Selasa, 12 Juli 2011

Janji (Bertemu) Joni

Salah satu film Indonesia favorit saya ;=)
"Coba lihat sekeliling elo. Tujuh dari sepuluh orang yang elo temui akan mengaku sebagai pecinta film. Dan kalau elo mendekat ke mereka, elo hampir bisa mendengar mereka berpikir tentang film."

Penggalan dialog yang mengawali film Janji Joni karya Joko Anwar ini selalu terngiang di kepala saya saat berada di kerumunan orang-orang yang sedang antri tiket di bioskop. Dialog tersebut dinarasikan oleh Joni, tokoh utama dalam film Janji Joni yang berprofesi sebagai pengantar rol film. Dan gara-gara film ini, saya jadi penasaran tentang satu hal: benarkah profesi sebagai pengantar rol film ini eksis? Secara, selama bertahun-tahun saya menyambangi gedung bioskop, belum pernah sekalipun saya melihat dengan mata kepala sendiri seorang pengantar rol film.

Dan sejak sukses menonton (beberapa kali) Janji Joni, saya mendadak membuat janji pada diri sendiri (yang tidak harus ditepati ;=P) bahwa suatu saat saya akan ketemu atau paling tidak, melihat sendiri orang yang sedang mengantar rol film ini. Saya pikir saya tak akan mungkin ketemu dengan pengantar rol film di daerah saya sendiri di Nganjuk, Jawa Timur karena tiga bioskop yang dulu beroperasi, kini tak satupun yang masih berfungsi. Pun hal itu juga sulit saya temui di bioskop-bioskop daerah seperti di Kediri karena biasanya film yang tayang adalah film yang pertama kali rilis di bioskopnya sudah sebulan yang lalu. Jadi, saya menyimpulkan bahwa profesi pengantar rol film ini hanya ada di kota besar macam Jakarta (atau Surabaya, atau kota besar sejenisnya) di mana gedung bioskop jumlahnya banyak, tapi copy rol filmnya terbatas.

Oke. Mungkin ini bukan (melulu) kisah tentang jalan-jalan. Tapi, demi memenuhi hasrat saya untuk membuktikan bahwa profesi ini memang ada, saya sengaja untuk 'menemukan' atau melihat orang yang bekerja sebagai pengantar rol film ini dengan menyatroni bioskop-bioskop yang dekat dengan tempat tinggal maupun tempat main di Jakarta. Tempat pertama yang terlintas tentu saja adalah bioskop yang jadi lokasi syuting film Janji Joni.

Saya suka berlama-lama dan (dalam hati) bersyukur jika bus yang saya tumpangi dari Terminal Senen menuju Blok M harus ngetem dulu di depan bioskop Megaria, Jakarta Pusat (kini bernama Metropole XXI). Saya suka memandang bangunan bioskop ini. Bioskop Megaria dirancang oleh arsitek Belanda bernama Johannes Martinus (Han) Groenewegen pada tahun 1949 dan mulai beroperasi sejak tahun 1951. Tempat ini bagi saya sungguh unik dan 'lain'. Mungkin karena gedung bioskop Megaria merupakan salah satu gedung bioskop tua di Indonesia yang bangunannya tidak terintegrasi dengan mal dan masih bertahan hingga sekarang.

Bioskop Megaria (Metropole) XXI
Bangunan ini dulunya merupakan bangunan bioskop utama yang ada di Jakarta pada era 1950-an hingga awal 1980-an. Bioskop ini juga tercatat sebagai tempat untuk memutar film-film peserta Festival Film Indonesia pertama yang dihelat pada akhir Maret hingga pertengahan April 1955. Yang membuat tambah hebat adalah bioskop ini dulu berani memotong kontrak yang tadinya hanya memutar film-film produksi Metro Goldwyn Meyer (MGM), Amerika Serikat menjadi memutar juga film-film produksi dalam negeri. Salut.

Saya selalu keinget dengan Joni jika melintas di jalan depan bioskop ini. Teringat dengan perjuangannya untuk mengantar rol film tepat waktu agar penonton tidak terganggu saat menikmati sebuah film. Saya merasa ikut tersentil juga saat menonton Janji Joni. Film ini memberikan pelajaran berharga dalam hidup saya: bahwa tanggung jawab dalam pekerjaan itu harus dipegang teguh, sebuah amanah perlu dilaksanakan sampai titik usaha maksimal, dan konsekuensi dari semua yang telah dilakukan merupakan takdir indah yang harus diterima dengan lapang dada.

Tapi sayang, saya tak dapat menjumpai seorang pengantar rol film di tempat ini. Saya juga tak 'menemukannya' saat nonton atau sekadar berkunjung ke bioskop-bioskop yang ada di Blok M Plasa, Plasa Senayan, Grand Indonesia, Mall Taman Anggrek, Slipi Jaya, dan beberapa bioskop yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya.

