Rabu, 25 Juni 2014

Historical Islands Adventure: Menjejak Titik Nol Imperium Kolonial di Nusantara

.: [Titik Nol] Pulau Unrust, Pulau Cipir, dan Pulau Bidadari Dilihat Dari Udara :.

Dalam sebuah perjalanan santai menuju Surabaya, pesawat yang saya tumpangi terbang di atas kawasan Kepulauan Seribu. Sungguh sebuah kejutan dapat menikmati pemandangan Jakarta layaknya 'pandangan mata burung', mengingat seringnya udara ibukota yang terselimuti awan polusi. Apa yang tersaji di balik jendela pesawat seolah menjadi pengingat kembali pikiran saya dari amnesia panjang: bahwa Jakarta bukan melulu wilayah daratan yang dihuni oleh gedung-gedung bertingkat dan disesaki deru mesin kendaraan. Jakarta juga punya laut yang di dalamnya bertabur pulau-pulau cantik.  

Saya merasa beruntung pagi itu. Pesawat yang saya tumpangi terbang tepat waktu. Sebuah bonus berupa sajian pelengkung warna-warni pelangi sanggup mengarahkan perhatian saya pada gugusan pulau di bawahnya: Pulau Unrust, Pulau Cipir, Pulau Kelor, dan Pulau Bidadari. Sebenarnya saya sudah tak asing lagi dengan pulau-pulau tersebut, mengingat seringnya saya lintasi ketika berpesiar di pulau-pulau yang agak jauh dari bibir pantai teluk Jakarta semacam Pulau Tidung. Tapi, mungkin karena bukan destinasi populer bagi pejalan ditambah minimnya informasi tentang pulau tersebut seolah membuat tenggelam pesonanya.

Padahal, sekitar 4 abad yang lalu, gugusan pulau ini merupakan episentrum bagi perdagangan rempah dunia. VOC pernah bercokol di atasnya dan dari sanalah monopoli perdagangan rempah di hampir separuh jalur distribusi di seluruh dunia dimonitor. Berangkat dari kenangan akan kejayaan masa silam tersebut, di dalam pesawat saya mencatat satu lagi destinasi impian yang wajib dikunjungi setelah saya kembali lagi ke panggung ibukota nanti.

Pucuk dicinta ulam tiba. Kesempatan itu datang secara tak sengaja. Pada suatu sore yang biasa, saya dihubungi oleh teman saya untuk menggantikan tempatnya untuk mengikuti suatu trip rombongan menuju keempat pulau yang saya ingin kunjungi di atas. Tak banyak bertanya, tawaran tersebut langsung saya sambut dengan tangan terbuka. Bertajuk Historical Islands Adventure, saya berangkat ke kawasan Kepulauan Seribu bersama Komunitas Historia Indonesia (KHI). Mengikuti arah arus laut dan tingkat kesulitan merapatkan perahu di dermaga pulau, kami sepakat untuk membuat urutan yaitu Pulau Kelor, Pulau Cipir, Pulau Unrust, dan terakhir akan mampir sebentar di Pulau Bidadari.
     
.: [Masih Utuh] Benteng Mortello di Pulau Kelor :.
1. Ziarah ke Pulau Kuburan

Sering disangka atau salah disebut sebagai Pulau Unrust, Pulau Kherkof memang seolah punya daya tarik tersendiri dibanding tiga pulau lain yang berada di dekatnya. Setiap pejalan yang melintasi pulau ini untuk menuju kawasan wisata di Kepulauan Seribu hampir selalu pernah mengabadikan kemisteriusannya. Hal itu berkenaan dengan keberadaan satu-satunya benteng Mortello di Indonesia yang wujud fisiknya masih utuh. Benteng peninggalan pemerintah kolonial Belanda ini dibangun untuk menghadapi serangan Portugis ke Batavia pada abad ke-17. Tahun lalu, tempat ini sempat heboh setelah dipakai sebagai tempat resepsi pernikahan pemain film Rio Dewanto dengan Atiqah Hasiholan.

