Rabu, 20 April 2016

Sambang ke Sabang, Saujana Pariwisata Aceh yang Bersemayam di Ujung Nusantara

.: Kawasan Perairan Selat Malaka dilihat dari Petilasan Benteng Jepang :.

Terapung di perairan Andaman yang teduh, Pulau Weh seakan berusaha mengasingkan diri dari ingar-bingar daratan nusantara. Di atas peta, lokasinya kerap dijadikan patokan sebagai 'pagar' alam kedaulatan negara. Sejak Aceh ditata ulang paska tsunami tahun 2004 silam, reputasi Pulau Weh kian bersinar sebagai salah satu destinasi yang menarik untuk disambangi di tlatah Negeri Serambi Mekah ini. Aksesnya mudah ditembus, baik melalui jalur laut maupun udara.

Sementara itu, Sabang sebagai ibukotanya, yang teronggok persis di tengah pulau, namanya wajib didendangkan dengan merdu di depan kelas di seantero nusantara oleh jiwa-jiwa muda sebagai upaya sederhana untuk memupuk rasa cinta tanah air sejak usia belia. Berbagai simbol yang menasbihkan rasa nasionalisme ditanam di penjuru pulau. Dikungkung bukit-bukit rimbun dan dipagari deretan nyiur menjadikan Sabang tak ubahnya sebuah oase untuk mengasingkan diri sejenak dari keriuhan kota. 

Sekawanan burung camar, sang kukila samudra, bercericit membangunkan saya dari mimpi. Banyak orang bilang kalau Pantai Sumur Tiga merupakan salah satu tempat terbaik di bumi pertiwi yang menawarkan pemandangan matahari terbit. Terbius rumor tersebut, saya memutuskan untuk menginap semalam di Freddie's Santai Sumur Tiga. Tak ingin kehilangan kesempatan menyaksikan momen langka yang tak dapat saya nikmati setiap hari, saya memutuskan untuk langsung menuju pantai setelah sholat subuh usai.

.: Pagi yang syahdu di Pantai Sumur Tiga :.

Pantai Sumur Tiga dengan ombaknya yang tenang seakan meninabobokan seluruh penghuni penginapan. Terbukti dengan tak ada satupun pengunjung yang beranjak dari kamar masing-masing. Saya lemparkan pandangan ke batas cakrawala. Tampak dua nelayan masih sibuk menyenandungkan kidung terakhir bait-bait sauh yang sudah mereka lemparkan sejak malam sebelumnya. Siluetnya mengajarkan saya tentang satu hal: bahwa rejeki, sekalipun sudah ditentukan oleh Tuhan, tetap harus kita jemput sepagi mungkin. "Agar tidak dipatok ayam", kata orang-orang tua di Tanah Jawa sana.

.: Fajar pertama di Pantai Sumur Tiga :.

Saya hanya berhasil mendapatkan beberapa frame foto matahari terbit di Pantai Sumur Tiga ini. Hal itu karena beberapa saat, perhatian saya tersedot pada fenomena alam tersebut dan lupa pada kamera. Mungkin saya terlalu kagum dengan apa yang baru saya saksikan dan sadari. Saya pikir, lebih baik diabadikan dalam ingatan panca indra daripada harus terlalu sibuk menjepret dan baru bisa dinikmati dalam bentuk digital. Pemandangan yang tersaji di depan mata sungguh nyata tanpa perlu diberikan sentuhan apapun. Mulut yang terbiasa mengunyah segala rupa tak kuasa menyebut asma Sang Kuasa. Inilah yang saya sebut momen magis: saat di mana alam secara santun menunjukkan kuasa penuh penciptanya. Saat yang selalu saya rindukan dan salah satu alasan kuat mengapa perjalanan-perjalanan ini selalu menarik untuk tetap dilanjutkan.

.: Santai sejenak menikmati sesi mandi matahari pagi :.

