Kamis, 01 Mei 2014

Pusaran Mangkunegaran

.: Sugeng Rawuh wonten Pura Mangkunegeran, Surakarta :.

Kota Surakarta yang kalem mengoleksi dua keraton megah yang mampu mengawetkan sejarah. Keduanya dibelenggu dengan kaku oleh dinding-dinding tinggi baluwarti sebagai pertahanan terhadap musuh. Keraton Kasunanan Surakarta sebagai keraton yang lebih sepuh hampir selalu menjadi rujukan banyak pejalan saat bertandang ke kota ini. Orang sering menyebutnya dengan keraton Solo.

Sedangkan Pura Mangkunegaran sebagai keraton yang berusia lebih muda sekaligus 'rival' yang berdiri sendiri, seringkali dilewatkan begitu saja. Jika diperhatikan, fasad bangunannya memang terbilang sangat sederhana untuk ukuran sebuah istana kerajaan. Tak ada alun-alun dan beringin kembar layaknya pakem sebuah keraton di tlatah Mataraman.

Berbekal sekelumit memori pelajaran sejarah yang didongengkan di sekolah, dengan ditemani seorang abdi dalem sebagai pemandu, saya bertamu di keraton ini saat hari sudah tidak terlalu terik. Jika boleh disebut beruntung, untuk kesekian kalinya saya mendapatkan ekslusivitas sebuah kunjungan di kediaman seorang petinggi negara atau kerajaan.

.: Pamedan :.
Begitu melihat bangunannya, pikiran saya seperti diajak berkelana, menyelami kembali tentang drama panjang heroisme perjuangan Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa. Beliau memiliki pendirian kuat dan merasa mandiri untuk berdiri di luar baluwarti Kasunanan Surakarta, mempertanyakan eksistensi Susuhunan Pakubuwono II yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah VOC.

Buah perjuangannya mulai diakui saat Perjanjian Salatiga tahun 1757 disepakati. Perjanjian tersebut juga merupakan bukti produk istimewa praktek devide et impera atas dinasti Mataram dari pemerintah kolonial Belanda melalui VOC-nya, yang memecah Surakarta menjadi dua daerah pemerintahan yaitu Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran.

.: Kavaleri - Artileri :.
Pura Mangkunegaran membagi ruang istananya dalam beberapa bagian yakni pamedan, pendopo ageng, pringgitan, ndalem ageng, dan kaputren. Tak bisa disebut alun-alun, pamedan terbentang luas sebagai medan tempat berlatih pasukan Mangkunegaran. Tanah lapang yang dihuni ilalang ini diawasi secara ketat oleh bangunan tua bekas gedung kavaleri yang dahulu berfungsi untuk menaungi para pasukan berkuda.

Namun, saya justru mengingat bangunan ini karena dipakai sebagai latar dalam pagelaran Solo International Performing Art (SIPA) dari tahun 2010 sampai dengan 2012 dan Solo International Etnic Music (SIEM) dengan sorotan tata lampu yang spektakuler.

Meski menurut saya cukup istimewa, kompleks istana ini dari luar kelihatan  seperti membutuhkan sedikit sentuhan perawatan ekstra untuk membuatnya menjadi lebih memesona. Saya mengintip bagian dalam dengan perasaan deg-degan bercampur semangat yang menggelora. Namun demikian, sebagai seorang jelata yang kerap menyambangi istana raja, saya sangat mahfum jika gerbang utama hanya terbuka untuk raja dan para tamu agung. Untuk itu, demi memasuki kawasan Pendopo Agung, saya dipersilakan melewati pintu samping.

.: Bergaya dulu, mumpung boleh parkir di halaman istana :.

Setelah memarkir mobil di depan Bale Warni yaitu kediaman para putri keraton, saya dibuat takjub dengan suguhan Pendopo Agung yang gambarnya biasa menghiasi kalender gratisan dari toko emas yang sering dipajang di warung-warung makan.

.: Pendopo Ageng :.

Pendopo beratap joglo ini disebut-sebut sebagai pendapa terbesar di Indonesia, yang konon, mampu menampung sekitar 10.000 orang. Prakarsa Mangkunegara IV dalam menggelontorkan dana kolosal pasokan dari keuntungan pabrik gulanya menjadikan istana mini ini kian megah. Konstruksi tiang-tiang kayu penyangga joglo yang diambil dari hutan Danalaya di perbukitan Wonogiri mengingatkan saya pada jalinan kayu ulin yang membentuk perahu phinisi. Keduanya sama-sama berjalin tanpa menggunakan paku.