Ukurannya yang cukup 'mini' dengan luas kurang dari dua hektar membuatnya dijuluki Pulau Kelor. Pada zaman pemerintah kolonial Belanda, pulau ini disebut Pulau Kherkof atau Pulau Kuburan karena digunakan untuk memakamkan para tahanan politik dan pemberontak yang melawan kekuasaan Belanda. Beberapa di antaranya adalah pemberontak di atas kapal Zeven Provincien (Kapal Tujuh) yang terjadi pada Februari 1933, korban tembak mati, dan kuburan bagi warga pribumi yang meninggal karena sakit.

Saat berkeliling di areal pulau, saya sama sekali tak menemukan bekas-bekas makam atau nisan yang menunjukkan bahwa di tempat ini pernah dijadikan areal pekuburan Belanda. Teman saya, Bekti, dari KHI bilang, "Di pulau ini sebenarnya kalau kita gali, penuh dengan harta karun." Katanya dengan penuh keyakinan. Dalam benak saya, yang dimaksud dengan harta karun adalah benda-benda semacam emas, perak, atau perhiasan dan benda-benda peninggalan zaman dahulu. Tapi, melihat muka sumringah saya, dia melanjutkan, "Kalau kita gali pulau ini, kita akan menemukan banyak sekali tengkorak dan rangka manusia sisa-sisa kuburan Belanda." Deg. Saya pun segera melipir menuju benteng, meninggalkan Bekti yang sedang nyengir kuda sembari berpikir alasan apa yang membuat Rio Dewanto memutuskan untuk menikah di 'kuburan'.

Hal lain yang membuat saya penasaran selain keberadaan benteng dan makam adalah adanya beberapa kucing liar yang mendiami pulau ini. Tak jelas dari mana datangnya, adanya kucing-kucing tersebut juga menimbulkan spekulasi tentang asal-usulnya. Ada yang bilang kucing-kucing tersebut sudah ada sejak dulu dan beranak-pinak hingga sekarang. Ada lagi yang bilang kalau kucing itu kucing-kucing buangan yang sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya di pulau ini supaya tidak bisa kembali. Versi paling ekstrim (dan sesat karena bikin merinding), kucing-kucing itu adalah kucing jadi-jadian dari orang-orang pribumi zaman dulu yang masih setia ditugaskan menjadi penunggu pulau dan akan berubah menjadi manusia, tepat saat tengah malam tiba. Widih, coba ada cerita seperti ini beneran, pasti ada produser-produser kita yang mau memproduksi filmnya.

.: [Reruntuhan] Bekas Barak Karantina Haji Tahun 1911 :. 
2. Melipir ke Pulau Cipir

Pulau Cipir memang tak sengetop pulau lain yang termasuk dalam gugusan pulau bersejarah yang menjadi basis pertahanan kompeni Belanda di Kepulauan Seribu, Jakarta. Namanya seakan tenggelam dalam nama besar yang disandang oleh pulau yang menjadi 'kembaran'nya, Unrust. Ya, Pulau Cipir dari kejauhan memang tampak seperti saudara kembar dari Pulau Unrust: sepi, penuh pepohonan lebat yang meneduhkan, dan sesak oleh puing-puing bangunan tua yang dilupakan oleh zaman.

Kunjungan wisatawan ke pulau ini pun seringnya hanya selintas sambil lalu saja. Tak banyak orang yang merasa perlu untuk berlama-lama tinggal. Tak banyak pula yang mencatat dengan detil kunjungannya ke pulau ini. Padahal, Pulau Cipir tak kalah berperannya menjadi basis pertama wilayah kompeni Belanda dalam menguasai nusantara.

Dari papan-papan kecil penunjuk bangunan, saya ketahui bahwa Pulau Cipir digunakan sebagai barak karantina haji pada tahun 1911 hingga 1933. Tak seperti di Pulau Unrust yang bekas-bekas bangunannya kebanyakan tinggal pondasi, bangunan barak karantina haji di Pulau Cipir masih dapat diidentifikasi bentuk dan fungsinya seperti ruang pasien, barak, dan rumah sakit karena tembok-temboknya masih berdiri kokoh meski sudah tak beratap.