"Mas Adie, nanti saya jemput jam tujuh ya buat keliling pulau.", kata Pak Edi, sopir sekaligus pemandu saya selama di Pulau Weh, memberi kabar melalui telepon seluler. Saya pun segera bersiap.

Pagi berjalan tanpa tergesa-gesa di Sabang. Tapi mengingat singkatnya waktu kunjungan ke pulau ini, saya harus berhitung secara cermat agar bisa menikmati semuanya. Memilih beranjak dari Pantai Sumur Tiga agak pagi, saya menuju reruntuhan benteng Jepang yang ada di pantai timur Pulau Weh, tak jauh dari Pantai Sumur Tiga.

.: Konstruksi Benteng Jepang yang ditanam di Bawah Tanah :.

Saat Perang Dunia II berkecamuk di perairan Pasifik, Jepang banyak sekali membangun benteng di pantai timur Pulau Weh ini. Beberapa benteng berfungsi sebagai markas pertahanan, beberapa yang lain berfungsi sebagai pos pengintaian. Satu benteng yang konstruksinya masih utuh bisa dinikmati di sini. Bentuknya sederhana sekali layaknya sebuah pos ronda yang ditimbun gundukan tanah.

Sudah bukan rahasia umum lagi jika Jepang gemar sekali membuat benteng pertahanan dalam bentuk gua-gua bawah tanah. Saya pernah mengunjunginya di Bukittinggi, Sumatera Barat, Bandung, Lombok Timur, dan di Gili Trawangan. Dari pos pengintaian ini, Selat Malaka membentang di depannya. Pos ini dulunya digunakan sebagai tempat mengintai musuh dan mengawasi lalu lalang lalu lintas pelayaran di Selat Malaka. Dari benteng Jepang ini pula, pemandangan asri pantai berpasir hitam Anoi Itiam dapat dinikmati dari kejauhan. Suasananya sungguh sepi. Tak ada lalu lalang kapal. Tak ada pula pengunjung lain selain saya. Mungkin, perairan ini akan kembali riuh saat Sabang Marine Festival 2016 digelar beberapa hari lagi.

.: Pantai Anoi Itiam dilihat dari Kawasan Benteng Jepang :.

Meninggalkan benteng Jepang dan membiarkannya kembali dikungkung kesendirian, saya menuju pusat Kota Sabang. Kontur tanahnya yang berbukit menyuguhkan pemandangan yang memanjakan mata. Jalanannya sudah mulus beraspal. Saya melewati sebuah danau yang mengendap di episentrum pulau layaknya sebuah cawan tak bertuan. Danau cantik berair tawar yang menjadi rujukan sumber air utama bagi masyarakat seluruh pulau tersebut dijuluki Danau Aneuk Laot. Lanskapnya yang menghijau dikelilingi hutan-hutan yang rimbun membuat saya tak kuasa untuk tidak berfoto dengan latar belakang genangan air menghijau.

.: Danau Aneuk Laot yang mendekam di episentrum pulau :.

Saat memasuki jantung kota, jalanannya dipagari pohon-pohon rindang. Tak tampak lalu-lalang kendaraan. Konon, kalau siang, Kota Sabang seperti kota mati. Masyarakatnya mempunyai kebiasaan istirahat siang layaknya ritual siesta warga Italia. Toko-toko tutup, pasar berhenti sejenak aktivitasnya, dan jalanan sepi.

Namun demikian, saya perhatikan, sebagai sebuah kota kecil yang terletak di tengah pulau kecil, Sabang termasuk kota yang lengkap, dalam artian, memiliki gedung-gedung pemerintahan, sekolah, rumah sakit, pelabuhan, bahkan bandara sendiri. Saya menyempatkan diri sarapan dan minum secangkir kopi di sebuah kedai sebelum melanjutkan perjalanan.

.: Seorang 'barista' sedang meramu secangkir kopi Aceh :.

"Pesan kopinya satu, bang" kata saya kepada seorang pramusaji.

