Selasa, 10 Februari 2015

Mengejar Mimpi di Negeri Laskar Pelangi

.: Batu-Batu Berukuran Raksasa di Pantai Tanjung Tinggi, Belitong :.

Sejak buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata difilmkan, Belitong seakan muncul sebagai magnet baru pariwisata nusantara setelah Bali. Padahal, jauh sebelum buku tersebut menjadi buah bibir, bersama Pulau Bangka, Belitong hanya bergeming dalam diktat pelajaran anak sekolahan sebagai oase tempat mendulang timah warisan pemerintah kolonial.

Bagi saya, kunjungan ke Belitong seakan menjadi pembuka segalanya. Banyak hal pertama yang terjadi pada perjalanan ini. Saya, untuk pertama kalinya masuk ke bandara Soekarno-Hatta, sekaligus pertama kalinya juga naik pesawat terbang. Pertama kalinya foto di depan pesawat dan pertama kalinya keluar pulau Jawa (pulau Madura tidak dihitung karena masih masuk provinsi Jawa Timur). Jika diingat-ingat, sungguh udik sekali memori tersebut.

Perjalanan ke Belitong diawali saat ngobrol secara random, seminggu setelah film Sang Pemimpi tampil di bioskop. Seorang teman iseng melontarkan ajakan untuk menyambangi Belitong. Seperti ada kode dari semesta, salah satu teman kantor ada yang lagi pulang kampung di Belitong sana. Jadi, tak perlu ada acara nyasar karena ada pemandu dari penduduk setempat.

Mungkin saya terlalu bersemangat memulai sesuatu untuk pertama kalinya. Hormon untuk menjelajah suatu tempat baru sedang meningkat. Hal ini diperparah dengan bocornya rencana saya mau terbang pertama kali dengan pesawat terbang yang entah bagaimana bisa membuat heboh satu kantor. Parahnya lagi, sejak tiga hari sebelum terbang, saya mulai mengalami susah tidur.

Pelajaran moral: jadi orang jangan terlalu ndeso bin kampungan, sampai tidak bisa tidur cuma gara-gara mau naik pesawat terbang.

Setelah melewati 55 menit yang menegangkan dalam salah satu fase hidup saya, akhirnya sampai juga di negeri Laskar Pelangi. Bandaranya kecil dan lebih sepi daripada terminal bus di Nganjuk. Hanya ada dua kali penerbangan komersial ke pulau ini yang dilayani oleh satu maskapai. Tak ada angkutan umum. Saya melihatnya seperti itu. Setidaknya, saya tidak melihat ada angkutan umum terlihat sibuk di jalan raya. Apalagi di bandara.

Karena masih jetlag dengan penerbangan perdana tersebut, saya manut saja diangkut keluar dari bandara menuju pangingapan. Padahal, saya dan beberapa teman sengaja tidak memesan penginapan. Saya bilang ke pak supir untuk mengantarkan kami menuju penginapan yang dekat dengan Pantai Tanjung Tinggi. Alasannya, kita semua sudah lama rindu pantai dan waktu maksimal untuk liburan ini haruslah ada di sekitar pantai. Inilah perjalanan go show saya untuk ke sekian kalinya.      

.: Bergumul dengan Bebatuan :.

Setelah melewati hutan, sekitar 1 jam naik mobil dari pusat kota, sampailah saya di Pantai Tanjung Tinggi. Pantai ini memang mendadak populer setelah film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi mendulang sukses di bioskop. Sebenarnya ini merupakan salah satu sinyal positif bahwa film yang bagus dengan cerita bermutu yang didukung latar tempat yang indah mampu menjadi sarana iklan pariwisata masif bagi calon wisatawan domestik maupun mancanegara. Hal yang tentunya bisa dijadikan salah satu acuan bagi kebijakan Kementerian Pariwisata untuk menggelontorkan dana promosi potensi wisata di Indonesia. 

Meski akhir pekan, untungnya pantai ini sepi. Saya tak terlalu terganggu untuk mengambil gambar. Batu-batu besar berserakan di sana-sini. Berpadu dengan pasir putih dan pantai yang landai. Orang menyebutnya batu meteorit. Konon batu-batu ini jatuh dari langit karena tak ada gunung api yang dekat dengan lokasi pantai ini di Belitong. Sayangnya saya datang saat musim hujan. Langit yang mendung membuat air laut tampak keruh. Banyak juga sampah rumput laut yang berserakan. Tapi hal itu tak menyurutkan niat kami untuk mandi air garam karena begitu rindunya dengan pantai.