Menjadi penyokong eksistensi Pulau Unrust sebagai pusat kendali pertahanan Belanda, Pulau Cipir juga kebagian beban sebagai 'gudang' untuk menyimpan barang muatan kapal yang sedang diperbaiki di Pulau Unrust. Maka, tak heran jika dulunya pulau ini penuh dengan meriam-meriam kuno. Namun demikian, ada penjualan meriam-meriam tersebut pada sekitar tahun 1960-an ke toko-toko barang antik dan pedagang besi tua, beberapa bangkai meriam tersebutlah yang masih tersisa dan seolah cukup sebagai penanda dari kejumawaan di masa lalu.

Pulau Cipir memang tak bisa berdiri secara merdeka dalam ranah sejarah bangsa. Orang selalu menempatkannya dalam 'kelas kedua' tertutup oleh bayang-bayang nama besar Pulau Unrust. Pulau Cipir seolah hanya menjadi bagian dari ekspansi kemajuan dan kehirukpikukan yang berlangsung di pulau Unrust. Sebagai bukti dari ekspansi tersebut adalah keberadaan sebuah jembatan beton yang pernah dibangun untuk memudahkan hubungan dan lalu lintas antarkedua pulau. Dulu, jembatan tersebut sangat penting perannya sebagai pendukung kelancaran lalu lintas bongkar muat barang dan pemindahan para jemaah haji yang sedang dikarantina. Saat ini, yang masih dapat dilihat hanyalah pondasinya saja.

.: [Tempat Tetirah] Makam Maria van Velde di Pulau Unrust :.
3. Istirahat di Pulau yang Tak Pernah Beristirahat

Dari gugusan pulau yang menjadi basis pertama pertahanan Belanda di nusantara, Pulau Unrust adalah primadonanya.

Sebelum populer dengan nama Unrust, awalnya pulau ini hanyalah pulau biasa yang menjadi tempat pelesir dan peristirahatan bagi raja-raja Banten. Saat Belanda mendapat lampu hijau dari Pangeran Jayakarta pada tahun 1610 untuk mendiami pulau ini, pada tahun 1613, Belanda mulai membuat galangan kapal dan mengambil kayu untuk pembuatan kapal-kapalnya di pulau ini. Selain itu, Pulau Unrust juga digunakan sebagai tempat perbaikan bagi kapal-kapal dagang yang sedang melakukan ekspedisi jelajah samudera. Beberapa nama yang populer dalam buku pelajaran geografi di sekolah kita seperti Albert Tasman (penemu Pulau Tasmania) dan James Cook (penemu benua Australia dengan kapalnya yang terkenal yaitu Endeavor) pernah mampir di pulau ini untuk memperbaiki kapalnya.

Pada saat itu, Unrust seolah menjadi sorotan dunia sebagai tempat bengkel kapal dengan fasilitas dan pelayanan terbaik di dunia.Oleh karenanya, pulau ini selalu ramai dan sibuk terus siang dan malam layaknya Jakarta saat ini sehingga orang-orang Belanda menyebutnya dengan Unrust (bahasa Inggrisnya Unrest), pulau yang tak pernah beristirahat. Selain itu, banyaknya kapal-kapal besar yang lalu-lalang dari dan ke pulau ini membuatnya mendapat julukan sebagai Pulau Kapal.

Tak ada yang pernah menyangka bahwa dari pulau kecil ini kompeni Belanda mampu menggalang kekuatan dan menguasai Batavia pada tahun 1619. Dari Pulau Unrust pula, Belanda melalui VOCnya menguasai perdagangan rempah-rempah mulai dari Tanjung Harapan di Afrika Selatan hingga Pulau Deshima (Hirado) di dekat Nagasaki, Jepang. Bahkan, ekspansinya meliputi Tanjung Horn yang ada di Selat Magelhaen, Amerika Selatan.

