Jumat, 05 Oktober 2012

Ngopi-Ngopi di Solong

.: Kedai Kopi Solong, Ulee Kareng, buka sejak 1974 :.
Itulah yang saya lakukan begitu menjejak Banda Aceh lagi setelah dua hari sebelumnya kelayaban di Pulau Weh. Duh, rasanya kepala belum 'penuh' dan perlu mendapat suntikan kafein biar bisa berfikir agak lurus setelah diombang-ambing ombak dengan perut kosong pagi tadi. Ini memang bukan cangkir pertama yang saya tenggak berisi cairan bubuk hitam yang harumnya bisa bikin mata melek semalaman. Tapi konon, belum lengkap pergi ke Aceh tanpa mencecap kopi Solong dari cangkir warungnya langsung.

Papan nama di depan menunjukkan bahwa kedai kopi ini bernama Warung Kopi (Warkop) Solong. Tapi begitu saya blusak-blusuk ke dapur, ada tulisan Warung Kopi "Jasa Ayah", nama asli dari warung kopi ini. Saat Aceh dilanda konflik dulu, warung kopi ini seolah mengemban misi perdamaian sehingga jargon "di luar warung silakan bertindak, tapi di dalam warung kopi Solong, semua mesti gencatan senjata" populer di antara para pelanggan.

Menempati bangunan berlantai dua, warung kopi Solong seolah tak pernah sepi pengunjung. Orang Aceh sendiri memang hobi minum kopi. Pagi, siang, sore, dan malam, cairan kafein selalu tersaji sebagai pelengkap sebuah percakapan. Sedangkan para pendatang, terutama wisatawan, mampir ke warung ini lebih sekedar membayar sebuah kewajiban untuk menjadi bukti pernah datang ke tempat ini dan sudah mengakrabi aroma kopinya.

menu sarapan kesiangan: kopi dan nagasari
Namun demikian, sang pemilik warung, Haji Asnawi (Cek Nawi) membuka lebar-lebar pintu warungnya untuk siapa saja. Semua orang punya motif sendiri-sendiri untuk datang ke warungnya. Meski dibedakan dengan persoalan masing-masing, mereka punya satu tujuan pergi ke warung ini: minum kopi.

Saya memilih duduk di bangku belakang warung karena di sinilah suasananya yang lebih santai. Orang bebas ngebul, tertawa, dan bicara agak keras. Saya masih setia pada mahzab ndeso yang saya pegang dari dulu bahwa yang namanya minum kopi itu ya kopi hitam tanpa campuran apa-apa. Makanya, saya tak memilih sanger: paduan kopi, susu, dan gula yang bisa dijadikan pilihan bagi mereka yang tak suka dengan kopi pahit. Ada juga teh tarik. Tapi, masa sudah jauh-jauh datang ke warung kopi ini tapi pesannya cuma teh sih? Apalagi pesen es teh. Menurut lo?

Sembari menunggu pesanan datang, kita bisa ngemil-ngemil dulu beberapa penganan yang dihidangkan di meja seperti pulut asokaya (ketan srikaya), nagasari, roti jala isi fla, payeh (lemang bakar), dan bahromrom (klepon). Saya sendiri lebih tertarik dengan atraksi barista dalam menghidangkan kopi makanya saya melipir mengikuti langkah mas-mas pramusaji. Kalau boleh jujur, di sudut inilah sebenarnya daya tarik warung kopi ini: suara air mendidih, gemericik air rebusan kopi dari saringan pernikel, harum kopi yang menguar, dan atraksi dari sang barista.

atraksi barista menyajikan secangkir kopi
Tak seperti barista-barista kafe di Jakarta, barista di warung kopi Solong memang jauh dari kesan 'rapi'. Tapi, di balik penampilannya yang sederhana itulah justru yang membuat warung kopi ini jadi kondang hingga ke luar negeri. Pasalnya, tiap ada liputan tentang warung kopi Solong, pasti yang selalu diambil gambarnya adalah tingkah baristanya dalam menyajikan kopi dari saringan yang mirip kaos kaki ini.

Pesan moral: kalau mau terkenal, tak perlulah kalian ikutan kontes dangdut dengan suara melengking dan perut yang meliuk-liuk, cukup jadi barista warung kopi ini saja. Ditanggung halal dan barakah rejekinya. :P

Meski kelihatannya mudah, ternyata untuk bisa tampil di meja saji ini, seorang barista harus menjalani latihan intensif selama enam bulan. Lama banget sih. Tapi, hal itu wajar karena dalam sehari, paling tidak ada 10 kg kopi yang terjual. Kalau dihitung, berapa banyak cangkir kopi yang bisa disajikan dalam sehari? Ah, saya jadi pusing sendiri. Mending saya segera duduk dan ngopi.

Kopi Solong memang punya daya tarik tersendiri. Orang rela sambang tiap hari hanya untuk mencecap harum secangkirnya. Kata Cek Nawi, kopi Solong bisa dianggap sebagai kopi pilihan karena dari biji kopi terbaiklah yang dijual di sini.

"Dari dulu kami percaya bahwa kopi dari daerah Lammo dan Geumpang yang punya rasa lebih nikmat, bukan kopi dari Gayo seperti yang banyak orang kenal." tambahnya.