.: Koleksi Patung Emas, Pura Mangkunegaran :.
Di langit-langitnya tergantung lampu serupa kandelar dan di lantainya yang dilapisi marmer tertata rapi beberapa set gamelan pusaka, termasuk gamelan Kyai Kanyut Mesem yang merupakan salah satu set gamelan terbaik di Indonesia.

Di Pendopo Agung ini sering diadakan acara-acara resmi keraton seperti penobatan raja dan acara jamuan resmi kerajaan. Di waktu-waktu tertentu, pendopo ini juga secara rutin menjadi tempat berlangsungnya acara Mangkunegaran Performing Art, sebuah acara pertunjukan seni tari tradisional maupun pengembangannya karya Trah Mangkunegaran.

Namun demikian, setelah saya perhatikan, Pendopo Pura Mangkunegaran ini meski masih kental nuansa Jawanya tapi seperti berusaha mendobrak pakem istana Jawa yang dianggap kaku dengan mengadopsi gaya Eropa secara vulgar. Alih-alih memasang dua arca gupala sebagai penjaga, beberapa patung singa emas terlihat anggun menyambut para tamu.

Yang membuat geli, keberingasan keraton ini seperti 'diredam' dengan kehadiran ornamen bayi malaikat bersayap yang menghiasi teras depan dan kolam air mancur. Saya tak tahu pasti. Mungkin, selain mengedepankan inovasi dan terbuka pada ide-ide baru, para raja di keraton ini seperti menyukai simbol-simbol. Warna kuning dan hijau (padi muda) dipilih sebagai warna khas keluarga Mangkunegaran dan dijadikan sebagai lambang keluarga. Hampir semua bagian dalam keraton didominasi oleh kombinasi dwiwarna tersebut.

.: Cupid-Cupid yang Imut :.

Tak mau kalah berinovasi dengan Mangkunegara IV, Pendopo Agung diberi sentuhan lukisan Kumudawati pada masa pemerintahan Mangkunegara VII yang menghadirkan celupan 8 macam warna dengan 12 simbol zodiak Jawa.

Delapan warna yang membangun Kumudawati diinterpretasikan sebagai lotus berkelopak 8 yang menghiasi dinding Borobudur dan menyematkan pesan ajaran dharma bahwa manusia hendaknya berpacu mengejar kebahagiaan tertinggi melalui jalan spiritual dengan berusaha melepaskan diri dari nafsu duniawi.

Warna kuning melambangkan kesiagaan. Biru berarti mencegah bencana. Hitam berarti meredam kemarahan. Hijau memberi kesan teduh melawan kepenatan hidup. Putih melambangkan pesan untuk mengekang hawa nafsu. Oranye berarti menghadirkan keberanian melawan rasa takut. Merah melambangkan keberanian melawan kejahatan. Dan, ungu mengisyaratkan untuk senantiasa kuat menahan segala bentuk pikiran jahat.

.: Foto Keluarga Keraton Mangkunegaran :.
Mengarah ke dalam, di belakang pendopo terdapat beranda terbuka bernama Pringgitan. Sebuah tangga mengantarkan saya ke dalam nDalem Ageng, tempat koleksi keraton disimpan  dan dijaga dengan penuh wibawa: perangkat perhiasan, senjata, uang logam, medali, gambar-gambar Raja Mangkunegara, dan benda-benda seni lainnya. Dan, di belakang nDalem Ageng inilah keluarga inti Pura Mangkunegaran tinggal.

Di sebuah beranda dekat nDalem Ageng, dipajang beberapa koleksi keraton berupa berbagai macam topeng, patung, lukisan, dan beberapa foto keluarga. Saya mendapati sebuah frame foto di mana ada Presiden Soekarno dan Ibu Fatmawati. Di sebelahnya ternyata ada juga foto-foto mas Paundra dan mbak Menur, dua anggota keluarga Pura Mangkunegaran yang saya tahu sering ada di layar televisi karena berkecimpung di dunia seni. Pantas saja, begitu saya memberitahukan kepada teman-teman bahwa sedang ada di dalam Pura Mangkunegaran, beberapa teman perempuan langsung membalas dengan menitipkan salam kepada mas Paundra. Tapi sayang sekali saya tidak melihat mas Paundra ada di dalam istana. Saya hanya melihat mbak Menur saja, sedang duduk-duduk santai bersama para keponakannya yang masih kecil dan beberapa kerabat istana.