.: Rumah Dokter yang Dijadikan Museum di Pulau Unrust :.
 Saat bertandang ke Pulau Unrust, saya perhatikan ada satu bangunan masih utuh yang dulunya merupakan rumah dokter dan sekarang digunakan sebagai museum. Seperti halnya nasib museum-museum di Indonesia, museum ini juga kelihatan kurang terawat dan sepi pengunjung. Tapi, dari museum ini saya jadi tahu tentang maket Pulau Unrust di masa lalu. Meningkatnya ancaman serangan dari kerajaan Banten dan pasukan Inggris memaksa Belanda membuat benteng pertahanan di Pulau Unrust. Awalnya, Belanda membangun benteng berbentuk segiempat dengan dua bastion (bangunan yang menjorok ke luar dan berfungsi sebagai pos pengintai) pada tahun 1656. Benteng tersebut pada tahun 1671 diperluas menjadi berbentuk segilima tidak simetris seperti yang ada dalam maket dengan bastion pada tiap sudutnya. Baru pada tahun 1674, Belanda membangun gudang-gudang untuk menyimpan besi dan tempat bongkar muat barang-barang serta membangun dok tancap untuk keperluan galangan kapal.

Satu hal lain yang membuat saya penasaran untuk berkunjung ke Pulau Unrust adalah keberadaan nisan Maria van de Velde. Maria yang cantik konon mati muda karena menahan siksaan asmara, menunggu kekasihnya yang pergi dan tak kunjung kembali. Menurut cerita yang beredar dari kuncen Pulau Unrust, sosok Maria kerap muncul sedang duduk-duduk manis di atas nisannya atau sedang jalan-jalan di pantai sebelah timur dengan gaun merah, khas noni Belanda. Kalau Anda sedang bertandang kemari dan mendapati ada lima pohon meranggas, sementara pepohonan di sekelilingnya tampak ijo royo-royo, di situlah tepatnya noni cantik ini sering 'menyapa' penggemarnya. Tapi ingat, jangan pernah menjahilinya kalau tidak ingin dijahili balik. Cewek patah hati itu katanya kalau marah sangat menyeramkan. Apalagi kalau ceweknya memang tidak menginjak tanah.

.: [Gudang Mesiu] Benteng Mortello di Pulau Bidadari :.
4. Galau di Pulau

Kunjungan ke Pulau Bidadari sebenarnya hanya sebuah bonus saja. Maklum, pulau ini sudah dijadikan resort sehingga untuk masuk ke dalamnya harus dipungut biaya tambahan. Sebenarnya, saya lebih tertarik dengan wisata sejarahnya daripada menikmati pantainya.

Pada abad ke-17, orang-orang Belanda menyebut pulau ini sebagai pulau Purmerend. Nama yang diadopsi dari salah satu kota di Belanda bagian utara. Jauh dari kampung halamannya yang berada di belahan bumi lainnya membuat pemerintah kolonial Belanda gemar menamai tempat-tempat di Batavia demi mengobati kerinduan dengan daerah asal. Bahkan, nama Batavia sendiri disematkan oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen setahun setelah pendudukan VOC di Jayakarta.

Pulau Bidadari juga pernah dijuluki sebagai Pulau Sakit (Sick Island) karena pernah menjadi tempat karantina bagi penderita penyakit kusta pada abad 17. Sedangkan nama Bidadari sendiri diberikan untuk pulau ini sebagai bentuk penghormatan bahwa pulau ini pernah dihuni oleh penderita kusta (leprosarium). Pulau Bidadari juga dikenal sebagai habitat alami bagi biawak.

Merapat di dermaganya, kita akan disambut dengan beberapa meriam peninggalan Belanda pada abad 18. Karena berangkatnya naik perahu nelayan dari Muara Kamal, saya mendarat di pulau ini dari dermaga sebelah barat. Karena lapar dan lupa bawa bekal, sebelum keliling-keliling, saya melipir di warung-warung kecil di dekat lapangan voli untuk membeli pisang goreng dulu sebagai pengganjal perut setelah membayar permit untuk ijin masuk pulau ini. Setelah kenyang dan punya banyak tenaga, saya menuju ke hutan-hutan kecil di tengah pulau. Highlight dari pulau ini sebenarnya adalah keberadaan benteng Martello.

