Sabtu, 14 Januari 2017

Mantra Mayura

.: Suatu Siang Taman Mayura :.

Teronggok di pusat kota Mataram, Pulau Lombok, eksistensi taman tirta Mayura mengingatkan saya pada kompleks petirtaan serupa yang bercokol di tlatah Mataram Yogyakarta. Meski peruntukannya berbeda, keduanya sama-sama bernafaskan Hindu kuno, yang secara telaten, merekam kejayaan masa silam. Fasad bangunannya begitu bersahaja dan sarat dengan simbol-simbol nilai kebaikan yang diamini secara universal.

Saya sengaja menyempatkan diri menyambangi kompleks petirtaan ini di suatu siang yang terik setelah beberapa kali terlewatkan pada kunjungan ke Lombok sebelumnya.

"Silakan dipakai kainnya dahulu sebelum kita mulai tur keliling taman.", ujar Pak Malik, pemandu saya siang itu.

Seperti tradisi saat memasuki pura atau tempat suci umat Hindu lainnya, selain berpakaian sopan, pengunjung diwajibkan memakai selendang kecil yang dililitkan di pinggang. Konon, kain tersebut menjadi simbol pembatas antara zona baik dan buruk dalam tubuh manusia. Dari ujung rambut sampai dengan pusar merupakan zona kebaikan, sedangkan dari pusar hingga ujung kaki merupakan zona bagi jiwa yang jahat. Keduanya dipisahkan dengan sehelai kain agar tidak 'bercampur'saat memasuki situs suci.

.: Tali Pengikat Sebelum Masuk Pura :.

Melalui jalan setapak berpaving batu, saya merendengi langkah Pak Malik yang mulai menjelaskan informasi perihal Taman Mayura ini.

Dibangun sekitar tahun 1744 Masehi oleh Raja Anak Agung Made Karang Asem, Taman Mayura dimaksudkan sebagai tempat tetirah bagi raja-raja saat musim hujan melanda. Dahulu, area ini dikepung hutan lebat yang kerap disambangi ular dan binatang buas. Area yang menghampar seluas 3.7 hektar ini begitu teduh. Jalan setapak yang saya lalui dipagari dengan deretan pohon manggis. Banyak sekali pengunjung taman yang duduk-duduk santai di bawah pohon sekadar untuk merasakan semilir angin dan pemandangan kolam.

.: Jalan Setapak yang dipagari Pohon Manggis :.

"Manggis dipilih sebagai tetumbuhan peneduh taman karena menyimbolkan kejujuran. Makna filosofis tersebut terlihat dalam buah manggis. Apa yang terlihat dari luar, akan sama penampakannya saat dilihat ke dalam.", jelas Pak Malik sambil membukakan pintu gerbang kayu menuju bangunan di tengah kolam.

Berdiri jangkung bagai istana raja, Balekambang mengapung dengan tenang di arena kolam seluas 1.5 hektar. Dahulu, kolam ini dijadikan sebagai sumber irigasi daerah sekitar. Saat ini, airnya menjadi pemasok kebutuhan air warga Kota Mataram.

.: Istana Balekambang :.

Menerobos gerbang kayu yang ditempeli relief keramik Tiongkok, saya menuju Balekambang meniti sebuah jembatan beton. Sebagaimana layaknya bangunan keraton, gerbangnya dikawal oleh empat buah patung singa yang merupakan simbol kerajaan. Balekambang sebenarnya tidak besar. Posisinya istimewa karena berada di tengah kolam air. Tempat ini dulunya merupakan Balai Pengadilan, tempat para raja melakukan musyawarah atau tempat berlangsungnya acara sidang untuk perkara pelanggaran adat.

Layaknya bangunan balai di kompleks Keraton Mataram Yogyakarta, pasak-pasak atap bale dicat warna merah dan biru, menyangga dengan rapi atap genteng di atasnya. Pasak-pasak tersebut diberi sentuhan ukiran Tionghoa dan Arab sehingga tampak sekali sublimasi antara toleransi dan akulturasi budaya dalam kompleks bangunan ini. Saya duduk sejenak di ujung tangga batu dan berlindung dari sengatan terik matahari sembari memerhatikan kolam air yang tenang.

Sejatinya, jauh sebelum nama Mayura disematkan, taman air ini berjuluk Taman Kelepug. Nama tersebut diambil dari kelempungan air yang ada di tengah kolam. Nama Mayura sendiri mulai dipakai sekitar tahun 1866 saat Raja Anak Agung Ngurah Karangasem bersama para sahabatnya yang berasal dari Pakistan bahu-membahu mengusir ular dengan memelihara burung merak.