.: Beranda nDalem :.

Memang, kompleks Pura Mangkunegaran ini terlihat kecil. Tapi, jika ditilik sejarahnya, sejak ditandatanganinya Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757, kawasan sekeliling baluwarti merupakan episentrum segala pemerintahan yang menaungi wilayah timur dan selatan, sisa wilayah Mataram sebelah timur yang mencakup bagian utara kota Surakarta (kecamatan Banjarsari), seluruh wilayah Kabupaten Karanganyar, seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri, dan sebagian dari wilayah Kecamatan Ngawen dan Semin di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.

Namun demikian, yang saya baru tahu, meski menyandang status otonom yang sama dengan tiga keraton pecahan Mataram lainnya (Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Pura Pakualaman), Pura Mangkunegaran hanya merupakan sebuah kadipaten yang posisinya lebih rendah daripada kasunanan. Rajanya tidak berhak menyandang gelar Sunan ataupun Sultan, tetapi berhak menyandang gelar adipati yang secara formal disebut Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Senopati Ing Ayudha Sudibyaningprang.    

.: Gusti Pangeran Adipati Arya Adie Riyanto :.

Perbedaan tersebut juga tercermin dalam tradisi-tradisi yang berlaku di lingkungan keraton hingga kini, seperti jumlah penari bedaya yang hanya tujuh orang dan bukan sembilan sebagaimana dilakukan di dalam keraton Kasunanan Surakarta. Raja-raja Mangkunegaran juga tidak dimakamkan di Astana Imogiri sebagaimana dinasti Mataram, melainkan di Astana Mangadeg dan Astana Girilayu yang bersemayam di lereng gunung Lawu.

Eksistensi Pura Mangkunegaran sebagai kesatuan politik berakhir pada tahun 1946 saat Mangkunegara VIII menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian, kekuasaan penerusnya masih berlanjut hingga kini, yaitu dipimpin oleh Mangkunegara IX (putra kedua dari Mangkunegara VIII) yang sepertinya lebih adem ayem tanpa diliputi berita perebutan kekuasaan oleh ahli warisnya, dengan tetap menjalankan fungsi sebagai penjaga budaya. Hal ini terlihat salah satunya melalui kesediaan membuka diri bagi masyarakat untuk ikut berperan serta dalam setiap kegiatan budaya dan membuka kelas seni tari Jawa. Di Pura Mangkunegaran pula, kepribadian dan jati diri sebagai wong Solo tetap dijaga dalam nilai-nilai yang dari dulu diemban. Tradisi yang berakar dari nilai-nilai luhur sehingga membawa masyarakatnya berani menahbiskan diri mewarisi semangat Jawa.

6 komentar:

  1. Saya ingat tahun 208 pernah kemari untuk menghadiri pagelaran seni. Kalau menurut saya pribadi memang di pura Mangkunegaran ini kental dengan nuansa Eropa. Malah kesan bangunan Jawanya hilang. Cukup aneh ya, mengingat Raden Mas Said sendiri kan ingin lepas dari Belanda. Mungkin beliau memang hanya ingin lepas tidak dijajah tapi tetap cinta budaya Eropa ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waktu pemerintahan Raden Mas Said, bangunannya belum seperti ini. Seperti dijelaskan di atas, pengaruh Eropa baru ada saat Mangkunegara IV berkuasa :)

      Hapus
  2. Gusti pangeran nya lagi woles2 mau nyapu keraton yaaa zizizii.
    Btw gw ngak perna tertarik buat berkunjung ke tempat2 macam begini hehehe, maafkan daku yg selalu melupakan sejarah coz aku udah move on dengan cepat haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha mas Cumi senengnya liburan ke pantai sih ya, jadi gak suka jas merah, sukanya woles pakai kolor merah yang ngejreng hehehe :D

      Hapus
  3. Arsitekturnya kayak eropa ya, tapi pas masuk pelataran rada horor gitu, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Arsitekturnya Jawa-Eropa, enggak horor kok, justru kesan modern yang terasa. Menurut saya ini keraton dari trah Mataraman yang paling terawat :)

      Hapus