Bukan tanpa alasan saya memesan kopi saat mampir di warung ini. Dari banyak referensi dan cerita yang saya dengar dari mulut para petualang yang saya temui, bumi Svarnadwipa menawarkan petualangan minum kopi yang pantang untuk dilewatkan. Dataran tinggi pegunungan Andalas merupakan tambang emas hitam yang mengantarkan Indonesia menjadi salah satu produsen kopi terbaik dunia. Sebagai seorang petualang musiman sekaligus pecinta kopi, saya merasa perlu memasukkan Sumatra sebagai zona penting untuk memuaskan dahaga petualangan mencicip cairan biji kopi. Dan kopi Aceh merupakan satu pilihan terbaik untuk setidaknya dicicipi sekali dalam seumur hidup, langsung di tempat asalnya. Bisa jadi, saya akan terus merasa ketagihan karenanya.

.: Kopi Aceh yang Legendaris :.

Selain kopinya yang nikmat, saya senang sekali duduk di dekat tempat meracik kopi. Kalau boleh jujur, di sudut inilah sebenarnya daya tarik warung kopi di Aceh: suara air mendidih, gemericik air rebusan kopi dari saringan pernikel, harum kopi yang menguar, dan atraksi dari sang barista. Tidak seperti barista-barista kafe di Jakarta, barista warung kopi di Aceh sepertinya memang jauh dari kesan 'rapi'. Tapi, di balik penampilannya yang sederhana itulah justru yang membuat warung kopi di Aceh jadi kondang hingga ke luar negeri.

Dan entah mengapa, setiap kali saya sedang berada di sebuah kedai kopi seorang diri, tiba-tiba saja datang momen untuk berkontemplasi. Saya kerap heran sendiri dengan hal itu. Beberapa kali saya memburu tempat sepi untuk menenangkan pikiran, jawabannya muncul begitu saja saat saya menikmati secangkir kopi di meja makan atau di sebuah kedai kopi sederhana di pinggir jalan atau pasar tradisional. Mungkin saya tak henti-hentinya diingatkan. Perjalanan memang tak melulu soal tempat. Dan setiap hal, setiap orang, dan segala sesuatu yang kita temui dalam hidup, sepertinya hadir bukan karena sebuah kebetulan atau pelengkap cerita. Mereka ada untuk menggenapi kepingan pengalaman hidup kita untuk bekal menciptakan kenangan yang kita ingat di masa depan.

.: Pulau Klah dalam Pelukan Laut Biru :.

Pandangan saya terlempar ke arah laut lepas. Pulau Klah menyembul dikungkung laut pirus dengan gradasi warna yang menyejukkan mata. Saya hirup aroma kopi yang sudah mulai mengendap ampasnya. Saya sesap sedikit demi sedikit. Rasanya memang istimewa. Saya kembali duduk terhenyak dan terpesona dengan efek yang barusan saya rasakan. Ritual minum kopi merupakan sebuah kenikmatan personal bagi saya. Selain sanggup menyingkirkan sejenak dari kepenatan pikiran, ternyata, minum kopi juga sanggup menumbuhkan kembali kenangan akan hangatnya sebuah hubungan keluarga, manisnya sebuah persahabatan, dan kerinduan untuk selalu merawat keduanya.

Dalam sebuah obrolan ringan di warung kopi tersebut, saya mendapatkan informasi bahwa Pulau Weh juga mengoleksi sebuah air terjun. Sebagai seorang pejalan yang suka sekali mandi di air terjun, tentu adrenalin saya memuncak saat diberitahu informasi tambahan bahwa letak air terjunnya ada di tengah hutan dan tak jauh dari lokasi warung kopi.

.: Mendinginkan diri di Air Terjun Pria Laot :.