.: Mayura, Sang Kukila Dewa, Menjadi Penjaga Taman Mayura :.

Burung merak tersebut didatangkan dan merupakan bantuan dari Raja Sriwijaya. Karena terbukti ampuh mengusir ular di kompleks taman petirtaan, sebagai bentuk terima kasih dan penghargaan raja kepada para sahabatnya, dibangunlah enam patung orang Pakistan yang memakai sorban dan peci di sekeliling Balekambang. Di dekatnya, terdapat pula linggih yang kental dengan nafas Hindunya. Di kejauhan, patung burung merak tampak siaga mengawasi ketenangan istana apung ini, memastikan keadaannya selalu steril dari serbuan ular. Mendengar cerita dari Pak Malik tentang Istana Balekambang yang dijaga merak dari serangan ular, saya jadi ingat cerita rakyat Reog Ponorogo yang sama-sama melibatkan burung merak. Bedanya, burung merak dalam Reog Ponorogo 'bertugas' untuk membersihkan kutu dalam kulit kepala Raja Singobarong.

Saya berjalan keluar dari Balekambang menuju kompleks pura. Setelah keluar gerbang, saya melihat ada bale-bale yang fasadnya lebih baru daripada Balekambang.

.: Patung-Patung Ular yang dulu banyak berkeliaran di area taman :.

"Itu namanya Bale Prerenan. Yang itu Bale Loji.", tunjuk Pak Malik sambil berlalu melangkah menuju pura.

Zaman dulu, Bale Prerenan berfungsi sebagai tempat bersantainya para raja, sedangkan Bale Loji digunakan untuk tempat tidur raja. Melihat keadaan sekarang yang fungsinya berubah menjadi tempat bersantai para wisatawan, saya membayangkan ada raja yang sedang leyeh-leyeh di bale sembari makan buah dan mengawasi Balekambang dari kejauhan. Betapa berkuasanya menjadi seorang raja.

Saya memasuki gerbang Pura Jagatnatha dengan perasaan deg-degan. Saya pastikan kain kuning yang mengikat pinggang masih terikat erat di tempatnya. Pasalnya, siang itu masih ada upacara entah apa. Seperti pada kunjungan di tempat ibadah manapun, sebenarnya saya menghindari memasuki area dalam suatu kompleks tempat ibadah saat acara ibadah sedang berlangsung. Hal ini saya 'langgar' sedikit karena mendapat izin dari pemuka adat. Saya dipersilakan masuk area pura dengan syarat tidak boleh mengeluarkan suara. Saya juga dipersilakan untuk mengambil gambar area dalam pura hanya dari kejauhan saja.

.: Pura Jagatnatha, Pura Terbesar di seantero Pulau Lombok :.

Dibangun 'satu paket' dengan Taman Mayura, Pura Jagatnatha merupakan pura terbesar di seluruh penjuru Lombok. Pelinggihnya tinggi sekali dan merupakan representasi dari Gunung Rinjani, tempat Ida Sang Hyang Widhi berada. Gunung Rinjani sendiri merupakan gunung suci dan disucikan bagi umat hindu Lombok. Dibangunnya pura ini salah satunya adalah untuk mendekatkan umat hindu Lombok dengan keberadaan Rinjani. Dengan adanya pelinggih ini, umat hindu yang hendak mempunyai maksud mendaki Rinjani hendaknya melakukan sembahyang di Pura Jagatnatha terlebih dahulu untuk meminta izin, doa restu, dan tuntunan dari Yang Maha Kuasa.

Diam-diam, saya merasa tertampar. Kearifan lokal seperti ini yang terkadang sanggup membuat saya tertunduk malu. Betapa tuntunan, entah itu adat setempat atau ajaran agama dengan nilai-nilai kebaikan yang diterima secara universal, mengatur secara santun untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu, dalam hal ini adalah tata krama dalam menyambangi sebuah gunung. Di era di mana naik gunung dijadikan sebagai ajang untuk memuaskan hasrat kekinian di media sosial tanpa mengindahkan prinsip ramah lingkungan sepertinya perlu sejenak berkaca pada aturan adat ini. Paling tidak, meski tidak bersembahyang, setiap pendaki wajib sadar diri dan patuh terhadap segala aturan pendakian, baik yang terkait dengan keselamatan dirinya maupun kepatutan perilaku baik terhadap aturan adat maupun terhadap kelestarian serta keasrian gunung yang akan didaki.  

