Senin, 12 September 2011

Mencecap Secangkir Kopi

Segelas Kopi Manggar yang Menggoda ;-P
Saya tak tahu sihir apa yang terkandung dalam biji kopi sehingga banyak orang tergila-gila hingga kecanduan meminumnya. Banyak orang datang ke warung kopi yang awalnya (hanya) berniat menyeruput secangkir kopi berakhir menjadi politisi yang mahir berkomentar tentang berbagai persoalan negara. Ramuan biji kopi tersebut seolah menaikkan tensi pemikiran seseorang ke level ahli dalam suatu bidang meski analisis yang mereka lontarkan sebatas kelas warung kopi.

Keasyikan dalam suasana minum kopi di kedai itulah mungkin yang mendorong Howard Schultz memohon-mohon untuk membuat konsep baru seni menjual kopi pada ketiga koleganya, Jerry Baldwin, Zev Siegel, dan Gordon Bowker melalui gerai Starbucks. Namun ide tersebut ditolak mentah-mentah oleh ketiganya. Baru pada tahun 1987, ide menjual kopi di kedai yang ditawarkan oleh Schultz tersebut terwujud. Mungkin, gara-gara kekeraskepalaan Schultz itulah kedai Starbucks menjadi kedai kopi tersukses dan terkenal di seluruh jagat dewasa ini. Saya yakin Schultz memiliki citarasa dan kefanatikan yang kuat dalam meramu biji kopi menjadi minuman yang disukai hampir semua orang. Buktinya, teman saya rela datang jauh-jauh ke salah satu gerai Starbucks yang menawarkan segelas kopi gratis bagi siapa saja yang ikut pemilu tahun 2009 silam.

Berbeda dengan Schultz, nenek dan seorang tetangganya bernama Kidjan (orang-orang biasa menyebutnya dengan Pak Dhe Kidjan) merupakan orang yang mengerti citarasa kopi yang pernah saya kenal. Haram bagi mereka memasak kopi campur jagung atau beras. Dalam hidupnya, tak pernah terlintas nama-nama keren produk minuman kopi yang tersaji di kafe-kafe seperti cappucino, caffee latte, espresso, dan lain-lain. Yang namanya minum kopi adalah kopi yang terbuat dari biji kopi murni. Mereka juga tak suka kopi instan. Menurutnya, orang yang suka minum kopi instan pada dasarnya hanya punya setengah iman terhadap biji kopi. Keadaan ini pernah merepotkan keluarga ibu saya karena harus harus sering gonta-gonti pembantu. Pembantu yang ada di rumah nenek selalu galau terhadap dua perintah: dilarang oom dan tante-tante saya menyajikan kopi murni kepada nenek yang mengidap hipertensi sementara dimarah-marahi nenek gara-gara perintahnya gak pernah dituruti. Kalaupun dituruti biasanya mendapat celaan.

 "Ini kopi apa uyuh jaran (kencing kuda) ya, kok rasanya aneh?"--yang membuat saya berpikir apakah dalam episode hidupnya, nenek pernah mencicipi rasanya kencing kuda sebelum ini? ;-P

Belakangan saya menduga bahwa sebelum meninggal pastilah nenek membisiki ibu saya untuk mengimani hal yang sama dalam merasakan nikmatnya minum kopi murni. Kalau tak sempat bikin kopi bubuk sendiri, beliau punya langganan di warung kopi Sukidjan yang ada di dekat perempatan jalan. (Heran, kenapa orang di daerah saya yang punya frase kidjan pada namanya selalu identik dengan pecandu kopi yang punya citarasa tinggi). Ibu saya lebih memilih tidak sarapan nasi daripada harus kehilangan ritual minum kopi pagi harinya.

"Kalau pagi gak minum kopi, siangan dikit perutku mual-mual nanti", kilahnya.

Saya yang selalu khawatir dengan kebiasaannya minum kopi diam-diam ikut menyeruput kopi buatan ibu agar kadar yang dikonsumsinya tidak terlalu banyak. Kebiasaan seperti inilah mungkin yang menularkan kepada saya untuk suka minum kopi juga. Menikmati sore hari dengan secangkir kopi mungkin bisa menghadirkan relaksasi sejenak dari pikiran penat. Apalagi kalau hadir di acara ngopi-ngopi ganteng yang tujuan sebenarnya adalah ngobrol ngalor-ngidul membicarakan kerjaan (tapi kenyataannya justru banyakan ngomongin orang, ups), tak terasa juga menyisakan bergelas-gelas kosong sisa kopi. Cakep banget deh rasanya.