Berbekal pengalaman mencari air terjun serupa yang ada di Pulau Moyo, Nusa Tenggara Barat, bersama Pak Edi, saya memberanikan diri menyusuri jalan setapak, melewati tanah tegalan warga, mengikuti arah aliran sungai, dan menembus kelebatan hutan untuk menemukan air terjun yang dimaksud warga.

Setelah melakukan trekking mengikuti muasal aliran sungai di kedalaman hutan selama kurang lebih 45 menit, saya akhirnya sampai juga di air terjun Pria Laot. Air terjunnya tidak terlalu tinggi, alirannya tidak terlalu deras, dan lagunanya cukup aman untuk direnangi. Sebagaimana di Pulau Moyo, tadinya saya mengkhawatirkan keberadaan ular yang melata di dasar laguna. Tapi, demi melihat air jernih yang mengalir begitu gencar, dikatalisasi dengan hawa panas sehabis trekking, untuk menyegarkan badan dan mengembalikan semangat jalan-jalan, saya akhirnya tak kuasa untuk segera menceburkan diri di laguna, mandi air terjun yang katanya bermanfaat untuk membuat orang awet muda.

Masih dalam keadaan basah, selepas mandi di air terjun, saya segera meluncur menuju Pantai Gapang. Pantai berpasir putih, dipayungi langit biru cerah, dan laut berair jernih dengan gradasi warna yang sangat memikat. Deskripsi demikian kerap saya temukan di pantai-pantai yang ada di Indonesia Timur. Namun demikian, semacam anomali, saya menemukan begitu banyak pantai cantik sebagaimana pantai-pantai yang pernah saya datangi di Indonesia Timur, dikoleksi secara kolosal di Pulau Weh.

.: Suatu Siang di Pantai Gapang :.

Pantai Gapang merupakan salah satu pintu gerbang penyelaman di Pulau Weh. Di sepanjang pantainya berdiri penginapan dan dive centre. Di kedalaman perairannya, karang-karang merekah, membentuk situs suci yang wajib disambangi bagi para penyelam. Merasa lapar dan sedikit lelah sehabis trekking di hutan, saya absen untuk menceburkan diri ke laut. Dirundung sedikit rasa kantuk dan diluputi cuaca tropis yang menyengat, saya memilih untuk duduk berdiam di bawah pepohonan rindang.   

Sembari memerhatikan anak-anak yang sedang bermain air di pantai, saya mendengar sekelompok turis mancanegara yang baru pulang menyelam berdebat tajam soal keanekaragaman biota laut yang barusan mereka saksikan di perut laut Pulau Weh. Setidaknya, saya mendengar mereka menyebut-nyebut tentang keberadaan crocodile fish, penyu, dan belut moray di situs selam bangkai kapal.

.: Anak-Anak Bermain Air di Pantai Gapang :.

Memang, tak jauh dari Pantai Gapang, teronggok di kedalaman relung laut, berdiam bangkai kapal Sophie Rickmers. Bangkai kapal ini disita Belanda tahun 1940 dan keadaannya masih utuh sehingga menjadi semacam 'rumah' bagi terumbu karang dan biota laut. Saya jadi teringat dengan situs selam serupa yang ada di Tulamben (Bali) dan Morotai (Maluku Utara).

Karena tak ada agenda main air di kedalaman, saya beranjak lagi ke Pantai Iboih. Lokasinya tak jauh dari Pantai Gapang. Menurut saya, pantai ini airnya lebih tenang, koralnya lebih sehat, ikannya lebih warna-warni, banyak penginapan murah yang langsung menghadap pantai, dan jika bosan main di pantainya, bisa langsung menyewa perahu untuk berenang di perairan yang ada di Pulau Rubiah. Bagi perenang andal, mungkin bisa mencoba berenang dari Iboih ke Rubiah. Saya memilih menyewa perahu saja. Di selat sempit yang memisahkan Iboih dan Rubiah, berdiam perahu-perahu mungil yang melego jangkar.

.: Perahu yang membuang sauh di Pantai Iboih :.

