan jalur pendakian di beberapa gunung. Tujuannya hanya satu: memberikan kepastian akan keselamatan para pendaki demi menghindari jatuhnya korban akibat pendakian tak berizin.

Di sisi lain, penutupan jalur pendakian dilakukan sebagai suatu upaya sadar untuk memberikan kesempatan kepada alam untuk 'memulihkan' diri, mengembalikan 'prana' tubuh bumi setelah sepanjang tahun dijamah manusia. Sebagai seorang pendaki yang taat pada aturan, saya memilih mengalihkan destinasi perjalanan yang jauh dari gunung dan mencoba tetap konsisten tidak tergiur tawaran mendaki di gunung-gunung yang secara resmi ditutup sementara demi kelangsungan kelestarian alam.

Terkadang saya memilih jalan-jalan ke kota, mendatangi museum, pusat perbelanjaan, atau hanya di rumah saja menghabiskan waktu dengan membaca buku atau menulis blog. Saya kerap melihat ulang foto-foto pendakian, membaca kembali beberapa catatan pendakian, dan mencari informasi tentang gunung yang akan didaki. Dari kepingan foto dan informasi itulah saya kerap menyadari, bahwa ternyata, ada banyak sekali perubahan dalam pendakian dari sejak mulai saya suka naik gunung saat SMP dulu dengan era pendakian saat ini.

Penampilan tetap haru nomor satu

.: Yang Penting Pakai Celana dari Bahan yang Cepat Kering :.

Zaman dulu naik gunung pakainya celana biasa. Seringnya jeans murahan yang belakangan saya pahami bahwa hal itu harus dihindari. Bahan jeans itu berat saat basah dan tidak cepat kering sehingga dapat mengganggu fleksibilitas saat mendaki. Kaos hanya bawa dua potong. Itupun biasanya satu kaos berupa kaos organisasi ekstrakurikuler. Jaket hanya satu dan tidak kedap air. Syal dan penutup kepala? Lupakan. 

Begitu melihat foto pendakian sekarang, saya jadi teringat saat harus packing. Kaos harus bawa minimal tiga potong: lengan panjang, pendek, dan kutung. Jaket dua potong. Celana pendek dan panjang masing-masing dua potong. Semuanya wajib beda warna supaya terlihat berbeda saat difoto. Fiuh. Sepatu tetap pakai sepatu lari yang tidak anti air karena memang tidak suka sepatu gunung yang berat dan bikin kaki jadi bau.

.: Matching di atas gunung. Smart, young, and fashionista :.

Tapi, perlengkapan seperti jas hujan bentuk baju, penutup kepala, dan syal sudah punya lengkap dan biasanya serasi dengan celana, jaket, dan sepatu. Sip lah.

Makanan itu penting

Dari sejak pertama mendaki gunung hingga sekarang, mie instan tetaplah juaranya. Selain mie, ada roti sisir, dan sedikit sayuran. Itupun porsinya kerap minimalis karena sering disita oleh senior, meski dari rumah dibekali banyak. Dulu rasanya keren banget kalau bisa makan makanan dari hutan seperi pisang atau buah-buahan yang ditemui di jalur pendakian.


.: 'Warung' di atas gunung :.

Seiring berjalannya waktu, menu pendakian pun menyesuaikan isi dompet. Meski mie instan tetap mendominasi, sekarang menunya tambah variatif. Ada nasi, kornet, sarden, spageti, kue-kue seperti wafer, keripik, aneka kacang, dan lainnya. Minumnya juga ada kopi, susu, kopi susu, teh, dan air putih. Kalau tidak mau repot untuk membawa beban berat, sudah ada porter yang membawa barang kita dan masak. Untuk beberapa gunung (yang ini saya benar-benar takjub saat pertama kali tahu) sudah ada warung yang menyediakan aneka makanan. Bahkan di jalur pendakian pun ada pedagang asongan. Seperti di Gunung Gede Pangrango dan Papandayan, penjual nasi, gorengan, mie instan, dan kopi teh mudah sekali ditemui. Tapi yang membuat sebal adalah mereka memakai 'harga gunung'. Tapi di luar itu semua, apapun menu makanannya di atas gunung, jangan lupa membawa serta semua sampah saat kembali turun. Ingat! GUNUNG BUKAN TEMPAT SAMPAH.

Selalu eksis biar heits

Saat masih sekolah, saya tidak punya kamera (pribadi). Begitu juga telepon seluler. Foto-foto saya dapatkan dari kawan-kawan pendaki baik hati yang kebetulan orangtuanya berada. Dulu sosial media belum eksis. Begitu sudah punya duit sendiri dan mampu membeli barang-barang tanpa harus minta orangtua, segala berhala dunia untuk mengabadikan momen pendakian diangkut semua.

.: Tampil Ceria dengan Fuji Film :.

Telepon seluler dengan kamera beresolusi tinggi, kamera, tongsis, power bank, charger, beberapa kartu memori, semuanya dikemas dalam satu tas kecil yang mudah dibawa ke mana-mana. Eksis di sosial media memang butuh usaha ya?

Ransel atau Koper?

Ya kali saya naik gunung menggendong koper. Eh tapi, meski jalan-jalannya bukan naik gunung pun, sampai saat ini saya belum pernah bepergian membawa koper. Zaman dulu, tas sekolah itu multifungsi: untuk sekolah dan untuk naik gunung atau jalan-jalan. Berhubung yang dibawa tidak terlalu banyak, tas kecil ukuran 30 liter pun muat semuanya. Saat lulus SMA dan pindah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah, semua peralatan pendakian tak ada yang saya bawa. Pikirannya saat itu saya mau fokus belajar saja.

