.: Mie Ongklok :. |
Hal pertama yang langsung terbersit dari beberapa teman pejalan adalah "Jangan lupa makan mie ongklok" saat saya bilang mau ke Dieng. Entah apa istimewanya mie ongklok bagi para teman pejalan ini sehingga rekomendasinya mampu menyeret saya keluar dari penginapan malam-malam untuk mencari mie khas Dieng ini.
Malam itu hasilnya nihil karena warung-warung sepertinya sudah tutup meski malam baru mulai menggeliat. Saya berhasil mencicipi semangkok mie ongklok sesudah mengantri di sebuah warung pinggir jalan keesokan harinya. Mienya sebenarnya seperti mie ayam. Hanya cara memasaknya yang sedikit beda. Saat merebusnya, mie ditaruh di semacam saringan kecil bersama sayuran. Potongan ayam yang biasanya ditaruh sebagai topping di atas mie kuah, mie ongklok berusaha tampil beda dengan menyajikannya dalam bentuk satai. Saat makan mie ongklok, waktu seakan dibalikkan ke masa beberapa tahun silam karena mangkoknya menggunakan mangkok bergambar merek penyedap rasa yang populer dengan iklannya, "laaa ini, baru enak."
.: Kentang Dieng :. |
Lebih populer disebut sebagai kentang Dieng. Saya tak tahu siapa yang memulai. Tapi setidaknya, ada yang berusaha membuat segala sesuatu menjadi beda dan khas Dieng untuk segala sesuatu yang ada juga di tempat lain sehingga perlu diembel-embeli dengan identitas 'Dieng' di belakangnya.
Yang pertama adalah kentang. Meski sama-sama kentang, banyak orang menyebutnya sebagai kentang Dieng. Karena kesulitan mengidentifikasi kekhasan apa yang terkandung di dalamnya, saya merasakan pembedanya justru terletak pada kesegaran dalam penyajian. Makan atau ngemil kentang goreng yang baru diangkat dari penggorengan sambil dicocol sambal dan saus tomat rasanya memang bisa menambah hangat suhu tubuh yang diselimuti suhu 18 derajat di siang hari. Dan di Dieng, banyak sekali warung-warung yang menyajikan menu kentang goreng ini sebagai salah satu menu istimewanya.
3. Purwaceng
Purwaceng sebenarnya adalah nama tumbuhan perdu yang tumbuh liar di dataran tinggi Dieng. Sepintas kalau saya perhatikan bentuknya seperti pegagan. Meski dianggapnya tanaman liar, tak semua tempat di Dieng dapat menjadi habitatnya. Di Dieng, tanaman ini banyak ditemukan di Gunung Prau dan Gunung Pakujiwo. Jika ingin dikembangbiakkan, purwaceng ini akan berkurang khasiatnya jika diberi pupuk kimia. Jadi, mengolah purwaceng itu benar-benar dari bahan-bahan alami saja yang bahannya 'hanya' dikeringkan dan dihaluskan saja.
.: Purwaceng Hangat, Asik-Asik Joss :. |
Banyak orang percaya bahwa purwaceng mengandung zat yang diyakini mampu meningkatkan stamina dan gairah seksual pria dewasa. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ginseng asli Indonesia. Yang lebih lucu lagi, purwaceng mendapat julukan sebagai viagra dari tanah Jawa. Memang sih, habis minum segelas purwaceng, badan jadi hangat. Tapi bukan berarti serta merta disebut obat kuat juga kan? Kadang-kadang, info seperti inilah yang sering berkembang di masyarakat. Keyakinan-keyakinan yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman seseorang, lalu menyebar dari mulut ke mulut, akhirnya berkembang menjadi sesuatu yang dipercaya kebenaran khasiatnya meski tanpa dibuktikan melalui suatu uji empiris di laboratorium.
Langkanya tanaman purwaceng sendiri karena memang tidak mudah tumbuh di sembarang tempat ditambah tingginya permintaan di masyarakat semakin membuat purwaceng jadi barang buruan saat berkunjung ke Dieng. Buktinya, teman-teman saya pada memborong produk ini sampai berdus-dus. Bukan hanya yang cowok, teman saya yang cewek pun tiba-tiba saja jadi pengen icip-icip juga dan memenuhi suatu warung. Alibinya mereka nongkrong di warung awalnya untuk makan kentang goreng, lalu ikutan minta dibuatkan segelas purwaceng. Eh tapi, nggak tahu kenapa, yang perlu diingat, wanita hamil dilarang minum purwaceng kalau kandungannya ingin sehat.
.: Cabe Dieng, Rasakan Sendiri Sensasinya :. |
Bentuknya seperti paprika, tapi dalam versi yang lebih mini. Dinamai cabe gendot karena bentuknya yang menggembung. Tapi karena letaknya di Dieng, orang tetap lebih sering menyebutnya cabe Dieng.
Sekilas penampakannya menarik dan imut, tapi rasa pedasnya melebihi level yang ditawarkan cabe rawit. Saya mencobanya sesaat sebelum memasuki gedung teater untuk melihat film dokumenter tentang proses vulkanik di dataran tinggi Dieng.
Di sebuah warung, teman saya memesan tahu goreng dan sambal ulek dadakan dengan dua buah cabe gendot ini. Dan walhasil, mulut saya yang sudah pedas ini semakin terbakar saat mencicipinya. Cabe gendot sepertinya memang diciptakan sebagai media introspeksi bagi orang-orang agar bosan berkata-kata pedas kepada orang lain. Apakah Anda merasakan pengalaman serupa?