.: Banten Persembahan di Pura Jagatnatha :.

Melihat beberapa umat hindu sedang khusyuk beribadah di dalam pura ini, saya segera melangkahkan kaki keluar. Bagaimanapun, meski mendapat izin, saya kok merasa wajib untuk memberi keleluasaan bagi mereka untuk 'bercengkerama' secara intim dengan Tuhannya tanpa ada gangguan dari manapun. Setidaknya, itulah perilaku toleransi paling sederhana yang dapat saya lakukan saat itu.

Awalnya saya ingin melanjutkan untuk duduk santai di Bale Prerenan. Namun, berhubung hari makin terik dan perut sudah meronta untuk diisi, saya segera menyudahi lawatan ke Taman Mayura ini untuk beranjak menuju Taman Suranadi. Bagaimanapun, saya pikir, main ke Lombok sangat pantang untuk melewatkan sensasi kulinernya. Paling tidak, satu tempat yang begitu ingin saya kunjungi dan selalu terlewatkan dalam beberapa kali perjalanan saya ke Lombok sudah kesampaian. Saya tak sabar untuk mengunjungi pura dan taman lainnya yang berlokasi tak jauh dari sini setelah perut kembali terisi. Namaste. [] 

12 komentar:

  1. Itu boleh buat mandi gak? Kok kayak lokasi pemandian gitu, siapa tahu mandi disitu awet ganteng..hahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gatel kali mz kalau mandi di situ hehehe. Sepertinya sih tidak lazim walaupun tidak ada larangan. Berhubung di situ tempat suci dan airnya untuk irigasi dan sumber air (cmiiw), sebaiknya tidak mandi di situ. Kayak Lombok kekurangan pantai cantik dan air terjun aja buat mandi-mandi ganteng wkwkwk :P

      Hapus
  2. Aku belum pernah singgah kesini.. Tempatnya asik juga ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, pas TW Gathering waktu itu gak ikut juga ya?

      Duh, harus diulang nih kayaknya edisi ke Lomboknya ;)

      Hapus
  3. Menurut cerita orang-orang tua dulu, saluran air ke Mayura ini adalah sebuah terowongan langsung dari kapiler Gunung Rinjani. Keren kan Mayura? Taman pusat istana kerajaan Lombok yang terkenal. Kerajaan Karangasem, meski hanya menguasai daerah timur Bali dan barat Lombok, adalah kerajaan yang punya hubungan internasional yang jos ya, Mas. Di sini saya baca sudah ada hubungan dengan Pakistan. Di tempat lain saya baca ada persahabatan juga dengan Singapura, Inggris, dan Rusia. Hm... kayaknya mesti kemari kalau mudik besok. Penasaran dengan patung Pakistannya, hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh bener itu. Baru inget, guidenya bilang gitu juga. Yang tentang kapiler Rinjani itu. Cuma aku agak gak ngeh gitu. Secara jarak tempat ini ke Rinjani lumayan jauh.

      Kadang-kadang memang yang punya daerah suka belum main ke semua objek di wilayahnya deh hehehe. Sama kayak aku :)

      Hapus
  4. Airnya bersih ya Mas Adie. Ngak ada mainan bebek bebkan goes gitu buat anak-anak ya ? kan asyik tuh. Apa karena sakral ya ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, iya ini sumber air, jadi sepertinya sih disucikan. Tempatnya juga nyambung dengan pura. Jadi agak gimana gitu kalau tiba-tiba ada bebek-bebekan :)

      Hapus
  5. Banyak ilmu dna informasi yang kita dapatkan kala berkunjung ke tempat seperti ini. Selain itu, diperbolehkannya kita datang dan mengabadikan saat mereka khusyuk beribadah memperlihatkan bagaimana mereka begitu ramah dengan wisatawan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu yang bikin saya agak speechless. Antara pengen motret dan gak enak hati aja sih. Tapi seneng juga main ke sini :)

      Hapus
  6. Kok gak enek fotomu blas ya?
    Trus kenapa diriku takon ngono ya? Hahaha

    Tapi keren kui sejarahe ya. Lagi ngerti lo nek Merak kui jagoan ngusir ulo.. WOW. Trus filosofi manggis kui asyik banget. Aku Lagek ngerti.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha biar gak diprotes terus karena selalu ada foto mukaku yang gantengnya berlebihan ini mz. Lelah :D

      Hapus