Seperti dalam adegan di film, saya dan teman-teman bermain petak umpet di sini. Berpindah dari satu batu ke batu lain dan mengambil gambar di salah satu pantai mini yang diapit oleh dua batu besar, seolah sedang berada di bagian pantai yang paling tersembunyi.
Saya pikir, Pantai Tanjung Tinggi merupakan salah satu tempat yang sanggup merangkum memori masa silam dan menyuguhkannya dalam bentuk kenangan akan hal-hal sederhana yang kita alami saat masih menjadi anak-anak.

Siang mulai menghadang namun mendung masih merundung. Setelah capai bermain petak umpet dan mandi di laut, saya mencicipi beberapa kuliner khas Belitong di salah satu warung. Pesan salah satu teman dari Palembang, "Kalau ke Belitong jangan lupa cicipi gangan ikan dan kopinya. Sedapnya bikin orang lupa ditagih menikah melulu sama orang kantor. Cobain deh!".

Info sesama pejalan memang wajib diimani. Gangan ikan merupakan sup ikan dengan kuah kuning. Saya memilih ikan ketarap. Konon ikan ini paling nikmat dimasak gangan, terutama bagian kepalanya. Dengan bumbu rempah yang beragam ditambah irisan nanas muda membuat rasa kuahnya menjadi asam sekaligus gurih. Saya sampai nambah dua kali saat menikmati makan siang ini.

Kenyang makan ikan, saya kembali ke penginapan untuk leyeh-leyeh dan tidur siang. Kebetulan hotelnya dekat sekali dengan pantai Tanjung Tinggi yaitu Hotel Lor Inn. Hotelnya nyaman dengan kamar-kamar yang menghadap pantai. Jadi, bangun tidur bisa langsung jogging di pinggir pantai. Malamnya, saya main ke kota Tanjung Pandan untuk menikmati hok lo pan, jajanan semacam martabak khas Belitong dan durian.

.: Lokasi syuting Laskar Pelangi, Tempat Mahar Mendengarkan Radio :.
Ke Belitong hanya dua hari jadi tidak banyak tempat yang bisa dikunjungi. Hari kedua saya main ke lokasi syuting film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Tempat ini merupakan lokasi replika sekolah miring tempat anak-anak ajaib didikan ibu Muslimah menimba ilmu. Lokasinya ada di sebuah SD Negeri. Jadi, bukan lokasi tempat replika sekolah yang saat ini ada yaitu di sebuah tanah lapang berumput pirang.

Penunggu sekolahnya sampai bingung tiba-tiba ada beberapa orang menyambangi rumah dinasnya di siang bolong. Saya ingat lokasi ini merupakan lokasi syuting film Laskar Pelangi karena ingat pohon jamblang yang menjadi tempat Mahar biasa mendengarkan radio. Karena sudah tidak menemukan apa-apa di SD Negeri tersebut, saya langsung menuju ke Manggar untuk ngopi-ngopi.

Di kota ini saya melihat berderet-deret warung kopi yang selalu ramai pengunjung. Minum kopi sepertinya sudah menjadi tradisi bagi penduduk Belitong, baik tua maupun muda. Mereka datang ke warung, memesan kopi, dan ngobrol tentang apapun, sembari melihat orang lalu-lalang, datang dan pergi ke warung kopi. Tak pernah sebelumnya saya melihat ritual minum kopi yang begitu akrab dan seragam seperti sebuah upacara atau parade hingga saya datang ke kota ini.

.: Segelas Kopi Manggar yang Menggoda :.
Orang terlihat berderet berjamaah minum kopi di bangku kayu sederhana di warung-warung yang jumlahnya banyak sekali. Tak heran jika 'kota' Manggar mendapat julukan sebagai kota 1001 warung kopi. Kopi Manggar (katanya) terkenal enak karena penyajiannya yang tak biasa. Bubuk kopi diseduh dalam suatu tempat dari aluminium lalu dituang di gelas-gelas melalui saringan yang mirip dengan kaus kaki. Kopi yang disajikan jadi bebas ampas. Setelah duduk dan memesan segelas kopi, saya tak sabar mencicipinya.