.: Sayuran Segar dari Kawasan Pegunungan Dieng :. |
Setiap bertandang ke daerah pegunungan, saya hampir selalu menyempatkan diri membeli sayuran segar untuk stok isi kulkas di rumah. Sebagai orang yang sering dicap sebagai manusia yang sering makan "makanan kelinci", melihat sayuran segar tersaji di depan mata, sayang rasanya untuk tidak membelinya. Apalagi kalau di Dieng, kita bisa saja membeli dari para petaninya langsung saat baru selesai dipanen dari kebun.
Selain membeli sayuran segar, di penginapan ternyata disuguhi pula olahan sayuran yang isinya seperti bahan-bahan yang saya beli. Ada kubis dan sawi di antara mie goreng, sayur sop, dan sambal goreng tempe pakai kecap. Untuk perut kelaparan para omnivora yang habis kelelahan menyambangi kompleks Candi Arjuna, menu-menu tersebut tandas seketika setelah disuguhkan di meja.
6. Kacang Babi
Jangan terburu-buru melabeli haram untuk kudapan ini. Meski disebut kacang babi oleh penduduk setempat, tak ada babi-babinya sama sekali selain bentuk salah satu ujungnya yang konon mirip pantat babi. Meski demikian, para pejalan yang datang ke Dieng tetap saja tak mau repot dan memilih menyebutnya sebagai kacang Dieng.
.: Kacang Babi a.k.a Kacang Dieng :. |
Kacang babi dijual sudah dalam bentuk kemasan. Biasanya berupa kacang goreng gurih, cocok untuk oleh-oleh atau cemilan di jalan saat pulang. Meski tak menemukan rambatan tanamannya di kebun, saya melihat ada beberapa tampah berisi kacang babi yang sedang dijemur di sebuah halaman rumah warga saat akan menuju kompleks Candi Arjuna.
7. Carica
.: Carica, Mirip Buah Pepaya Mini :. |
Serupa dengan cabe gendot yang mirip paprika dalam ukuran kecil, carica adalah versi mini dari pepaya. Ukurannya memang imut sekali sehingga buahnya yang masih menggantung di pohon terlihat seperti bintil-bintil. Diimpor dari pegunungan Andes di Amerika Latin oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa Perang Dunia ke-II, pepaya gunung ini seperti menemukan habitatnya di dataran tinggi Dieng yang mempunyai ketinggian di atas 2.000 mdpl.
Saya perhatikan, sepertinya setiap rumah di sekitar kompleks Candi Arjuna punya tanaman ini di pekarangannya. Mata saya sampai jelalatan memilih pohon yang paling sehat, banyak cabangnya, dan digantungi bintil-bintil buah segar yang cukup banyak.
Jika dimakan biasa, buah ini rasanya sedikit asam, tapi baunya harum. Jika sudah masak, daging buahnya berubah warna menjadi kuning. Carica biasa diolah lagi menjadi sirup, manisan, selai, jenang, dan jus. Di luar negeri, carica diolah juga menjadi wine dan obat herbal. Kemasannya juga dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dibawa dan dijadikan oleh-oleh. Saya sendiri paling suka carica dalam bentuk manisan. Selain rasanya jadi lebih manis, daging buahnya yang tebal jadi terasa lebih lembut saat bertemu lidah. Diam-diam saya curiga, sepertinya carica cocok juga sebagai 'obat' panas dalam. []
*) Tulisan ini diikutsertakan dalam rangka blog competition periode III dengan tema "Wisata Kuliner Jawa Tengah" yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah
Aku kok ngak suka mie ongklok yaaa
BalasHapusTerlalu manis menurut gw, padahal dah di kasih sambel ampe 1 mangkok tapi tetep aja manis. Kalo purwaceng mah OK banget hahaha
Hahahaha biar semangat dan selalu greng ya Om Cum :D :P
HapusSuka sama purwacengnya :3 kalau mie ongklok sih enak, entah kenapa, nggak terlalu cocok sama seleraku. Karena udah kebiasa sama mie ayam model solo yang gurih kali~ Mie ongklok agak terlalu manis deh :D
BalasHapusIh, kak Fahmi seleranya sama lho ama Om Cumi. Kalian emang cucok di mana-mana hahaha. Purwaceng sepertinya jadi favorit semua orang ya. Biar greng kayaknya hehehe ;)
Hapusaku baru minggu lalu ke Dieng dan nyobain mie ongklok dalam perjalanan balik ke Purwokerto. Rame banget tapi rasanya biasa aja menurut aku. Sampe mikir apa aku datang ke tempat yang salah yah ? Tapi ini rame dan kayanya semua wisatawan datangnya ke tempat itu deh. Kalo sate sapinya baru enak banget. Satenya menyelamatkan mie nya. hahahaha
BalasHapusBanyak yang bilang mie ongklok rasanya biasa aja. Mungkin orang banyak ke situ karena rasa penasaran aja, bukan karena rasa mienya yang enak. Bisa jadi kan hehehe. ;)
HapusDuh, Wonosobo itu memang surga banget deh buat leyeh-leyeh dan kunyah-kunyah. Kalo liburan ke rumah Budhe, 2 hari aja, bisa dipastikan berat badan nambah. Tobaaattt .. :D
BalasHapusHahaha kalau ke sana lagi pengen banget naik ke Prau ama Slamet. Semoga ada kesempatan, kesehatan, dan dana yang cukup hehehe ;)
HapusSaya belum pernah coba satupun kuliner saat touring motor ke Dieng dulu. Karena sama teman sudah berbekal carrier berisi konsumsi layaknya ke gunung hehe. Tapi penasaran mi ongklok itu, sama purwaceng! :D
BalasHapusMie ongklok sih kata temen2 yang ke sono biasa aja. Kalau menurutku lumayan sih meski gak enak-enak banget. Purwacengnya yang joss gandos. Wajib coba nih kalau ke Dieng lagi :))
Hapus