Kopi-kopi tersebut lalu disortir dan diberi bumbu-bumbu seperti telur, mentega, dan gula saat digongseng pada molen penggorengan di atas bara api. Saya tak sabar untuk membuktikan omongan orang tentang kenikmatan kopi dari warung ini. Satu cangkir tersaji, hitam pekat. Tak lupa saya hirup dulu aromanya yang menguar. Kopi memang nikmat dicecap saat masih panas. Kalau sudah dingin, tekstur minuman ini kelihatan seperti sudah layu. Dan benar kata orang, kopi Solong memang lain nikmatnya, walaupun tak setinggi ekspektasi saya tentang rasanya. Saya pikir itu hanyalah masalah selera. Kopi ini sendiri sudah membuktikan keistimewaannya: membantu saya kembali agak berpikir lurus setelah sebelumnya miring melulu.  

'obat' greng: kopi dan puding telur
Sembari minum kopi, saya melihat orang di seberang meja saya memesan semacam telur setengah matang. Saya pun memanggil pramusaji untuk membawakan satu. Hitung-hitung untuk menambah tenaga setelah tiga hari gempor wara-wiri di Aceh.

"Silakan pudingnya." kata pramusaji sambil menyodorkan gelas kecil berisi telur setengah matang.

"Maaf, saya tidak pesan puding." jawab saya.

Tiba-tiba teman saya bilang, "Kalau di Aceh makanan kayak gini disebutnya puding. Tampilannya kan kenyal-kenyal kayak puding."

Ya sutralah, saya gak mau kelihatan melongo mendengarnya. Saya taburi saja dengan sedikit lada, dikocok sebentar, lalu langsung saya tenggak habis. Semoga stamina langsung jos. Hahaha.

self service: ngambil kopi sendiri hehehe ;P
Setelah puas menyeruput kopi, menenggak puding, dan makan beberapa penganan di warung ini, saya pikir perlu untuk membawa oleh-oleh bubuk kopi dari warung ini. Saya pergi ke dapur dan ikut nimbrung dengan pegawai di situ yang sedang menakar bubuk kopi untuk dikemas. Waktu mau ikutan untuk mengemas sendiri kopi yang mau saya beli, mas-masnya bilang, "Kalau mau buat oleh-oleh, langsung saja Bang ke kasir. Sudah ada yang dalam bentuk kemasan sekilo dan setengah kilo."

Enggak sih, saya emang gak mau menambahi takaran timbangan, saya cuma mau foto-foto doang kok. Gara-gara masuk ke dapur ini saya kan akhirnya jadi tahu kalau ternyata bubuk kopi yang habis digiling ini warnanya agak pucat dan teksturnya agak kasar. Tapi, saat dihidangkan di dalam cangkir, tak ada ampas di dasarnya karena sudah disaring.

Saya menuju meja kasir untuk membayar segelas kenikmatan barusan. Cek Nawi sudah siap dengan kalkulator dan plastik bungkusan. Saat menunggu Cek Nawi menyelesaikan hitung-hitungan tagihan, saya iseng-iseng bertanya kenapa nama warungnya Solong.  

tiga membuat damai: simbol perdamaian Solong Coffee
Jadi ceritanya, Solong itu hanyalah nama panggilan dari ayah Cek Nawi saat masih bekerja pada orang Tionghoa di daerah Peunayong--kawasan pecinan yang ada di Banda Aceh.

Pada tahun 1974, Muhammad Solong atau Pak Solong ini mendirikan warung kopi di daerah Ulee Kareng ini dengan nama warung kopi Jasa Ayah. Karena ramai pengunjung, orang banyak yang menyebut warung kopi ini warung kopi Solong, yang maksudnya adalah warung kopinya Pak Solong. Gara-gara lebih sering disebut warung kopi Solong daripada warung kopi Jasa Ayah, lama-kelamaan nama Jasa Ayah sendiri jadi kalah populer dengan nama Solong yang penyebutannya juga lebih singkat.

Tahun 1982, usaha ini diteruskan oleh Cek Nawi, Lem Hasballah, dan Cek Din, tiga anak lelaki dari Pak Solong. Setelah membayar dan mengucap terima kasih, saya pun beranjak meninggalkan warung. Saat melangkah keluar, mata saya menatap logo yang ada di dinding. Saya hanya menerka saja karena lupa menanyakannya, mungkin tiga biji kopi tersebut adalah simbol yang merepresentasikan anak-anak lelaki Pak Solong yang meneruskan usaha warung kopi ini.

Setelah sampai rumah, saya iseng-iseng mencicip kopi Solong yang saya beli. Ternyata rasanya memang beda dengan yang ada di warung. Entah suasananya atau air perebusnya yang membuat beda. Saya kembali menerka, mungkin karena kopi yang terhidang di sini tidak disajikan dengan saringan kaos kaki dan dari cangkir warungnya langsung. Itulah alasan mengapa kalau ingin menikmati citarasa khas kopi Solong mesti datang langsung ke warungnya. Itu sih pendapat saya. Kalau tidak percaya, sila Anda buktikan sendiri. Selamat ngopi-ngopi.

4 komentar:

  1. kopi Aceh emang nikmat, ngopi di warung kopi solong sambil makan roti isi srikaya juga asik looh... selain kopi hitam, saya juga suka es sanger nya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waktu ke Aceh sempat nyobain semuanya. Endeess emang :D

      Hapus