Bingung mengambil cuti ;=) |
Sekarang, waktu liburan (hanya) terbatas pada akhir pekan, tanggal merah saat perayaan hari besar keagamaan, dan jatah cuti tahunan. Semakin hari rasanya waktu liburan dan jalan-jalan semakin terbatas dan sedikit. Maklum, setelah seharian bekerja selama seminggu penuh, badan sepertinya juga minta jatah untuk istirahat sehingga libur akhir pekan yang sedianya akan dipakai untuk jalan-jalan, terlewat begitu saja untuk tidur dan leyeh-leyeh demi mengembalikan stamina. Duh.
Sebenarnya, kalau sudah diniatkan, saya juga siap untuk 'tancap gas' pergi ke mana saja saat akhir pekan. Tapi, (lagi-lagi) melihat kondisi keuangan, tidak setiap bulan acara jalan-jalan bisa dilaksanakan. Kalau sudah begini, saya hanya berharap untuk dapat memanfaatkan jatah cuti tahunan. Cuti. Sepertinya kata ini semakin akrab dan menjadi persoalan penting dalam hidup saya. Sejak resmi menjadi seorang karyawan, persoalan cuti mau tidak mau membutuhkan sedikit pemikiran bagi saya untuk membagi waktu dan mengalokasikannya. Sudah menjadi aturan baku di Indonesia bahwa karyawan pemerintah mendapat hak cuti sebanyak 12 hari. Tapi tunggu dulu. Dari 12 hari itu tidak boleh diambil sekaligus dengan alasan untuk menghindari 'gangguan' pelayanan kepada masyarakat.
Yang membuat sebal, jatah 12 hari cuti itu masih harus dikurangi dengan jumlah hari cuti bersama yang dalam satu tahun bisa terdapat 3 samoai dengan 4 hari. Yang mengagetkan, aturan pengurangan cuti bersama dari jatah cuti tahunan ini tidak seragam terjadi di semua instansi pemerintah. Ada yang cuti bersamanya itu mengurangi jatah cuti tahunan, ada pula yang tidak. Buktinya, saat tante saya yang bekerja di suatu instansi pemerintah saya kasih tahu kalau jatah cuti tahunan saya dipotong dengan cuti bersama, beliau langsung kaget dan balik bertanya, "Kok bisa?". Yah, meneketehe. Jadi, sebenarnya dalam satu tahun seorang karyawan hanya mempunyai 8 atau 9 hari cuti yang bisa diambil atas kemauan sendiri.
Saya sih masih bisa menerima dengan adanya peraturan cuti bersama yang biasanya sudah ditetapkan di awal tahun seperti cuti bersama yang ada sebelum dan sesudah Idul Fitri, serta sehari sesudah Natal. Bagaimanapun saya tetap memilih mengambil cuti saat Idul Fitri untuk berkumpul dengan keluarga dan saudara-saudara. Dan jika ingin cuti juga saat libur Natal dan Tahun Baru, saya sih melihat kondisi (keuangan) dulu dan siapa saja yang sudah mengajukan cuti. Hal itu saya lakukan agar mereka yang akan merayakan Natal lebih diprioritaskan karena saat Idul Fitri-pun saya juga mendapat prioritas untuk diijinkan cuti. Meskipun cuti itu hak, tapi akan lebih baik jika kita juga memerhatikan kepentingan pemeluk agama lain jika pengambilan cuti itu berkaitan dengan hari raya keagamaan.
Yang membuat saya jengah adalah cuti bersama yang diputuskan mendadak berkaitan dengan Harpitnas (Hari Kecepit Nasional). Saya gak ngerti dengan konsep ini. Mungkin karena orang Indonesia yang dianggap kurang produktif saat hari kecepit ini sehingga kalaupun sebagai hari kerja, banyak juga yang akhirnya bolos atau mangkir dari kerjaan. Tapi percayalah, dari apa yang sudah saya alami dan amati, penetapan hari libur bersama saat harpitnas ini sungguh merusak ketenteraman pengaturan cuti dan menurut saya sungguh sangat tidak efektif (dan tidak fair).
Bagi mereka yang bekerja jauh dari kampung halaman, biasanya memanfaatkan jatah cuti tahunannya untuk pulang kampung. Dengan adanya cuti bersama (mendadak) ini, jatah cutinya akan semakin sedikit. Apalagi kalau dalam satu tahun ada lebih dari satu harpitnas. Meranalah mereka ini. Kalau dibilang dengan adanya libur bersama ini adalah untuk menaikkan pariwisata Indonesia, wah seperti yang membuat kebijakan tidak pernah jalan-jalan ala gembel seperti saya.