Welcome to Belitong Island ;-)
Demi menikmati secangkir kopi, saya rela terbang ke Manggar, Belitong Timur yang konon citarasa kopinya enak tidak duanya. Di kota ini saya melihat berderet-deret warung kopi yang selalu ramai pengunjung. Minum kopi seperti sudah menjadi tradisi bagi penduduk Belitong baik tua maupun muda. Mereka datang ke warung, memesan kopi, dan ngobrol tentang apapun, sembari melihat orang lalu-lalang datang dan pergi ke warung kopi. Tak pernah sebelumnya saya melihat ritual minum kopi yang begitu akrab dan seragam seperti sebuah upacara atau parade hingga saya datang ke kota ini.

Orang terlihat berderet berjamaah minum kopi di bangku-bangku kayu sederhana di warung-warung yang jumlahnya banyak sekali. Tak heran jika 'kota' Manggar mendapat julukan sebagai kota 1001 warung kopi. Kopi Manggar (katanya) terkenal enak karena penyajiannya yang tak biasa. Bubuk kopi diseduh dalam suatu tempat dari aluminium lalu dituang di gelas-gelas melalui saringan yang mirip dengan kaus kaki. Kopi yang disajikan jadi bebas ampas. Setelah duduk dan memesan segelas kopi, saya tak sabar mencicipinya.

di sebuah warung kopi (Manggar, Belitong Timur) ;-)
Saya hirup aromanya, saya tiup perlahan-lahan agar tidak terlalu panas di lidah, lalu saya seruput cairan kafein tersebut seteguk. Hal yang sama dilakukan juga oleh teman saya. Saya ulangi lagi sekali, hingga teman saya yang dari tadi tak henti-hentinya ngebul bertanya, "Gimana rasanya?"

Spontan saja saya menjawab, "Biasa ajah", yang ditimpalinya dengan anggukan.

Mungkin saya salah memilih warung, mungkin kopi yang ditawarkan memang biasa saja, atau mungkin saya lagi tidak dalam kondisi yang nyaman saat menikmati kopi ini. Tapi, pengalaman mencicipi kopi membuat saya berpikir bahwa kopi yang barusan saya minum itu memang biasa saja. Tak seperti yang diceritakan teman-teman saya. Atau ekspektasi saya mungkin yang terlalu tinggi untuk kopi yang disajikan di warung kopi ini.

Sepertinya, suatu saat saya harus datang lagi ke Manggar untuk menikmati kopi paling enak di warung yang tepat. Mungkin Andrea Hirata mau menunjukkan tempatnya dan menemani saya ngopi sembari ngobrol-ngobrol. -ngimpi.com-. Setelah menceritakan pengalaman minum kopi di Manggar, salah seorang teman yang tinggal di Aceh mengundang saya untuk mencicipi kopi Aceh yang katanya juga uenak tenan itu. Namun, saya belum mengiyakan ajakan tersebut. Kelihatannya, selain ke Manggar (lagi) saya memang harus segera mengagendakan untuk terbang ke Negeri Serambi Mekkah itu untuk menikmati secangkir kopi. Anyone?

4 komentar:

  1. Wah, kamu benar2 kecanduan kopi sampai bela-belain untuk mencari ke tempat yang memang memiliki kualitas kopi terbaik. Kalau aku pribadi tidak terlalu suka kopi :)

    BalasHapus
  2. Kalo ke Banda Aceh, singgah ke kedai kopi Solong...

    BalasHapus
  3. Gw usul, cerita elo di blog ini gak usah kebanyakan copas ttg asal usul, itu si ky baca wikipedia. Mending mengalir cerita yg elo alamin sendiri, scr ringkas n rame. Semangat terus...Gw usul, cerita elo di blog ini gak usah kebanyakan copas ttg asal usul, itu si ky baca wikipedia. Mending mengalir cerita yg elo alamin sendiri, scr ringkas n rame. Semangat terus...

    BalasHapus
  4. @ Anonim : bukan melulu copas kok, info sejarah itu hanya bumbu, karena saya pikir, tak banyak orang yang tahu tentang sejarah. Tapi, thanks banget ya sarannya. Keep on reading :-)

    BalasHapus