Saya perhatikan, Pulau Rubiah ini seperti pulau yang misterius. Ukurannya mini, mempunyai hutan yang cukup lebat, dan bisa disusuri dari ujung ke ujung hanya dalam hitungan menit. Pada tahun 1920, pulau ini sempat dijadikan sebagai tempat karantina jamaah haji nusantara oleh pemerintah Belanda, suatu fakta kecil yang menjadi muasal mengapa Aceh mendapat sematan sebagai Negeri Serambi Mekah. Saya juga teringat dengan tempat karantina jamaah haji serupa buatan pemerintah Belanda yang bersemayam di Pulau Unrust dan Cipir, jauh di pelukan teluk Jakarta sana. Jika ditelisik lebih jauh, saya seperti menemukan banyak benang merah hubungan antarpulau di nusantara. Sebarannya berkelindan dalam sebentuk kisah yang menunggu untuk diurai.

Saya berjalan menembus hutan melalui jalan setapak berpaving batu. Di tengah pulau, saya mendapati sebuah situs peristirahatan Siti Rubiah. Sebuah nama yang akhirnya menjawab tentang muasal pulau ini disebut. Saya yakin Pulau Rubiah menyimpan cerita menarik untuk didongengkan. Yang jelas, selain penuh dengan kisah sejarah, saya betah berenang dan main air di sekitar pulau bersama dengan beberapa ikan nemo yang lucu di lautnya yang biru. Puas rasanya bermain bersama ratusan ikan warna-warni dan biota laut di lokasi yang tak jauh dari bibir pantai.

.: Pulau Rubiah :.

Menjelang senja, saya segera menuju kawasan titik km 0 Indonesia. Sebagai salah satu pulau terluar di kepulauan nusantara yang letaknya berada di ujung nusa, banyak sekali simbol-simbol atau penanda geografis yang di bangun di Sabang, Pulau Weh. Salah satunya adalah Tugu Kembar. Tugu ini terletak di tengah kota, tepatnya di depan Kantor Walikota Sabang. Disebut tugu kembar karena sebuah tugu yang sama juga dibangun di Kota Sota, Papua, menandai bentangan wilayah nusantara yang menghampar dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, tugu ini kerap disebut sebagai Tugu Kembar Sabang Merauke

.: Tugu Kembar dan Menara KM 0 Indonesia :.

Membawa semangat yang sama, sebuah tugu KM 0 Indonesia dibangun di daerah Ujong Ba'u, Desa Iboih. Tugu KM 0 Indonesia ini dibangun sebagai penanda geografis titik awal daratan nusantara. Meski titik terluar daratan Indonesia sebenarnya ada di Pulau Rondo, yang pulaunya samar-samar kelihatan dari tugu ini dan kerap dikepung ombak perairan Andaman, tapi karena Pulau Rondo berupa pulau kecil tidak berpenghuni, yang hanya disinggahi nelayan dan dijaga oleh pasukan TNI, maka diputuskanlah dibangunnya tugu KM 0 Indonesia ini ada di Pulau Weh.

.: Cahaya Senja di Kawasan Tugu Kilometer 0 :.

Jika ditilik dari ukurannya, tugu ini lebih megah daripada tugu kembar yang terletak di tengah Kota Sabang. Berdiri terpencil di dalam hutan lindung Pulau Weh, dalam keadaan sepi pengunjung, monumen ini diramaikan oleh sekawanan monyet nakal dan seekor babi hutan yang jinak. Tugu yang dibangun pada masa pemerintahan Presiden Soeharto ini sedang dipugar dan dibangun menjadi semacam menara ikonis baru yang menarik untuk latar foto kenangan para wisatawan yang berkunjung. Selain tugu KM 0 Indonesia, ada pula tugu kecil sebagai penanda posisi geografis Stasiun GPS KM 0 Indonesia. Terletak tak jauh dari tugu KM 0 Indonesia, tugu kecil inilah sebenarnya yang terletak di paling barat daratan nusantara. Bangga rasanya bisa menjejak titik paling ujung Indonesia. Setidaknya, saya sudah mencicil proyek pribadi dalam menjejak titik 0 yang tersebar di seantero penjuru nusantara.