.: Tak ada gunanya menggalau, saatnya leyeh-leyeh :.
Benteng ini merupakan salah satu benteng pertahanan Belanda yang dibangun tahun 1850 selain yang ada di Pulau Kherkof dan Pulau Unrust. Karena terbuat dari batu bata, benteng ini hanya mampu beroperasi sampai dengan tahun 1878 dan setelahnya hanya digunakan sebagai gudang mesiu. Keberadaannya mulai rusak berat setelah terjadi gempa dan tsunami akibat meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883 dan tidak digunakan lagi sejak tahun 1908 selain sebagai tempat untuk penelitian sejarah dan foto-foto prapernikahan. Meski keberadaannya sudah tak utuh lagi, benteng ini merupakan salah dua benteng Mortello di Indonesia yang masih dapat diidentifikasi selain yang ada di Pulau Kherkof. Bahkan, benteng serupa di Pulau Unrust pun sudah tidak terlihat bekasnya.

Sebenarnya saya tidak tertarik untuk main air lautnya. Tapi, cuaca panas dan hawa air garam memaksa saya untuk nyebur. Air laut di sini memang tidak biru bening seperti misalnya di Pulau Tidung, tapi cukup jernih untuk dipakai berenang. Mungkin air laut di pantainya sebelah timur dan utara pulaulah yang lebih layak dijamah karena tak terlalu 'lengket' tercampur oli dari Jakarta. Tapi, saya perhatikan beberapa bule dan anak-anaknya cuek saja mandi di pantai sebelah selatan. Mungkin memang seperti itulah yang namanya liburan: menikmati tempat apa adanya karena pada dasarnya setiap tempat punya keunikan sendiri-sendiri.

Seperti perjalanan saya kali ini. Destinasi yang tak begitu populer dan tak banyak dijadikan wish list tujuan pejalan, ternyata malah mengajarkan saya banyak hal, termasuk di dalamnya sejarah perjalanan bangsa. 'Keunikan' gugusan pulau yang tak jauh dari Teluk Jakarta ini seakan mengantarkan saya pada lamunan akan titik 0 imperium kolonial di nusantara sebagaimana dilantunkan dalam catatan-catatan penjelajah samudera. Menimbang itu semua, saya kira perjalanan seharian kali ini sangat layak untuk dilakukan, apalagi ditutup manis dengan kehadiran sunset dari dermaga pulau Bidadari. Sesuatu yang menguatkan alasan mengapa Jakarta sangat menyenangkan untuk 'dinikmati'. []

30 komentar:

  1. Ngapain itu foto yang terakhir posenya kayak ikan duyung kepanasan yang terdampar di pulau tak berpenghuni? :D

    Ah, jadi penasaran ini pingin berkunjung ke kepulauan seribu. Masak KTP DKI Jakarta tapi belum pernah maen ke pulau. Payahnya diriku...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emang pulau-pulau ini jarang banget dikunjungi turis kecuali ada acara tertentu dengan peserta 'minat khusus' macam yang suka sejarah gitu. Jadi, kalau males sewa kapal sendiri, cari aja info trip dari komunitas-komunitas seperti KHI atau Sahabat Museum gitu deh. Mereka suka ngadakan trip ke sini.

      Soal foto pangeran duyung ganteng, katanya workshop yang aku ikuti minggu lalu, postingan yang bagus itu salah satunya karena ada foto bagus yang 'bercerita'. Foto itu bercerita banget kalau lautnya cemplungable dan pantainya bisa buat leyeh-leyeh :D *dikeplak mentornya*

      Hapus
  2. Fotomu di pantai dengna pose itu mengingatkan kepada si mas cumi deh... *salah fokus*

    Haha, eh pengen juga nih ngetrip sejarah pulau seribu. Ada EO trip yang di rekomendasikan gak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahahaha beda pose bos, si Cumi sukanya telentang dengan pose menantang hahaha :)

      Kalau ke pulau-pulau ini saja sebaiknya sendiri bareng teman-teman bisa kok sewa perahu dari Muara Kamal. Tapi kalau mau barengan ada guide yang tau sejarah, ikut tripnya KHI atau Sahabat Museum. Biasanya mereka bikin trip ke sini sekitar bulan Mei :)