Saya hirup aromanya, saya tiup perlahan-lahan agar tidak terlalu panas di lidah, lalu saya seruput cairan kafein tersebut seteguk. Hal yang sama dilakukan juga oleh teman saya. Saya ulangi lagi sekali, hingga teman saya yang dari tadi tak henti-hentinya ngebul bertanya, "Gimana rasanya?"

Spontan saja saya menjawab, "Biasa ajah", yang ditimpalinya dengan anggukan.

Mungkin saya salah memilih warung. Mungkin kopi yang ditawarkan memang biasa saja. Atau bisa jadi saya lagi tidak dalam kondisi yang nyaman saat menikmati kopi ini. Tapi, pengalaman mencicipi kopi membuat saya berpikir bahwa kopi yang barusan saya minum itu memang biasa saja. Tak seperti yang diceritakan teman-teman saya. Atau ekspektasi saya mungkin yang terlalu tinggi untuk kopi yang disajikan di warung kopi ini.

.: Kerupuk Ikan Khas Belitong :.
Waktu liburan yang singkat membuat saya harus memotong durasi leyeh-leyeh di warung kopi agar bisa bergegas menuju bandara. Untuk buah tangan, saya mampir sejenak di salah satu toko oleh-oleh dan memborong beberapa bungkus kerupuk ikan dan udang. Kedua kerupuk ini memang juara sekali rasanya hingga saya tahan untuk menunggu sampai Jakarta saat mencicipinya. Dipadu dengan sambal botol yang pedas, sebungkus kerupuk ikan ukuran sedang langsung tandas di depan mata. Sepertinya, tinggal menunggu waktu saja untuk menikmati sajian ini dengan nasi hangat mengepul, sambal masak yang baru diuleg, dan tempe goreng garing.

Sepulang dari Belitong, saya mendapat kesan bahwa beberapa sisi pulau ini memang cantik. Pantai-pantainya yang indah itu baru terdengar namanya di telinga para pejalan. Ceruk-ceruk bekas tambang timah menyebar di banyak tempat dan genangan airnya menawarkan warna-warni yang elok saat difoto. Budaya minum kopinya juga menarik. Baru kali ini saya melihat ada satu kampung yang penduduknya suka minum kopi dan menjadikannya seolah sebuah rukun yang pantang dilewatkan setiap hari.   

.: Berjumpa dengan Pak Cik Andrea Hirata :.
Beberapa bulan setelah liburan ke Belitong, saya bertemu dengan kak Andrea Hirata di Jakarta. Ketika saya tanya tentang hal krusial yang menjadi permasalahan di Belitong dewasa ini pasca Laskar Pelangi, dengan agak sedih beliau menjelaskan bahwa lagi-lagi pemerintah kita kurang peka untuk memanfaatkan momentum dikenalnya Belitong sebagai destinasi baru wisata Indonesia melalui buku dan film Laskar Pelangi.

Infrastruktur sebagai penopang kelancaran mobilisasi wisatawan masih banyak yang perlu diperbaiki jika tidak boleh dikatakan buruk. Angkutan umum masih langka. Promosi secara masif tentang Bumi Laskar Pelangi belum menjadi prioritas utama. Beliau menambahkan dengan membandingkan Belitong bisa dijadikan destinasi wisata populer pasca diangkat ke layar lebar seperti New Zealand yang sukses mengemas paket wisata ke Middle Earth pasca diproduksinya film The Lord of The Rings di negeri tersebut. Sebagai bentuk dari usaha tersebut, Andrea Hirata sedang mengembangkan Museum Kata Andrea Hirata sebagai wadah untuk membuat Belitong dikenal sebagai oase untuk pengembangan atau pusat sastra yang layak diperbincangkan sebagaimana Ubud di Bali maupun Iowa tempatnya menimba ilmu tentang penulisan kreatif di negeri Paman Sam sana.