Saya mulai menabung untuk mencicil kembali pembelian peralatan pendakian baru satu persatu. Meski ada banyak merek yang mengakomodasi kebutuhan peralatan outdoor, saya sering dijuluki teman-teman pendaki sebagai Eiger-minded.

.: Ransel Kesayangan :.

Terus terang, semua pendakian yang sudah saya lakukan sampai saat ini tidak ada yang disponsori Eiger. Alasan saya suka produk-produknya sebenarnya sederhana saja yaitu karena tokonya yang paling dekat dengan tempat saya tinggal dan sering ada diskon promo. Kalau kerjaan di kantor lagi banyak dan tidak sempat ke toko, saya bisa beli secara daring alat-alat yang saya perlukan untuk pendakian berikutnya.

Ransel-ransel gunung dengan aneka model dan kapasitasnya sering dijual dengan harga diskon. Lumayan banget buat menghemat anggaran. Saya sih paling suka dengan ransel gunung ukuran 40 liter untuk naik gunung karena tak terlalu besar dan cukup untuk menampung segala atribut kekinian yang menunjang aktivitas ngeblog dan eksis di media sosial.

Betapa Menyenangkannya Lari Trail

Tak mau ribet membawa segala pernak-pernik dan gembolan yang memberatkan, beberapa kali saya ikut lari trail yang jalurnya melintasi puncak gunung dan bukit, membelah sungai, melewati pematang sawah, menembus desa. Ada semak-semak tersembunyi dan pemandangan yang menyejukkan mata. Kalau boleh dibilang sih, lari trail itu melatih daya tahan dan sangat menantang. Beberapa kali saya lari hingga puncak gunung tanpa membawa bekal air minum (jangan dicontoh!) dan terpaksa meminta bekal minum petugas jagawana, para pendaki, dan penduduk setempat yang sedang mencari kayu. Meski lelahnya lebih terasa di bagian kaki, paling tidak pundak dan pinggang saya tidak harus 'disiksa' dengan membawa barang lumayan berat saat naik maupun turun gunung. Setelah kenal dengan lari trail, naik gunung tak pernah sama lagi. Setidaknya, selain pengalaman yang bertambah, koleksi foto dan ceritanya pun jadi makin beragam.

.: Lari Trail? Hajar Terus Sampai Penyok :.

Memang menyenangkan sih melihat kembali foto-foto pendakian. Ada rasa rindu untuk bergumul kembali dengan alam dan para pendaki dari seluruh penjuru negeri. Ada rasa haru saat teringat tentang perjalanan mendaki yang sudah dilakukan. Kegiatan mendaki gunung memang sering menjadi candu bagi penyuka aktivitas luar ruangan. Dan karena kegiatan ini semakin populer, begitu terjangkau, dan menjangkiti banyak kalangan, satu prinsip penting yang perlu dipahami oleh setiap pendaki, terutama pendaki pemula yaitu tinggalkan gunung yang telah kamu daki seasri saat kamu mulai mendakinya. Salam lestari. []

14 komentar:

  1. Aku baru naik satu gunung, dan berniat naik lagi kalau waktu memungkinkan (ditambaha da teman yang sudah biasa naik gunung + fisik).

    Sementara ini banyak ajakan naik gunung, tapi aku tidak ikuti. Kebanyakan yang ngajak pengalamannya masih minim seperti saya, takutnya malah merepotkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha gunung apa tuh mz?

      Iya, sebaiknya naik gunung bareng yang udah berpengalaman saja. Biar lebih aman dan nyaman hehehe :)

      Hapus
  2. Balasan
    1. Huahahaha tetep ye arteis heits. Naik gunung pun harus tetep congkak manja :)

      Hapus
  3. Balasan
    1. Huahahaha kasian porternya kak, suruh angkut kulkas dua pintu :)

      Hapus
  4. hahaha warung diatas gunung, berasa di pasar aja :P naik gunung sekarang praktis yaa tunggu tukang ojek sama penjaga villa aja digunung :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, klo 'warung' sih memang sekarang udah umum di atas gunung. Tapi kalau ojek kayaknya cuma sampai titik awal pendakian aja deh. Belum nemu yang sampai atas gunung. Hehehe. Ya namanya kan mendaki, masa naik ojek ;)

      Hapus
  5. Dari artikel ini saya mempelajari bahwa bisnis juga bisa dilakukan di atas gunung.
    Asiikkk ... PANJATT

    BalasHapus
  6. sekarang naik gunung termasuk yang trend ... di gunung aja kaau musim liburan sudah seperti pasar senggol .. haha
    ..dan teteup memang penampilan mesti no 1 :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha bukan gw lho ya yang ngomong. Rame banget pokoknya. Musim hujan pun banyak yang mendaki. Ampuuun deh pokoknya :'(

      Hapus
  7. Saya kapok lari trail, pernah harus istirahat dirumah sebulan gara2 turun gunung kecepatan larinya, lutut jadi geser

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe itulah yang bikin saya agak gimana gitu mau mulai trail lagi. Inginnya kalau naik gunung yang jalan sesantai-santainya, makanannya yang enak-enak juga. Pokoknya udah males yang model 'sengsara' banget macam zaman SMA dulu :P

      Hapus