      Hapus
    2. Hadeh pasti lebih sekseh gw dong, lebih berisi dan montok hahaha. Oh di bidadari ada benteng juga, gw pikir itu di kelor lho ;-(

      Hapus
    3. Soal keseksian, saya nyerah deh kalau dibandingin ama Cumi hahaha, secara Cumilebay sudah cetar membahenol ke mana-mana hahaha :)

      Iya, benteng Mortello di Pulau Bidadari letaknya ada di tengah pulau, ketutup sama hutan lebat. Coba aja susuri pantai timurnya, dan ikuti papan petunjuk arah yang ada di situ, nanti ketemu deh bentengnya :)

      Hapus
  3. Balasan
    1. Iya mas, apalagi kalau dirawat, wah bisa lebih bagus lagi ini :)

      Hapus
  4. Sungguh petualang sejati. Kulitnya kini jadi item. Sepertinya tempat-tempat tertentu di Nganjuk juga layak ditulis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, kulit item akan kembali seperti semula dalam beberapa hari. Tempat-tempat di Nganjuk juga udah ditulis kok, cari-cari aja di postingan sebelumnya hehehe. Keep on blogging Pak :)

      Hapus
  5. Baru tau kalo kita bisa wisata sejarah di kepulauan seribu, biasanya escape ke sekitaran pulau pramuka untuk diving atau free diving :)
    Perlu dicoba nih eksplor sisi lain kepulauan seribu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, destinasi ini mungkin cocok dikategorikan sebagai wisata minat khusus (sejarah). Yang dateng ke sini biasanya suka main ke museum gitu sih hahaha :D

      Hapus
  6. menarik nih, sisi lain Kep.Seribu yang banyak orang gak tau.. Gue juga belum pernah ke pulau2 ini.. hiks..

    BalasHapus
  7. Jarang-jarang nih ada yg bahas Kepulauan Seribu tapi fokus pada sejarahnya. Good point of view, bro. Gue aja belum pernah ke sana sama sekali *shame shame shame*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, makanya kalau ke Kepulauan Seribu jangan ke Pulau Tidung aja dong. Banyak kok pulau-pulau yang menarik untuk dikunjungi :)

      Hapus
  8. itu benteng yg di pulau bidadari sekilas mirip di pulau kelor sempet salah sangka juga :( waktu itu ikut trip khi mas?

    BalasHapus
  9. hallo salam kenal...
    baru juga tau kalo benteng itu letaknya di pulau bidadari, nice info...

    regards
    http://travellingaddict.blogspot.com/

    BalasHapus
  10. mas. titik nol Jakarta di mercusuar Museum Bahari kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dulunya iya, tapi sekarang udah pindah ke Monas. Aku pernah nulis di sini -> http://adiedoes.blogspot.com/2013/06/menikmati-jakarta-dari-ketinggian.html

      Hapus
  11. Aku pengen kesana tapi entah kenapa sesampainya jakarta kok selalu berubah arah, kebiasaan kalau jalan suka semau2nya jadi suka belok sendiri dari rencana.. bisa nginep disana gak sih, kayaknya asyik tuh kalo nenda disana

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo mau nenda biasanya di Pulau Unrust, tapi kalau malam agak serem. Ada kuburan belandanya di pojokan pulau. Tapi kalau mau main-main sambil leyeh-leyeh aja, bisa nginep di cottage di Pulau Bidadari. Hahaha, lebih enak jalan-jalan yang semau-maunya gitu sih mas sebenernya :)

      Hapus
  12. Pulau-pulaunya keren dan benteng-bentengnya masih lumayan terawat... kayaknya kalau ke jakarta lagi harus coba bermain ke kepulauan seribu...

    BalasHapus
  13. wuih review perjalanannya sangat detail dan lengkap, yang luar biasa adalah saat melintasi titik nol nusantara, bisa punya koleksi foto yang jadi istimewa tuh.

    salam sehat dan ceria selalu, mohon maaf lahir dan batin...tak lupa juga salamkenal...blog nubi sayah teh gan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan titik nol nusantara, tapi titik nol imperium kolonial di Nusantara.

      Sama-sama mas, maaf lahir batin juga. Terima kasih apresiasinya. Salam :)

      Hapus