Banyak sekali memang pekerjaan rumah yang masih harus diperbaiki oleh Belitong akibat 'dosa-dosanya' sendiri di masa lalu maupun sentuhan tangan pemerintah yang urung dilakukan secara maksimal pasca populernya Laskar Pelangi demi menjadikan Belitong sebagai destinasi wisata populer layaknya Bali sebagaimana disebut-sebut selama ini. [] 

22 komentar:

  1. Saya waktu diajak pertama kali naik pesawat ke Bengkulu dulu juga begitu Mas, suaking semangate sampai emoh disuruh tidur dulu hahaha. Dan bandara Bengkulu mungkin hampir sama kayak Beitung kali ya, ga lebih luas dari terminal bus Anjuk Ladang :D

    Tahun lalu saya nyaris ke Belitung sebelum akhirnya beralih ke Sumbawa-Flores, ya karena urusan transportasi umumnya yang langka bikin saya mikir kalau mau keliling Belitung. Ditambah SIM C saya mati, jadinya ndak bisa sewa motor tho hahaha :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya tuh, transportasi umum di Belitong masih payah. Harus sewa mobil kalau mau keliling pulau dengan nyaman. Jaraknya juga lumayan jauh sih kalau mau ke Manggar, jadi memang harus sewa mobil :)

      Hapus
  2. Ora popo lo mas dadi wong ndeso, justru malah iksaitid to numpak pesawat? Nek wis biasa numpak pesawat khan gak seru.

    Btw aku dewe urung tau numpak pesawat ki. Piye rasane? haha

    Btw, foto pantaine kurang akeh banget. Trus foto sekolahane kok gak eneeeek.. Waaaah pelanggaran sampean iki. Hahahah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini tripku awal-awal dulu kok mas. Aku emang dulu masih ndeso banget. Baru punya kamera hp. Fotonya harus ada gambarnya diriku. Jadi, gak banyak foto-foto pantainya. Hiks :'(

      Hapus
  3. kalau liat belitong jadi keinget laskar pelangi memang. kayaknya di film itu belitong masih sangat sederhana dan udaranya sejuk. hmm..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya banget. Sekarang juga masih relatif sama kok karena infrastrukturnya juga belum dibangun secara keseluruhan. It's only a matter of time to make it happen kayaknya hehehe :)

      Hapus
  4. Aku pernah kesanaa dan sungguh luar biasa indahnya kereeeeennn

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha bener banget. Pengen nih ke sana lagi. Pengen leyeh-leyeh di Lor Inn sama pantai di depannya doang :)

      Hapus
  5. Wah, nemu blognya traveler sejati lagi nih :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha emangnya ada gitu ya traveler abal-abal? Btw, terima kasih lho apresiasinya ;)

      Hapus
  6. selain pemandangan yg bagus, yg paling gw pengen itu minum kopi di kedai2 disana kayaknya mantap :))

    BalasHapus
  7. Masih mending, mas. Dulu aku pertama kali naik pesawat cuma ke Jakarta. Rasanya seneng banget, padahal bagi orang lain biasa-biasa aja, hahaha....

    Wah, Pantai Tanjung Tinggi bisa buat syuting film India tuh. Joget-joget, terus ngumpet di batu.... :))

    BalasHapus
  8. Wah keren juga tuh foto2 belitung. Saya jadi pengen ke sana tapi belum ada yang bayari nih.. wkwkwkwkw

    BalasHapus
  9. Balasan
    1. Iya, bagus banget. Tapi aksesnya agak susah, maksudnya, tak ada angkutan umum menuju ke tempat-tempat menarik itu :'(

      Hapus
  10. Eh aku juga ketemu andrea hirata lho waktu di belitung, tapi aku melenggos tampan aja. Aku kesel sel sel sel coz di jalanan deket rumah dia. Ada plang nama gede banget tulisannya "Adrea Hirata Penulis buku laskar pelangi perna tinggal di jalan ini"
    Hadeh mmg segitu penting nya yaaaa, aku aja yg anak bupati ngak gitu2 banget #kaburrrrrrrr

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hah? Serius tuh? Mungkin bagian dari promosi kali kak. Biar eksis. Soalnya Andrea Hirata kan gak mau foto pake kancut doang kayak lo wkwkwk :D

      *kabuuur*

      Hapus
  11. Aku belum main-main ke belitong nih.
    3 hari susah tidur sebelum traveling, adalah hal yang paling wajar buat traveler, apalagi tempat baru yang menarik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha itu gara2 diriku masih katrok waktu itu. Booking tiket lah bang, langsung cuz ke Belitong :)))

      Hapus