Namun pucuk dicinta, ternyata keinginan saya terkabul dengan tak sengaja dan tiba-tiba. Saat keluar dari bioskop Bintaro Plasa, saya melihat seorang mas-mas yang membawa tas cangklong berisi rol film. Di sapa keberuntungan pada hari yang berbeda, saya juga melihat orang dengan tas cangklong berisi rol film di Mal Atrium Senen. Kedua-duanya terjadi di eskalator.

Dandanan mereka ini sungguh cuek dan memang seringnya tak dihiraukan orang. Sungguh, demi menghormati privasinya, saya tak berani untuk sekadar memotret atau mengajak ngobrol. Saya takut mengganggu kelancaran proses antar-mengantar rol film itu. Soalnya kalau mereka telat, kontinuitas dari cerita film akan terganggu. Saya pernah mengalaminya saat menonton film di bioskop ecek-ecek di pinggiran Jakarta. Dan rasanya gengges bukan main. Saking hebohnya penonton saat layar bioskop tiba-tiba mati, petugas bioskop kelihatan panik dan akan mengembalikan uang karcis ketika tiba-tiba film hidup kembali setelah 10 menit menunggu.

Kalau melihat narasi film di awal tulisan ini, saya mungkin termasuk dalam golongan orang-orang yang sedang diamati Joni. Saya juga senang menonton film, suka membicarakan film, dan (kadang-kadang) mengikuti proses kreatif di balik pembuatan film. Bahkan beberapa tujuan traveling saya juga terinspirasi dari tempat-tempat yang dijadikan lokasi syuting film.

Setelah melihat dengan mata kepala sendiri, saya sekarang jadi percaya bahwa profesi sebagai pengantar rol film itu memang eksis di Jakarta, tapi tak banyak orang yang tahu, peduli, atau bahkan malah (mau capek-capek) memasukkannya ke dalam daftar panjang cita-cita yang akan diraih di masa depan, tidak seperti cita-cita macam dokter dan insinyur yang sering dilontarkan oleh kebanyakan anak kecil. Seperti pengantar rol film kayak Joni (atau travel writer seperti saya), adakah di antara Anda yang memasukkannya sebagai cita-cita waktu kecil? Saya kira kalaupun ada, kok langka. Makanya, angkat topi deh untuk semua orang yang menjalani profesi seperti itu.

Dan belakangan saya baru sadar, ternyata janji saya (pada diri sendiri) untuk ketemu Joni masih juga menyisakan keberuntungan. Saat mengikuti workshop tentang pembuatan film dokumenter The Magic of Kakaban Island, from The Journey of Nicolas Saputra di Istora Senayan, Jakarta, saya ketemu dengan pemeran Joni dalam film Janji Joni. Yah memang sih, kalau saudara kembar itu, sekalipun dipisahkan oleh jarak dan nasib, suatu saat pasti akan ketemu juga. Bener gak? ;=P

mirip kan? hehehe ;=)

9 komentar:

  1. Baca kalimat terakhir dan.... *pengsan*

    BalasHapus
  2. @ OctaNH : wkwkwk, kenapa sih orang-orang pada denial masalah itu? ;=P

    BalasHapus
  3. rol film emang diantar tiap hari y?? kirain bioskop kalo dah dapat hak siarnya, rolnya bisa diputar berkali kali. emang mereka ambil rolnya dimana?

    BalasHapus
  4. . =))
    ╭((╯`
    `< \_ •◦°˚ .·.◦ Wªªĸªªĸªªĸªªĸªªĸªª...
    Salut bro. Janji akhirnya ditepati.

    BalasHapus
  5. @ Indra : iya, bahkan tiap sesi pemutaran. Jadi untuk bioskop-bioskop yang jaraknya berdekatan, biasanya satu rol film dipakai bergantian. Di sinilah Joni mengemban tugas. Rol film diambil dari bioskop yang terakhir mutar film di sesi sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, tonton deh filmnya ;=)

    @ Hdy : thanks ya udah mampir, rajin ngeblog juga ya ;=)

    BalasHapus
  6. Saya punya teman namanya Joni dia bukan seorang pengantar rol film melainkan penikmat film. Tapi wajahnya tak setampan seperti joni pengantar rol film itu!!! Jon Peace yo..hehe

    BalasHapus
  7. @ Adi : hehehe, kasian banget temenmu si Joni ini punya temen kayak kamu hehehe. Piece ^_^

    BalasHapus
  8. hehehe..kita ga pernah tau kapan janji atau mimpi bisa terwujud kan..tau2 udah didepan mata aja..hihihi..nice entry ^^ salam kenal :)

    BalasHapus
  9. Woho ada kisah tentang megaria! Thanks for sharing mas :)

    BalasHapus