Senja perlahan turun memeluk cakrawala. Angin laut bertiup menyapu dedaunan. Di kejauhan, burung-burung bergerak menuju sarang. Sebaliknya, sekawanan kelelawar terbang berputar mengitari tebing-tebing karang yang dihempas lautan. Sesaat setelah sang surya benar-benar ditelan cakrawala, saya meninggalkan area tugu KM 0 Indonesia untuk kembali ke penginapan di Kota Sabang.

.: Tugu Kilometer Nol dalam kondisi dipugar :.

Kota Sabang memang tak seriuh Banda Aceh. Tapi, tempat ini menyimpan potensi wisata yang menjanjikan. Hampir setiap tempat yang saya lewati sepanjang perjalanan menyajikan gambaran panorama yang menyejukkan mata. Aneka celupan warna-warna membentuk kombinasi sajian pemandangan yang memesona. Sekembalinya ke Jakarta, setidaknya saya jadi tahu satu hal bahwa di bagian barat Indonesia, terdapat satu tempat sepi yang menawarkan suasana layaknya Bali di masa lampau yang menarik untuk dikunjungi lagi di kemudian hari. []

*) Tulisan ini diikutkan dalam lomba blog Pesona Bahari Sabang dalam rangka Perayaan Sabang Marine Festival 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh.

Pariwisata Aceh

46 komentar:

  1. Wah serunya udah pernah ke Sabang dan icip kopi aceh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, iya koh. Ayo ke Sabang. Siapa tahu bisa bersua hehehe ;)

      Hapus
  2. Akhirnya baca juga ulasan Sabang dari tukang jalan-jalan ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha semoga suatu saat bisa ngopi-ngopi bareng ya bang. Biar gak di medsos saja kenalnya ;)

      Hapus
  3. alur ceritanya asik mas, fotonya pakai kamera apa ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, terima kasih apresiasinya. Ini fotonya diambil pakai kamera Canon Powershot SX 210 IS :)

      Hapus
  4. Aku belum kesampaian nih ke Sabang... Mudahan ada rejeki dan waktu bisa singgah ke sana :)
    Btw, foto cahaya senja di kawasan tugu 0 km itu cakep!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin mbak yu. Semoga segera kesampaian ya :)

      Foto cahaya senja juga salah satu favoritku. Diambilnya waktu hati sedang riang sekali saat liburan. Kebetulan momennya pas sekali sampai harus berhenti mendadak Pak Supirnya gara-gara mau ambil foto ini hehehe :)

      Hapus
    2. Effect hati sedang riang-nya manjur banget ya Die.. :)

      Hapus
    3. Hahaha begitulah kalau liburan pakai duit sendiri, begitu bebasnya seperti tidak ada beban sama sekali. Totally liburan hehehe ;)

      Hapus
  5. Perjalananmu seru bgt kak, belum kesampaian ke titik nol ini.
    Semoga menang ya mendapatkan hatinya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin kak beb, eh kak Bob maksudnya hehehe ;)

      Semoga segera kesampaian juga untuk main-main ke Titik 0 km Indonesia ini. Seru sekali :)

      Hapus
  6. Tripnya komplit banget, semua dapet. Aaaaaak mauk, kangen plesir. Aku mulai kurang piknik nih hkss *malah curhat*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh, bumil fokus menghadapi lahiran dulu aja kaleus. Nanti setelah anaknya agak gedean bisa halan-halan bertiga di mari. Pasti seru ;)