Satu jam setelah pengumuman bahwa tanggal 16 Mei 2011 ditetapkan sebagai hari libur bersama, calo-calo tiket di Stasiun Senen mulai berlomba menaikkan harga tiket kereta api. Teman-teman saya yang biasa pulang kampung saat akhir pekan misuh-misuh mengetahui hal ini. Hal itu juga terjadi dengan harga tiket pesawat. Saat pengumuman libur bersama tanggal 03 Juni 2011, saya juga mengikuti pergerakan harga tiket pesawat yang mulai melambung tinggi layaknya libur lebaran atau Natal. Lah, kalau sudah begini, kebanyakan orang akan berhitung dan lebih memilih tinggal di rumah atau liburan di dekat tempat kerjaan daripada ke luar kota kecuali orangnya tajir melintir punya kebun duit di halaman belakang rumah atau sudah pesan tiket jauh-jauh hari. Tapi kan, jumlah orang yang begini tidak banyak. Yang lebih parah adalah mereka yang lagi bokek dan tempat kerjanya jauh dari rumah. Sudah gak pergi ke mana-mana, jatah cuti lenyap sehari dengan tidur-tiduran gak jelas. Kalau sudah begini, saya kok sangsi ya kalau pariwisata Indonesia akan maju saat libur bersama (yang mendadak) ini.
Itulah mengapa saya rasa konsep libur bersama ini tidak fair. Membuat aturan dengan memberikan keleluasaan (yang mau kerja ya silakan, yang mau libur ya monggo) juga kesannya tidak tegas jika tidak semuanya bisa mendapat perlakuan yang sama. Biasanya yang bekerja di bagian pelayanan publik seperti rumah sakit tidak bisa ikutan memilih libur. Yang jelas, aturan cuti bersama yang ditetapkan mendadak ini sungguh tidak mengenakkan.
Padahal, biasanya saya sudah menabung cuti dari jauh hari dan tidak mengambil jatah cuti jika tidak perlu agar bisa lebih lama saat mengambil cuti lebaran. Dan kalau ada cuti bersama mendadak begini, mau tidak mau saya harus menyesuaikan penggunaan jatah cuti saya, yang semula punya stok cuti untuk jalan-jalan harus rela jalan-jalan tanpa cuti. Wah, tambah merana.
Pengambilan cuti juga seringnya merepotkan. Kalau urusan persamaan kepentingan itu mah udah biasa. Tapi, pengambilan cuti itu minimal adalah untuk tiga hari. Padahal, ada masanya saya hanya ingin cuti satu hari saja karena saya rasa sudah cukup liburan akhir pekan ditambah satu hari cuti. Tapi, karena aturan adalah aturan, kadang saya menghabiskan dua hari cuti (yang tidak saya inginkan tapi terpaksa harus saya ambil) hanya dengan membaca buku, tidur, maupun nonton tivi. Sungguh sebuah langkah 'cerdas' untuk membunuh waktu.
Cuti itu memang hak dan (kadang) juga kewajiban jika hak cuti gak pernah diambil-ambil. Saya suka gemes dan ngiri dengan teman kantor yang malas mengambil cuti sehingga jatah cutinya menumpuk. Apa tidak bosan coba, bekerja di kantor ngadepin komputer terus-menerus setiap hari. Saya sih bukan orang yang gila kerja, tapi saat waktunya kerja, saya berusaha untuk menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin dan (dengan jahatnya) melupakan dan menolak diajak ngobrol masalah kerjaan saat mengambil cuti. Tapi, memang seharusnya demikian kan? Daripada kerja asal-asalan, begitu liburan malah sibuk menjawab telepon dari bos yang isinya menanyakan masalah kerjaan yang belum beres. Duh, jangan sampai deh kejadian. Intinya, walaupun bagi karyawan seperti saya, cuti itu kesannya ribet, persoalan cuti jangan sampai mengganggu acara jalan-jalan.
Selamat cuti.
Kalo buat Ibu RT kayak saia, walopun gak ikut cuti-cutian, tapi kan masih ngikut jadwal cuti suami. Yang nyebelin adalah: kadang saia udah bikin rencana gini-gitu tapi gak bisa cuti. Atau: saia gak punya rencana, eeeh malah ada cuti kayak 16 Mei kemaren.
BalasHapusTapi ngerinya lagi nih: cuti gak cuti, saia tetep gak bisa jalan-jalan karena waktu abis diperjalanan. Maklum, di pulau.
Tuh kan, saia ikutan curhat :D
kalau mahasiswa smacam saya, hari kejepit adalah berkah. tau sendiri kan knp?
BalasHapusyah..mncoba mnikmati setiap proses kehidupan.apapun episode ny.
BalasHapusCuti bersama bisa memajukan pariwisata itu kalo maskapai penerbangan indonesia ada yg low budget, jadi terjangkau harga utk semua kalangan. Buat pulang kampung aja saya harus mengeluarkan kocek kurang lebih 3jt utk perjalanan PP. haha..
BalasHapuskita tunggu saja 'reinkarnasi' dari Mandala, katanya doi mau duet sama Tiger Airways ;)
Hapus