      Hapus
  7. Saya terpesona dengan fajar di pantai sumur tiga. Seru sekali jalan-jalanya mas, kapan ya bisa pergi ke Aceh, menikmati kopinya, menikmati sajian alamnya :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nabung dari sekarang atau manfaatkan kalau ada tawaran tiket promo. Pemandangan matahari terbit kayak gitu kalau lagi gak mendung bisa disaksikan setiap hari kok dari Pantai Sumur Tiga. Pulau Weh dan Sabang emang visitable banget. Paling enggak, kamu harus ke tempat ini sekali dalam seumur hidup. Jangan salahkan saya ya kalau nantinya ketagihan dan pengen main ke sini lagi kalau sudah merasakannya sendiri hehehe ;)

      Hapus
  8. Dari sabang sampai merauke.. oalah ini toh kota sabang iku..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya benar. Kalau ada dana dan kesempatan, main-mainlah ke Sabang ;)

      Hapus
  9. Iling ya Di, dirimu durung menelusuri Nganjuk secara total! Hahaha saiki Nganjuk akeh wisata alam sing jik perawan perjaka haha

    Btw tripmu seru sekali. Cuman fotone kurang akeeeeeeh.. Hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap mas. Libur lebaran nanti mau jalan-jalan keliling Nganjuk hehehe :)

      Kalau untuk Sabang ini, foto-foto yang lebih bagus lagi disimpan untuk ditampilkan di postingan yang lain. Tunggu saja update kisahnya hehehe ;)

      Hapus
  10. Waaah, pengalamannya seru banget dan foto-fotonya apik-apik. Good luck ya Mas :)

    BalasHapus
  11. Balasan
    1. Terima kasih Maria atas apresiasinya. Senang deh bacanya. Jadi semangat untuk ngeblog lagi dengan kisah yang lebih seru lagi ;)

      Hapus
  12. Kalo mau mandi matahari ngak usah pake kaos, telanjang aja biar rata item nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huahuahua nyaliku belum sebesar mas Cumilebay yang legendaris itu kak. Masih suka rikuh kalau harus buka-bukaan hehehe ;)

      *lalu dirajam* :'(

      Hapus
  13. Pengen cobain nyeruput kopi aceh langsung di acehnya juga, ena ena banget :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga segera kesampaian ya. Aamiin ;)

      *doa anak sholeh*

      Hapus
  14. keren Danau Aneuk Laot... mantap... harus dikelola dengan benar agar dapat meningkatkan pendapatan daerah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak. Semoga menjadi perhatian pihak terkait yang berwenang dan didukung oleh seluruh elemen masyarakat maupun wisatawan yang berkunjung ;)

      Hapus
  15. Sampai saat ini belum kesampaian menginjak banda Aceh, cuma sampai di Lhoukseumawe. Itupun cuma urusan ngantor.
    Daerah sabang ini memang menyimpan pesona pantai yang keren.

    Semoga menang yah kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banget lho. Harus disempetin ke sana suatu saat nanti.

      Btw, ini udah lama lho lombanya. Dan tulisanku belum masuk kriteria dan selera dewan juri. Yah, turut meramaikan saja. Paling tidak, sudah berkontribusi untuk mengabarkan berita baik tentang Aceh dan sekitarnya hehehe ;)

      Hapus
  16. Lengkap sekali info yang diberikan. Sudah lama berhasrat untuk ke Aceh, insyaAllah pasti ada rezeki suatu masa nanti. Terima kasih kerana berkongsi! Nice :)

    Salam dari Malaysia ya.

    Pojie,
    www.pojiegraphy.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Semoga segera kesampaian ya main ke Aceh. Terima kasih sudah berkunjung ;)

      Hapus
  17. alamnya cantik .. banyak spot yang menarik disini .. memang harus masuk dalam wish list untuk pergi ke sabang dan pulau weh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, agak mahal sih. Tapi menantang banget. Alamnya cantik, langitnya biru, air lautnya bener-bener cemplungable banget hehehe. Wajib datang ke Weh kalau main ke Aceh :)

      Hapus